Bisnis.com, JAKARTA — Malaysia akan meminta Uni Eropa untuk meninjau kembali keputusannya yang mengklasifikan negara tersebut dalam kategori berisiko standar dalam undang-undang antideforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR). Klasifikasi tersebut dinilai tidak mengacu pada data terbaru.
Berbicara dalam sebuah acara di Singapura pada Rabu (28/5/2025), Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani menyebut bahwa klasifikasi tersebut mengacu pada data 2020 dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organization/FAO). Padahal Malaysia selaku eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia telah menerapkan berbagai langkah yang memadai untuk dikategorikan sebagai negara berisiko rendah.
Komisi Eropa dalam notifikasi pada 21 Mei 2025 hanya memasukkan empat negara dalam daftar risiko tinggi deforestasi EUDR. Keempat negara itu adalah Belarus, Myanmar, Korea Utara, dan Rusia. Sementara itu, 27 negara Uni Eropa, China hingga Amerika Serikat masuk dalam deretan negara dengan risiko deforestasi rendah.
Berdasarkan regulasi UE, negara berisiko standar akan menghadapi pemeriksaan kepatuhan yang lebih ringan atas barang-barang yang diekspor ke Eropa, sementara negara berisiko rendah akan dikenai aturan uji tuntas (due diligence) yang lebih longgar. Selain Malaysia, negara-negara yang dikategorikan sebagai berisiko standar adalah Indonesia dan Brasil.
EUDR yang diperkirakan mulai berlaku pada Desember 2025 mencakup komoditas seperti kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao, dan kopi, serta produk turunannya seperti kulit, cokelat, dan furnitur.
Di tengah keputusan UE tersebut, Johari menegaskan kembali komitmen Malaysia untuk menyampaikan bukti ilmiah terbaru guna mendukung permintaan perubahan status menjadi berisiko rendah.
Baca Juga
“Malaysia telah menerapkan kebijakan ketat tanpa deforestasi dan mengembangkan sistem sertifikasi kami sendiri yang memastikan keterlacakan, kepatuhan, dan inklusivitas, terutama bagi petani kecil,” ujar Johari sebagaimana tertulis dalam transkrip resmi pernyataannya, dikutip dari Reuters, Senin (2/6/2025).
“Kami berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan Komisi UE guna memastikan pengakuan yang adil terhadap kemajuan kami,” tambahnya, seraya menyatakan bahwa Malaysia juga telah berpartisipasi secara luas dalam upaya keberlanjutan internasional.
Komisi Eropa menyatakan bahwa metodologi mereka mengacu pada komitmen terhadap keadilan, objektivitas, dan transparansi. Mereka mengklaim memiliki proses benchmarking yang dinamis dan akan ditinjau kembali pada 2026 setelah publikasi data baru akhir tahun ini.
Dewan Minyak Sawit Malaysia menyebut bahwa klasifikasi UE didasarkan pada metode yang terlalu sempit dan tidak lengkap, serta hanya mengacu pada angka rata-rata hilangnya hutan tahunan antara 2015 dan 2020.
“Kerangka waktu yang singkat ini tidak menunjukkan gambaran yang utuh,” sebut mereka dalam pernyataan tertulis.
Dewan Minyak Sawit Malaysia juga menyuarakan kekhawatiran terhadap metodologi UE yang dinilai hanya melihat kehilangan hutan secara umum dan mendiskriminasi sektor minyak sawit. Sementara itu, delegasi UE di Malaysia belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar di luar jam kerja reguler.