Bisnis.com, JAKARTA – Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mendapatkan label warna kuning dalam revisi taksonomi atau aturan investasi ramah lingkungan yang dikeluarkan pada Selasa (20/2/2024).
Dilansir dari Reuters pada Rabu (21/2/2024), taksonomi baru ini merupakan revisi terhadap dokumen 2022 yang mendefinisikan apa yang dianggap sebagai investasi berkelanjutan untuk mendukung komitmen Indonesia untuk mencapai emisi net-zero pada 2060.
Adapun, dalam taksonomi tersebut terdapat 3 kategori yang dibedakan melalui label yang telah ditetapkan sesuai dengan kategorinya.
Sistem yang digunakan yakni pemberian label dalam 3 warna, yang mana sektor-sektor yang diberi label hijau diartikan sebagai sektor yang sejalan dengan upaya untuk memenuhi tujuan iklim Indonesia.
Sementara itu, label kuning untuk sektor-sektor yang mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon, dan label merah untuk sektor-sektor yang membahayakan lingkungan.
Berdasarkan taksonomi baru, investasi pada PLTU batu bara captive –sistem off-grid yang dikembangkan dan dikelola oleh industri untuk penggunaannya– diberi label kuning asalkan memenuhi kriteria tertentu.
Baca Juga
Pembangkit captive harus dibangun sebelum 2031, ditutup sebelum 2050, dan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 35% dalam waktu 10 tahun sejak beroperasi dari rata-rata 2021.
Taksonomi tersebut juga memberi label investasi ramah lingkungan pada penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada, yang telah dicoba dilakukan oleh Indonesia di bawah inisiatif pendanaan iklim yang dipimpin G7 yang dikenal sebagai Kemitraan Transisi Energi yang Adil.
“Taksonomi baru ini melihat prioritas secara lebih komprehensif dalam konteks yang lebih luas terkait pengurangan emisi karbon. Tidak hanya aspek lingkungan hidup, namun juga menyeimbangkannya dengan aspek kemajuan sosial dan pembangunan ekonomi,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar seperti dilansir dari Reuters, Rabu (21/2/2024).
Sebelumnya, Rencana untuk memasukkan pembiayaan pembangkit listrik tenaga batubara baru ke dalam taksonomi, yang pertama kali diajukan oleh OJK tahun lalu, telah menuai kritik dari kelompok lingkungan yang berupaya membatasi emisi karbon.
Perluasan fasilitas pemrosesan nikel di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan lonjakan investasi pada pembangkit listrik captive, karena lokasinya yang terpencil.
Meskipun banyak bank global telah berhenti mendanai aset batubara, sebagian besar pemberi pinjaman di Indonesia terus membiayai proyek-proyek yang berkaitan dengan batubara karena pentingnya batubara bagi perekonomian. (Nona Amalia)