Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ikuti Tren Global, Indef Dorong Pemerintah Fokus Tarik Investasi Energi Terbarukan & Digital

Indef menilai Indonesia perlu mendorong investasi baru di sektor energi baru terbarukan dan ekonomi digital seiring dengan tren investasi global.
Pekerjaan meninjau jaringan instalasi panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Trans Studio Mall Cibubur, Depok, Jawa Barat, Senin (4/12/2023)/Bisnis-Abdurachman
Pekerjaan meninjau jaringan instalasi panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Trans Studio Mall Cibubur, Depok, Jawa Barat, Senin (4/12/2023)/Bisnis-Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Indonesia perlu mendorong proyek-proyek investasi baru di sektor energi baru terbarukan dan ekonomi digital, seiring dengan tren investasi global yang mengarah pada dua sektor tersebut.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan bahwa laporan World Investment Report 2025 yang dirilis United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menunjukkan tren pertumbuhan positif investasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Indonesia, berdasarkan laporan UNCTAD, termasuk negara yang konsisten mencatatkan peningkatan investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).

“Yang menarik, sektor energi terbarukan dan digital mengalami lonjakan investasi global. Ini artinya Indonesia perlu menangkap peluang tersebut dengan mendorong proyek-proyek greenfield di dua sektor itu,” ujar Andry kepada Bisnis, Jumat (20/6/2025).

Dia juga menyoroti urgensi hilirisasi sumber daya alam, yang menurutnya dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur energi bersih di dalam negeri.

Menurutnya, produk-produk hasil hilirisasi seharusnya tidak berhenti di ekspor saja, namun turut bisa digunakan untuk membangun infrastruktur EBT itu sendiri.

"Itu bisa jadi strategi jangka panjang yang berdampak nyata,” tambahnya.

Terkait ekonomi digital, Andry menekankan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur data center dan cloud computing di Indonesia. Sebagai pasar digital terbesar keempat di dunia, Indonesia dinilai memiliki potensi besar yang belum tergarap maksimal.

“Investasi digital harus jadi prioritas. Kita butuh ekosistem data center dalam negeri dan penguatan platform digital yang mampu mengoptimalkan pasar domestik yang sangat besar,” jelasnya.

Andry menilai bahwa dorongan terhadap investasi digital ini juga harus dibarengi dengan kebijakan yang memperkuat daya saing Indonesia di sektor teknologi dan keterbukaan investasi berbasis keberlanjutan.

Di samping itu, berdasarkan laporan UNCTAD, dia mengingatkan adanya tantangan besar dalam mendorong investasi yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih menghadapi kesenjangan pembiayaan jangka panjang dan risiko praktik greenwashing.

“Standar praktik SDGs investment saat ini belum seragam dan rawan greenwashing, maka investasi berkelanjutan harus dijalankan secara prudent dan diakui secara internasional,” ujarnya.

Dalam konteks perencanaan investasi jangka panjang, Andry juga menyinggung perlunya pertama jalan investasi yang lebih konkret dari entitas holding milik seperti Danantara.

Ke depan, ia berharap pemerintah lebih agresif dalam menyusun peta jalan investasi strategis di sektor-sektor berkelanjutan, guna menarik investasi berkualitas dan mendukung transformasi ekonomi hijau di Indonesia.

“Sampai sekarang kita belum melihat pipeline investasi dari Danantara. Padahal, kejelasan arah dan target investasinya penting untuk membangun kepercayaan investor,” kata Andry.

Tren Negatif

UNCTAD melaporkan bahwa realisasi investasi global mencapai US$1,51 triliun pada 2024. Jumlah tersebut lebih tinggi dari realisasi investasi global pada tahun sebelumnya sebesar US$1,45 triliun.

Meski aliran FDI meningkat 4% dari US$1,45 triliun menjadi US$1,51 triliun, namun UNCTAD menyatakan peningkatan tersebut terjadi akibat aliran dana yang tidak stabil melalui negara perantara (conduit economies).

Negara perantara itu seperti Luksemburg, Belanda, Kepulauan Cayman, dan lainnya. Negara-negara itu biasanya digunakan sebagai jalur lalu lintas dana oleh perusahaan multinasional, bukan sebagai lokasi investasi riil.

"Jika aliran melalui negara perantara tersebut dikecualikan, maka aliran FDI global justru turun 11%, menandai penurunan untuk tahun kedua berturut-turut," tulis UNCTAD dalam laporannya, yang terbit pada Kamis (19/6/2025).

Dilaporkan, FDI ke negara-negara berkembang masih sangat terkonsentrasi pada sejumlah kecil negara.

Aliran FDI ke negara-negara berkembang secara keseluruhan stagnan, meskipun terdapat kenaikan signifikan di Afrika (75%) dan Asia Tenggara (10%). Sebaliknya, aliran investasi justru menurun di Asia Timur (-12%) dan Amerika Selatan (-18%).

Di Indonesia sendiri, penanaman modal asing langsung sebesar US$24,21 miliar pada 2024 atau sekitar Rp363,18 triliun (kurs APBN 2024: Rp15.000 per dolar AS). Dalam catatan UNCTAD, angka tersebut meningkat dari realisasi investasi asing langsung pada tahun lalu sebesar US$21,49 miliar atau naik 12,63%.

Lebih lanjut, tren sektoral menunjukkan penurunan investasi di sebagian besar sektor infrastruktur atau menurun 14%. Sebaliknya, sektor digital mencatat lonjakan nilai proyek hingga dua kali lipat.

Porsi FDI yang semakin besar di sektor ekonomi digital tercermin dalam komposisi 100 perusahaan multinasional (MNE) teratas, di mana perusahaan teknologi kini menyumbang lebih dari 20% dari total pendapatan mereka.

Sementara itu, investasi yang ditujukan bagi pencapaian SDGs di negara-negara berkembang turun antara seperempat hingga sepertiga, khususnya di sektor infrastruktur, energi terbarukan, air dan sanitasi, serta sistem pangan dan pertanian. 

Hanya sektor kesehatan yang mencatat pertumbuhan positif pada 2024, meskipun dimulai dari basis yang relatif kecil.

Adapun penurunan pembiayaan proyek internasional (international project finance/IPF) berdampak besar terhadap upaya pembangunan. Kontraksi berkepanjangan dalam IPF menjadi perhatian serius menjelang Konferensi Internasional Keempat tentang Pembiayaan Pembangunan.

Antara 2021—2024, nilai IPF turun lebih dari 40%. Negara-negara terbelakang (LDCs) menjadi pihak yang paling terdampak, karena sangat bergantung pada sumber pembiayaan internasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper