Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penetapan Hutan Adat Pulau Sipora Mentawai Tumpang Tindih Lahan Konsensi

Proses penetapan hutan adat di Pulau Sipora, Mentawai, Sumatra Barat, menghadapi kendala tumpang tindih lahan dengan konsesi PT Sumber Permata Sipora.
Akim (paman) Asut membawa tombak untuk berburu di kawasan hutan Gunung Batu Benau, Desa Sajau Metun, Kabupeten Bulungan, Kalimantan Utara. Antara/Hafidz Mubarak A
Akim (paman) Asut membawa tombak untuk berburu di kawasan hutan Gunung Batu Benau, Desa Sajau Metun, Kabupeten Bulungan, Kalimantan Utara. Antara/Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA — Proses penetapan hutan adat di Pulau Sipora Kepulauan Mentawai Sumatra Barat tetap berjalan meskipun terdapat tumpang tindih dengan permohonan perizinan konsesi yang diajukan PT Sumber Permata Sipora (SPS).

Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan Julmansyah mengatakan dua masyarakat hukum adat di Pulau Sipora yaitu Uma Sakerebau Mailepet dan Uma Sibagau telah memulai proses permohonan pengakuan hutan adat sejak 2017 dengan luas yang tumpang tindih adalah 6.937 hektare dari total 20.710 hektare yang diajukan PT SPS untuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).

"Jadi sudah berproses cukup lama proses ini, meskipun kami baru penanganannya sejak beberapa bulan lalu. Kemudian kita, bukan menghentikan ya, tapi jeda sementara karena ada yang harus kami selesaikan dengan teman-teman di Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)," ujarnya dilansir Antara, Selasa (26/8/2025). 

Kemenhut telah bertemu dengan pihak masyarakat adat dan pemerintah daerah di Kepulauan Mentawai terkait proses itu. Pihaknya juga tengah menyiapkan rancangan dokumen susunan anggota tim terpadu untuk verifikasi usulan hutan adat.

"Jadi ini ruang sebenarnya untuk bisa mencari titik temu. Dari hasil verifikasi atau dari hasil tim ini bekerja ketahuan nanti dari usulan yang overlap sekitar 6.900, berapa yang nanti tim terpadu sepakati. Karena ada potensi bertambah dan berkurang," katanya. 

Dia menegaskan hingga saat ini belum mengeluarkan PBPH untuk PT Sumber Pertama Sipora. Perusahaan tersebut baru memiliki persetujuan komitmen yang diterbitkan pada 28 Maret 2023 setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur Sumatra Barat melalui verifikasi administrasi dan teknis. PBPH untuk PT SPS akan dikeluarkan hanya jika melewati sejumlah proses termasuk keberadaan dokumen lingkungan yang masih terus dilakukan oleh perusahaan sampai saat ini, selain juga perlu menyusun koordinat geografis penyusunan batas areal kerja dan pelunasan iuran PBPH.

Persetujuan komitmen tersebut bukan izin untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hutan melainkan kesempatan bagi pemohon untuk memenuhi kewajiban sebelum dapat dipertimbangkan untuk pemberian PBPH. Apabila salah satu kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka PBPH tidak akan diberikan dan persetujuan komitmen juga dapat dibatalkan.

Persetujuan komitmen PT SPS diberikan untuk lahan seluas 20.710 hektare atau 33,66% dari luas daratan Pulau Sipora. Persetujuan komitmen tersebut diusulkan untuk izin pemanfaatan kayu hutan alam, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan. Beberapa wilayah yang diajukan juga termasuk areal yang sedang dalam proses penetapan hutan adat, yang juga berada di bawah otoritas Kementerian Kehutanan.

"Ada kewajiban-kewajiban lanjutan yang harus dipenuhi jika dia ingin memperoleh izin, yaitu pembuatan batas area, AMDAL dan pelunasan IPBPH. Kita paham ada penolakan dan macam-macam itu sebetulnya kami sudah berusaha untuk menerapkan prinsip kehati-hatian di dalam proses kemudian perizinan itu," ucapnya. 

Jika memang akan dikeluarkan PBPH di Pulau Sipora, maka Kemenhut akan memastikan implementasi manajemen hutan berkelanjutan. Dalam pendekatan multiusaha kehutanan, maka tidak hanya produk kayu yang dapat diproduksi oleh pemegang PBPH tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Implementasi manajemen hutan berkelanjutan termasuk penebangan selektif dan ketiadaan praktik pembersihan lahan untuk mengganti jenis pohon dengan perkebunan sawit.

"Tidak, sebetulnya makanya ada dukungan dokumen lingkungan, amdal tadi. Jadi Amdal menjadi referensi kita waktu melihat RKU (Rencana Kerja Usaha) seperti apa, jadi kan tidak mungkin kita tinggalkan," tuturnya. 

Sekretaris Ditjen PHL Kemenhut Saparis Soedarjanto menambahkan sampai saat ini belum mengeluarkan PBPH untuk PT SPS karena masih menunggu sejumlah tahapan termasuk penyusunan koordinat geografis areal kerja, persetujuan dokumen lingkungan termasuk AMDAL, pelunasan iuran PBPH. Namun, dia memastikan konsolidasi juga sudah dilakukan terkait tumpang tindih antara pengajuan areal usulan Hutan Adat dan yang diajukan untuk PBPH.

"Ini yang kita pertimbangkan nanti, termasuk dengan pemberian izin tadi. Jika memang nanti prioritas kebijakan ke arah hutan adat, ya sudah, itu dilepas," terangnya. 

Sebelumnya, masyarakat di Pulau Sipora mengumumkan penolakan untuk pemberian PBPH pada kawasan hutan di Pulau Sipora.  Keberatan itu juga sudah diajukan oleh masyarakat Pulau Sipora dan Koalisi Masyarakat Sipil dalam pertemuan di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar pada 22 Mei 2025. Salah satu alasan keberatan yang diajukan masyarakat adalah kekhawatiran pembukaan lahan secara masif akan memperparah potensi bencana di lokasi itu, selain juga berdampak kepada keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Koalisi masyarakat sipil mencatat terjadi 29 bencana termasuk gempa, banjir, longsor, dan abrasi dalam dua tahun terakhir di Pulau Sipora.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro