Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah produsen baja terbesar di dunia kesulitan untuk beralih ke aktivitas produksi dengan emisi karbon yang lebih rendah. Industri baja tercatat sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia.
Produksi baja menyumbang 7% dari emisi karbon dioksida global atau setara dengan total emisi India. Proses pembakaran batu bara pada blast furnace menghasilkan sekitar 2 metrik ton CO2 per ton baja yang diproduksi.
Survei yang dilakukan Action Speaks Louder (ASL) terhadap 18 perusahaan terkemuka dunia itu bahkan memperlihatkan ketergantungan tinggi pada bahan bakar fosil di beberapa korporasi.
Produksi baja menyumbang 7% dari emisi karbon dioksida global, setara dengan total emisi India. Proses pembakaran batu bara pada blast furnace menghasilkan sekitar 2 metrik ton CO2 per ton baja yang diproduksi.
Teknologi alternatif seperti electric arc furnaces (EAF) yang dapat menggunakan energi terbarukan dan produksi besi dengan "hidrogen hijau" disebut ASL bisa menjadi solusi. Namun mayoritas produsen tetap bergantung pada bahan bakar fosil untuk 99% kebutuhan energi mereka.
Laura Kelly, direktur strategi ASL sekaligus penulis survei tersebut, menyoroti bahwa biaya yang tinggi menjadi hambatan utama.
Baca Juga
“Narasi ‘sulit dikurangi’ ini masih menyiratkan bahwa secara teknologi hal itu tidak mungkin dilakukan,” jelasnya seperti dikutip Reuters, Jumat (29/11/2024).
Swedia, melalui perusahaan SSAB, mencatatkan kinerja terbaik dengan 19% energi yang digunakan berasal dari sumber terbarukan.
Sebaliknya, produsen baja Korea Selatan seperti Hyundai Steel, Dongkuk Steel, dan Posco hampir sepenuhnya mengandalkan bahan bakar fosil meskipun menggunakan teknologi EAF. Ketiga perusahaan ini tidak menanggapi permintaan komentar. Kelly menunjukkan bahwa kepentingan pada infrastruktur bahan bakar fosil, seperti terminal impor dan jaringan pipa, menjadi penghambat perubahan.
Di India, JSW Steel hanya menggunakan 0,4% energinya dari sumber terbarukan, tetapi berencana mengoperasikan seluruh fasilitas bajanya menggunakan energi bersih dan gas limbah pada 2030, menurut kepala petugas keberlanjutannya, Prabodha Acharya.
Demikian pula, produsen baja terbesar di China, Baosteel, yang hanya menerima pasokan energi terbarukan sebesar 0,4% pada 2022. Namun mereka menyatakan sedang menyusun target energi bersih baru.
Kelly mengemukakan perkembangan inisiatif penetapan harga karbon bisa memberi tekanan pada produsen baja untuk mulai beralih ke energi yang lebih bersih.
“Jika saat ini tidak menyulitkan mereka secara finansial, ini akan merugikan mereka secara strategis karena mereka tertinggal dalam rencana transisi,” ujar Kelly.