Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daftar Lengkap Saham Murah Emiten Hijau yang Sedang Naik Daun

Saham-saham emiten hijau tengah naik daun yang tecermin dalam kinerja IDX ESG Leaders (IDXESGL) yang menghijau saat indeks lain di BEI terjerembab
Warga melintas didepan gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Minggu (12/5/2024)./Bisnis-Abdurachman
Warga melintas didepan gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Minggu (12/5/2024)./Bisnis-Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Saham-saham emiten hijau yang ramah lingkungan tengah naik pamor pada 2024, tecermin dalam kinerja IDX ESG Leaders (IDXESGL) yang tumbuh 3,1% secara year to date (ytd) saat indeks LQ45 tumbang 6,31% dan indeks lainnya berguguran.

Berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia per Kamis (16/5/2024), mayoritas indeks tercatat memerah sepanjang 2024 (ytd), diantaranya indeks IDX High Dividend 20 yang turun 5,71%, indeks SMINFRA18 (-8,62%), IDX BUMN20 (-5,85%), dan IDX sektor teknologi yang terjerembab hingga 22,74%.

Dari total sekitar 44 indeks yang ada di Bursa Efek Indonesia, hanya 10 indeks yang menghijau sepanjang 2024, sedangkan sisanya merah merona, termasuk indeks berlabel hijau Sri Kehati yang melorot 8,21%.

IDX ESG Leaders (IDXESGL) yang beranggotakan 30 emiten, per Kamis (16/5/2024), memiliki kapitalisasi pasar Rp4.553,63 triliun atau lebih dari 37% total kapaitalisasi pasar BEI sebesar Rp12.299 triliun atau lebih dari 12 kuadriliun.

Berdasarkan data Bloomberg, dari total 30 emiten dalam barisan IDXESGL, ada sembilan emiten yang memiliki price earning ratio (PER) di bawah 10 kali.

Sementara itu, tercatat juga ada sebanyak delapan emiten yang memiliki price to book value (PBV) kurang dari 1 kali.

Sebagai catatan, nilai price earning ratio (PER) di bawah 10 kali dan price to book value (PBV) di bawah 1 kali lazim dijadikan sebagai acuan sederhana untuk menilai sebuah saham dianggap murah atau terdiskon.

Dengan demikian, jika mengacu pada acuan sederhana tersebut, maka ada tujuh emiten dalam IDXESGL yang memiliki PER di bawah 10 kali dan PBV di bawah 1 kali dan bisa dianggap murah atau terdiskon harga sahamnya.

Investor di pasar modal memang memiliki berbagai instrumen untuk melakukan valuasi terhadap sebuah saham. Ada 1.001 formula dan rumus matematis.

Salah satu valuasi yang populer dan tidak terlalu njlimet alias rumit untuk mengukur mahal atau murahnya sebuah saham adalah PER atau rasio harga saham terhadap laba bersih emiten.

Sederhananya, makin tinggi/besar nilai PER, maka harga saham emiten yang bersangkutan dianggap semakin mahal, dan semakin kecil rasionya, makin murah. PER yang rendah menunjukkan harga saham masih murah sehingga memberi peluang terhadap kenaikan harga saham di masa mendatang.

Sebaliknya, dengan PER yang tinggi sering diasosiasikan sebagai saham dengan harga yang cukup mahal sehingga sulit untuk naik lagi dan pada akhirnya berpeluang untuk turun kembali ke nilai fundamentalnya.

Secara matematis, formula yang berlaku umum untuk menghitung PER adalah harga saham dibagi dengan earning per share (EPS) atau laba per saham. EPS ini diperoleh dari laba bersih dibagi dengan jumlah saham beredar.

PER Sebagai Indikator Ekspektasi Pasar

Meski demikian, investor juga bisa melihat valuasi PER dari sudut pandang sebaliknya, yaitu PER yang tinggi menunjukkan ekspektasi pasar terhadap saham bersangkutan.

Artinya, investor tetap saja memburu saham dengan PER tinggi karena percaya kinerja keuangan emiten yang bersangkutan masih solid  di masa mendatang. Sebaliknya, PER yang rendah memang mencerminkan kinerja keuangan yang biasa-biasa saja atau bahkan buruk.

Formula PER dapat dilihat dari dua sisi, tergantung dari sudut pandang masing-masing investor. Meski demikian, valuasi PER sudah diakui sebagai salah satu petunjuk utama yang bersifat universal dalam menilai sebuah harga wajar. 

Bapak investasi Benjamin Graham, misalnya, seperti disampaikan Glen Arnold dalam bukunya bertajuk The Great Investors (2019: hal 49), kadang menyebut harga saham masih wajar jika rata-rata PER tercatat 15 kali dalam tiga tahun terakhir.

Bahkan, Graham juga tak ragu untuk menggunakan rata-rata PER 25 kali dalam tujuh tahun terakhir.

Sementara itu, Budi Frensidy, praktisi dan pengajar pasar modal dari Universitas Indonesia mengungkapkan, untuk pasar saham secara keseluruhan, angka 15 kali sering dianggap sebagai PER wajar.

“Laiknya hukum alam dalam memandang bahwa suhu tubuh manusia normal adalah 37 derajat celcius, angka 15 kali diyakini benar dan dipandang berlaku untuk semua saham dan bursa di dunia. Sedih saya,” ungkap Budi dalam bukunya bertajuk Gesit dan Taktis di Pasar Modal Berbekal Behavioral Finance yang diterbitkan Salemba Empat pada 2016.

Dia menegaskan menerima angka 15 sebagai batas PER murah atau mahal adalah salah kaprah. Pasalnya, premi risiko pasar dan pertumbuhan saham-saham yang tercatat di suatu bursa atau pertumbuhan ekonomi antarnegara berbeda.

PER, katanya, dapat digunakan untuk membandingkan dua saham atau lebih dalam industri yang sama. Meski demikian, PER tidak mempunyai arti untuk perusahaan yang masih mengalami kerugian karena PER negatif tidak dapat diinterpretasikan.

“Prinsipnya adalah PER saham sebesar 15 kali itu berarti investor memerlukan waktu 15 tahun untuk memperoleh modalnya kembali. Nah wajar enggak payback periode selama itu?” sebutnya.

Direktur Avere Investama, sekaligus praktisi pasar modal, Teguh Hidayat, menyatakan lebih memilih valuasi price to book value (PBV) atau rasio harga saham terhadap nilai buku ketimbang PER.

“PER dihitung dari laba bersih perusahaan dalam satu tahun tertentu, di mana laba ini bisa naik atau turun siginifikan di tahun berikutnya. Alhasil angka PER juga bisa berubah secara drastis,” jelas Teguh dalam bukunya berjudul Value Investing, Beat The Market in Five Minutes!, terbitan Elex Media Komputindo (2017).

Dia menambahkan PER hanya cocok untuk saham-saham blue chips atau big caps, yang memiliki kinerja laba relatif stabil dari tahun ke tahun.

Sementara itu, Rasio PBV mencerminkan harga saham terhadap nilai buku sebuah perusahaan. Laman Investopedia mencatat rasio PBV ini sering dievaluasi bersama dengan return on equity (ROE).

Adapun, penghitungan PBV  dilakukan melalui dua tahap berdasarkan nilai ekuitas dari perusahaan, harga saham per lembar, serta jumlah saham beredar.

Langkah pertama adalah mencari nilai buku per lembar saham atau book value per share (BVPS), yaitu ekuitas dibagi dengan jumlah saham beredar.

Setelah mendapatkan nilai BVPS, selanjutnya adalah membagi harga saham saat ini atau terbaru  dengan angka BVPS dan didapatkanlah nilai PBV.

Saham Mahal vs Saham Murah

Untuk lebih jelas dan konkretnya, kita bisa mengunakan saham-saham dalam barisan IDXESGL yang ada di Bursa Efek Indonesia, misalnya saham PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk. (MPMX) dan saham PT Adi Sarana Armada Tbk. (ASSA) dengan mengacu pada penutupan perdagangan Rabu (15/5/2024).

Secara nominal, harga saham MPMX memang lebih mahal ketimbang ASSA. Namun, jika mengacu pada harga wajar atau valuasinya, belum tentu valuasi saham MPMX lebih mahal ketimbang ASSA.

Berdasarkan data Bloomberg, laba per saham atau earning per share (EPS diluted/jumlah saham terkini) MPMX tercatat Rp128,36 (disetahunkan), sehingga dengan harga saham Rp1.020 dibagi dengan EPS Rp128,36 diperoleh angka PER 7,94 kali.

Sementara itu, EPS ASSA tercatat Rp31,75, sehingga dengan harga sahamnya Rp810, maka diperoleh PER sebesar 25,51 kali.

Sederhananya, jika kita memiliki saham MPMX, modal kita baru akan kembali 7,94 tahun, sedangkan untuk saham ASSA, butuh waktu 25,51 tahun.

Selanjutnya, dengan harga saham Rp1.020 dan nilai book value per share (BVPS) sebesar Rp1.399,79, maka saham MPMX memiliki PBV 0,71 kali.

Adapun, dengan harga saham Rp810 dan nilai BVPS Rp522,28, maka saham ASSA memiliki PBV 1,55 kali.

Dengan demikian, saham MPMX memiliki valuasi yang lebih murah karena PER kurang dari 10 kali dan PBV kurang dari 1, dibandingkan dengan ASSA yang memiliki PER di atas 10 kali dan PBV di atas 1 kali.

Tren Volume Perdagangan Saham-Saham IDXESGL

Selanjutnya, setelah memperoleh daftar saham dengan valuasi yang menarik, investor juga dapat memperhatikan tren volume perdagangan saham-saham pilihan tersebut dalam beberapa periode perdagangan terakhir.

Aktivitas dan volatilitas sejumlah saham-saham dapat dilihat dari volume perdagangan saham. Satuan volume dinyatakan dalam lot, di mana 1 lot setara dengan 100 saham.

Adapun, volume perdagangan saham adalah jumlah lembar saham yang diperdagangkan dalam periode tertentu. Makin besar volume perdagangan, kian aktif saham tersebut diperdagangkan. Volume perdagangan juga memiliki kaitan dengan frekuensi perdagangan.

Nah, volume perdagangan saham bisa dijadikan sebagai ukuran likuid atau tidaknya sebuah saham. Makin besar volume, maka saham tersebut semakin likuid dalam perdagangan. Volume transaksi yang tinggi menunjukkan saham yang bersangkutan ramai ditransaksikan, baik posisi beli maupun jual.

Likuiditas saham perlu menjadi perhatian karena tentu investor tak ingin kesulitan jika ingin memperdagangkan kembali sahamnya di lantai bursa. Apalagi, saham yang tidak likuid atau tidak memiliki volume dan lazim disebut sebagai saham zombie, harga sahamnya juga tidak akan kemana-mana.

Laman Investopedia menyebutkan volume perdagangan saham dapat membantu investor untuk memperkuat pengambilan keputusan dalam bertransaksi di pasar saham.

Volume perdagangan saham dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kekuatan pasar karena pergerakan harga, baik turun atau naik, seperti gelombang dan setiap gelombangnya memiliki volume tertentu.  

Kenaikan harga saham yang signifikan bersamaan dengan peningkatan volume yang signifikan, misalnya, dipercaya sebagai sinyal berlanjutnya tren bullish.

Sebaliknya, penurunan harga yang signifikan disertai dengan peningkatan volume yang signifikan dapat menunjukkan berlanjutnya tren bearish.

Untuk itu, penting untuk mencermatinya apakah volume saham tersebut lebih banyak didorong oleh aksi beli atau jual. Yang paling ideal tentunya adalah volume transaksi yang tinggi diikuti oleh aksi beli bersih (bukan jual) sehingga mengerek harga saham.

Prospek Saham-Saham Hijau IDXESGL

Sebagai informasi, IDXESGL atau indeks saham IDX Environmental, Social, and Governance (ESG) Leaders diluncurkan secara resmi oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Pada Senin 23 Desember 2020 yang berisi 30 saham yang memiliki penilaian ESG yang baik, yakni tidak terlibat pada kontroversi, memiliki likuiditas transaksi, serta kinerja keuangan yang baik.

Ketika itu, Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi menyebutkan IDX ESG Leaders merupakan komitmen BEI untuk memberikan alternatif baru investasi di bursa.

Pada perkembangannya, IDXESGL diproyeksikan mendapat sejumlah sentimen positif, terutama  pada tahun ini, khususnya dari momentum pemilihan umum atau pemilu.

Sepanjang 2023, IDXESGL membukukan penguatan sebesar 11% year-to-date (YtD) menuju 155,71. Kinerja ini lebih tinggi dibandingkan indeks komposit (IHSG) yang menguat 6,16% YtD. Adapun penguatan indeks ditopang saham Prajogo Pangestu dan perbankan. 

Pada awal tahun ini, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta sempat mengatakan tren pergerakan indeks ESG Leaders secara mayor masih relatif mengalami peningkatan atau uptren dan memang terbukti hingga pertengaham Mei.

IDXESGL masih tengah menikmati momentumnya dipicu sejumlah sentimen positif, salah satunya datang dari komitmen presiden dan wakil presiden terpilih, yang secara umum mendukung implementasi energi baru terbarukan (EBT) dan green economy, sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang menargetkan net zero emission pada 2060 atau bahkan lebih cepat.  

Oleh karenanya, emiten yang menerapkan ESG dalam tata kelola perusahaannya juga berpeluang dilirik oleh para pelaku investor. Kecenderungannya, investor akan mencermati saham-saham tersebut dalam rangka akumulasi.

 

Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Gajah Kusumo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper