Bisnis.com, JAKARTA — Total kapasitas proyek energi terbarukan yang mangkrak di India melonjak lebih dari dua kali lipat hanya dalam sembilan bulan terakhir. Menurut surat Asosiasi Pengembang Proyek Berkelanjutan India (SPDA) kepada Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India, lonjakan ini disebabkan oleh keterlambatan pembangunan jaringan transmisi serta hambatan hukum dan regulasi.
Dalam surat tertanggal 27 Juni 2025, SPDA melaporkan bahwa kapasitas proyek energi terbarukan yang telah memenangkan tender tetapi belum menandatangani perjanjian jual beli listrik dengan pembeli kini melampaui 50 gigawatt (GW). Angka ini melonjak tajam dibandingkan dengan 20 GW yang dilaporkan dalam surat sebelumnya pada 4 Oktober 2024.
Kapasitas proyek mangkrak sebesar 50 GW tersebut mencakup sekitar seperempat dari total kapasitas terpasang energi terbarukan India saat ini yang mencapai 184,6 GW.
“Transisi energi India tidak cukup hanya dengan membangun pembangkit surya dan angin. Diperlukan juga upaya untuk memastikan bahwa listrik bersih dapat tersalurkan secara efisien dan tepat waktu dengan biaya yang optimal,” tulis SPDA dalam suratnya, dikutip dari Reuters, Jumat (1/8/2025).
India tengah mengakselerasi transisi energi dengan target menggandakan kapasitas pembangkit nonfosil menjadi 500 GW pada 2030. Selama enam bulan pertama 2025 saja, kapasitas baru dari tenaga surya dan angin mencapai rekor 22 GW, menurut data pemerintah.
Namun, proyek-proyek senilai miliaran dolar yang telah dimenangkan oleh perusahaan seperti JSW, NTPC, Adani Green, ACME Solar, Renew, dan Sembcorp masih terkatung-katung, menurut dua pejabat industri yang mengetahui situasi tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberikan tanggapan saat dimintai komentar oleh Reuters.
Baca Juga
SPDA, yang mewakili sejumlah pemain besar sektor energi terbarukan India seperti Renew Power, ACME Group, dan Avaada Group, juga menyoroti bahwa keterlambatan pembangunan infrastruktur transmisi, terutama di negara bagian dengan pasokan sinar matahari tinggi seperti Rajasthan dan Gujarat, membuat banyak proyek tenaga surya gagal memenuhi tenggat waktu, sehingga berisiko terkena denda dan kehilangan insentif pemerintah.
SPDA mendesak pemerintah untuk mengakui keterlambatan pembangunan jaringan dan perizinan sebagai kejadian force majeure. Dengan demikian, pengembang tidak dikenai sanksi finansial. Mereka juga meminta percepatan dalam proses perizinan regulasi.
Lebih lanjut, SPDA mengungkapkan bahwa sejumlah proyek juga tertahan akibat sengketa hukum jangka panjang terkait lahan dan izin lingkungan. Beberapa pengembang bahkan menghentikan kegiatan operasional mereka karena kasus yang belum terselesaikan di pengadilan.