Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biaya Jumbo Transisi Energi Energi Indonesia, Siapa yang Bayar?

Proyek transisi energi dan penurunan emisi Indonesia membutuhkan investasi hingga Rp3.700 triliun, tetapi sumber pendanaan iklim masih jadi perdebatan global
Isu pendanaan iklim menjadi salah satu tema penting dalam pelaksanaan COP29 di Baku Azerbaijan tahun ini/COP29
Isu pendanaan iklim menjadi salah satu tema penting dalam pelaksanaan COP29 di Baku Azerbaijan tahun ini/COP29

Bisnis.com, JAKARTA — Kebutuhan dana atau investasi untuk proyek transisi energi dan penurunan emisi karbon Indonesia diestimasi menembus US$235 miliar atau sekitar Rp3.700 triliun. Namun sumber pendanaan untuk proyek ini masih menjadi pertanyaan.

Ketua Delegasi Indonesia untuk COP29 Hashim Djojohadikusumo mengemukakan nilai investasi fantastis itu diperlukan untuk mendukung sejumlah proyek mitigasi iklim Indonesia. Termasuk di antaranya pembangunan infrastruktur kelistrikan baru sebesar 100 gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan. Dari kapasitas tersebut, 75% di antaranya berasal dari energi baru terbarukan (EBT) seperti surya, angin, panas bumi dan nuklir.

“Proyek-proyek ini memerlukan biaya besar yang tidak mungkin hanya berasal dari anggaran pemerintah. Oleh karena itu, di sini saya mengundang pihak yang berminat untuk berinvestasi,” kata Hashim ketika membuka paviliun Indonesia di hari pertama COP29 di Baku, Azerbaijan, Senin (11/11/2024).

Hashim mengemukakan organisasi filantropi milik bos Amazon Jeff Bezos, Bezos Earth Fund, telah menyatakan minat untuk berinvestasi di proyek ‘hijau’ Indonesia. Selain itu, sejumlah perusahaan multinasional dia sebut telah menyampaikan ketertarikan untuk berinvestasi dalam pengembangan teknologi carbon capture storage di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah ExxonMobil dan British Petroleum (BP).

“Kami sangat menyambut partisipasi berbagai pihak karena ini bukan hanya isu Indonesia tetapi isu global,” kata dia.

Menaggapi hal ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia untuk fokus mengembangkan energi terbarukan dengan pilihan biaya yang paling murah dan dengan keandalan pasokan yang optimal dan teknologi yang handal.

Berdasarkan perhitungan IESR, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 mengandalkan surya dan angin. Perhitungan tersebut membutuhkan elektrifikasi yang masif dan akselerasi energi terbarukan yang lebih cepat dibangun, murah, dan rendah risiko keterlambatan.

“Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045,” kata Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo dalam siaran pers.

Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto juga diminta untuk menyusun strategi transisi energi yang lebih komprehensif. Strategi ini tidak hanya berlandaskan target besar, tetapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk memastikan bahwa PLN dan pihak terkait mampu memenuhi target energi terbarukan yang telah ditetapkan.

Dalam hal pendanaan, investasi sebesar US$235 miliar juga harus dikelola dengan baik untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

Sementara itu, Bloomberg melaporkan perundingan iklim di COP29 Azerbaijan belum mencapai suara bulat mengenai pendanaan iklim hingga US$1 triliun per tahun hingga akhir 2023. Perdebatan terutama berpusat pada aspek penyedia dana yang selama ini bertumpu ke negara-negara maju. Adapun target sebelumnya pada 2009 yang mendesak negara-negara maju untuk menyediakan dana iklim sebesar US$100 miliar per tahun pada 2020 baru tercapai pada 2022.

Seiring dengan target pendanaan yang meningkat, terdapat ekspektasi keikutsertaan yang lebih besar dari bank pembangunan dan sektor privat.

Pada hari kedua COP29, bank pembangunan multilateral (MDB) mengumumkan target baru pendanaan iklim sebesar US$120 miliar bagi negara-negara berkembang hingga akhir dekade ini. Target ini naik dibandingkan dengan US$75 miliar pada 2023.

Meski demikian, Kepala global ESG, iklim, dan keberlanjutan di Mercer Clara Williams mengemukakan kebanyakan investor institusional adalah pengelola dana pensiun dengan fokus pada keuntungan. Di sisi lain, banyak proyek iklim yang tidak sesuai dengan profil tersebut tanpa diiringi dengan distribusi risiko atau jaminan.

“Kami berharap melihat kesepakatan tentang lebih banyak kemitraan publik-swasta diumumkan di COP29 untuk mengurangi risiko investasi dan mempermudah modal swasta untuk dialokasikan ke proyek-proyek keuangan berkelanjutan,” kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper