Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia menempati peringkat kelima sebagai eksportir emisi karbon terbesar global berdasarkan data yang dihimpun Climate Action Tracker.
Ekspor emisi karbon sendiri merujuk pada tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari bahan bakar fosil yang diproduksi dan diekspor oleh sebuah negara. Dalam Kesepakatan Paris 2015, negara tidak diwajibkan untuk melaporkan aspek ini dan hanya dikenai kewajiban pelaporan realisasi penurunan emisi.
Climate Action Tracker, sebuah proyek independen yang melacak aksi iklim pemerintah, menganalisis dampak emisi dari ekspor bahan bakar fosil oleh beberapa eksportir terbesar dunia. Analisis tersebut menggunakan data dari Badan Energi Internasional (IEA) untuk 2022, yang merupakan data terbaru yang tersedia untuk semua negara yang dianalisis.
Analisis tersebut mengungkap bahwa Rusia merupakan eksportir emisi karbon terbesar dengan volume mencapai 2.024,98 megaton CO2 ekuivalen pada 2022. Dari sisi produksi emisi domestik, Rusia menempati peringkat kedua dengan volume 2.038,29 megaton CO2.
Amerika Serikat menyusul di peringkat kedua dengan volume ekspor emisi mencapai 2.011,01 CO2 ekuivalen. Namun dari sisi produksi di dalam negeri, Negeri Paman Sam menempati peringkat tertinggi dengan volume menembus 6.378,04 pada 2022.
Indonesia berada di peringkat ketiga untuk negara dengan produksi emisi domestik terbesar. Pada 2022, total emisi domestik yang dihasilkan mencapai 1.155,11 megaton CO2 ekuivalen. Sementara itu, ekspor emisi Indonesia mencapai 1.064,40 megaton CO2 ekuivalen dan menempati peringkat kelima.
Baca Juga
Climate Action Tracker menyebutkan ekspor emisi karbon Indonesia mayoritas berasal dari aktivitas pertambangan batu bara dan perdagangannya. Sebagai catatan, ekspor batu bara Indonesia pada 2022 mencapai 494 juta ton.
Laporan Climate Action Tracker sebagaimana dilaporkan Reuters juga mengungkap bahwa di beberapa negara produsen, emisi gas rumah kaca dari ekspor bahan bakar fosil bahkan melebihi emisi domestik mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi emisi global tidak hanya berasal dari aktivitas domestik, tetapi juga dari bahan bakar yang dikirimkan ke negara lain.
Beberapa negara dengan ekspor emisi yang lebih besar daripada emisi domestik yang dihasilkan di antaranya adalah Australia, Kanada dan Norwegia. Sebagai perbandingan, Australia memproduksi emisi domestik sebesar 517,76 megaton CO2 ekuivalen. Namun ekspor emisi negara produsen batu bara tersebut lebih dari dua kali lebih besar yakni 1.210 megaton CO2 ekuivalen.
Tren serupa juga diperlihatkan Norwegia yang mengekspor emisi dengan volume 555,69 megaton CO2 ekuivalen pada 2022. Padahal secara domestik, emisi yang dihasilkan hanyalah sebesar 48,28 megaton.
Perkembangan emisi Indonesia sempat menjadi sorotan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil. Dalam salah satu sesi, Prabowo menyampaikan optimisme Indonesia dalam mencapai target nol emisi sebelum 2050. Transisi menuju energi terbarukan bakal menopang tercapainya target tersebut, seiring dengan target penghentian operasional pembangkit listrik berbahan bakar fosil dalam 15 tahun ke depan.
Dia juga menagih keikutsertaan negara-negara kaya dalam perdagangan karbon global. Prabowo mengatakan Indonesia telah menjalankan peran selama bertahun-tahun dalam mencegah kenaikan suhu global. Sebagai salah satu negara dengan luas hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia dia sebut telah menyerap emisi sehingga tetap menjaga suhu bumi.
“Indonesia memiliki salah satu hutan tropis terbesar, setelah Brasil dan beberapa negara Afrika. Kami telah berkontribusi selama bertahun tahun dalam menyerap emisi dan mendinginkan dunia,” katanya.
Meski demikian, dia menilai keikutsertaan negara maju dalam aksi iklim masih belum optimal. Tecermin dari keikutsertaan untuk kredit karbon yang belum sesuai harapan.
“Kami dianggap sebagai paru-paru bumi. Namun kami belum melihat kontribusi dari negara maju untuk menyediakan kredit karbon. Kami memerlukan komitmen yang berlanjut untuk mengkompensasi peran hutan kami dalam menjaga suhu bumi,” lanjutnya.
Untuk itu, dia mengatakan Indonesia terbuka untuk mengoptimalkan prospek 557 juta ton kredit karbon. Prabowo juga menambahkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon terbesar.