Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Panas Ekstrem Terus Telan Korban Pekerja di Eropa, Kematian Melonjak Tiga Kali Lipat

Gelombang panas yang melanda Eropa musim panas ini menewaskan sekitar 2.300 orang di 12 kota besar, termasuk Barcelona, dalam rentang 10 hari terakhir Juni.
Para pekerja berada di luar ruangan saat suhu tinggi di Bukit Areopagus di Athena pada tanggal 28 Juni 2025./Bloomberg-Ioana Epure
Para pekerja berada di luar ruangan saat suhu tinggi di Bukit Areopagus di Athena pada tanggal 28 Juni 2025./Bloomberg-Ioana Epure

Bisnis.com, JAKARTA – Gelombang panas ekstrem yang melanda Eropa musim panas ini menewaskan sekitar 2.300 orang di 12 kota besar, termasuk Barcelona, dalam rentang 10 hari terakhir Juni.

Temuan itu terungkap dalam studi cepat yang pertama kali mengaitkan secara langsung kematian akibat cuaca ekstrem dengan perubahan iklim.

Melansir Reuters, Kamis (10/7/2025), studi yang dilakukan oleh peneliti dari Imperial College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine menyebut bahwa pemanasan global menyebabkan gelombang panas tahun ini menjadi tiga kali lebih mematikan.

Bahkan, jumlah korban melebihi peristiwa banjir besar di Valencia pada 2024 maupun banjir di Eropa barat laut pada 2021.

Pakar iklim Imperial College Friederike Otto mengatakan angka-angka ini mewakili orang-orang nyata yang kehilangan nyawa dalam beberapa hari terakhir karena panas ekstrem.

Panas ekstrem terbukti memicu lonjakan kematian, terutama saat suhu mencapai ambang batas yang tidak lagi mampu ditoleransi kelompok rentan.

“Kenaikan suhu gelombang panas sebesar dua hingga empat derajat saja dapat menjadi penentu antara hidup dan mati bagi ribuan orang,” imbuh Otto.

Di Spanyol, seorang pekerja kebersihan di Kota Barcelona, Montse Aguilar (51 tahun) meninggal dunia akibt serangan panas, yang memicu kemarahan publik.

Sebelum meninggal dunia, Aguilar masih dalam kondisi sehat ketika memulai sif kerjanya membersihkan jalan di Barcelona pada pukul 14.30, 28 Juni lalu. Hari itu, kota berada dalam status siaga akibat gelombang panas ekstrem yang melanda seluruh Spanyol dan memecahkan rekor suhu untuk waktu tersebut.

Usai bekerja sekitar pukul 21.30, dia berjalan pulang ke rumah dan meminta ibunya yang lanjut usia menyiapkan makan malam karena merasa tidak enak badan. Ia juga sempat mengirim pesan ke seorang teman, mengeluhkan kram pada lengan, dada, dan leher, menurut iparnya, Manuel Ceacero.

Menjelang pukul 23.00 malam itu, Aguilar ambruk dan meninggal dunia di apartemennya.

Tuntutan Perubahan Regulasi

Pemerintah kota segera memperketat protokol kerja, termasuk mewajibkan jeda lima menit setiap jam untuk hidrasi selama gelombang panas.

Otoritas kini menyelidiki FCC SA, perusahaan tempat Aguilar bekerja, yang mengontrak jasa kebersihan dari pemerintah kota. FCC menolak memberikan komentar.

Lluís Lampurlanes dari serikat pekerja UGT mengatakan kebijakan sebelumnya keliru karena tanggung jawab diserahkan sepenuhnya kepada pekerja.

“Kami butuh regulasi lebih ketat karena gelombang panas makin sering dan pekerjaan di jalan tetap harus dilakukan,” tegasnya.

Korban akibat panas ekstrem juga jatuh di Italia. Sedikitnya tiga orang tewas akibat panas saat bekerja. Pemerintah Perdana Menteri Giorgia Meloni pun memberlakukan protokol nasional, mencakup pengurangan jam kerja dan penghentian aktivitas bisnis saat suhu mencapai tingkat tertentu.

Di Yunani, Kementerian Ketenagakerjaan memberlakukan larangan kerja luar ruangan antara pukul 11.00 hingga 17.00 di wilayah seperti Athena dan Thessaloniki yang suhunya menembus 40°C.

Akropolis pun ditutup, dan kebijakan ini mencakup kurir dan pengantar barang. Namun sektor vital seperti transportasi, kesehatan, dan utilitas dikecualikan. Meski suhu di Yunani sempat turun, akhir pekan ini diperkirakan akan kembali melampaui 35°C.

Nyawa di Tengah Krisis Iklim

Banyak kematian akibat panas yang tidak tercatat secara resmi. Para ilmuwan kini memakai pendekatan baru untuk memperkirakan dampaknya. Dalam studi terbaru, peneliti menganalisis data cuaca dan angka kematian di 12 kota, lalu membandingkannya dengan simulasi dunia tanpa perubahan iklim.

Mereka menyimpulkan bahwa gelombang panas tahun ini 1–4°C lebih panas akibat pemanasan global, dan setidaknya 1.500 nyawa bisa terselamatkan di dunia yang tidak mengalami pemanasan.

Pierre Masselot, ahli epidemiologi lingkungan dan salah satu penulis studi mengatakan seluruh pihak harus sudah mulai bertindak melawan perubahan iklim agar tidak ada lagi korban berjatuhan.

“Mengurangi panas di kota penting, tapi itu tidak akan seefektif menurunkan emisi gas rumah kaca secara langsung,” ungkapnya.

Namun, penghitungan resmi oleh pemerintah akan memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Banyak kematian terjadi di rumah atau rumah sakit, jauh dari sorotan publik.

Menurut peneliti Garyfallos Konstantinoudis, gejala serangan panas atau heat stroke kerap tak dikenali, terutama pada lansia dengan penyakit lain yang tumpang tindih.

Keluarga Menuntut Keadilan

Di Barcelona, keluarga Montse Aguilar masih menanti hasil autopsi yang akan memastikan penyebab kematiannya. Namun sang suami, Ceacero, memastikan mereka akan menggugat ke pengadilan.

“Kami lakukan ini untuk mengenang dia. Tapi juga karena banyak rekan kerjanya bilang mereka ini manusia, bukan binatang—dan mereka hanya ingin pulang dalam keadaan hidup,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper