Bisnis.com, JAKARTA — Langkah Uni Eropa untuk menyederhanakan kewajiban pelaporan perusahaan yang tertuang dalam undang-undang deforestasi (EU Deforestation Regulation/EUDR) menjadi angin segar bagi eksportir Indonesia.
Namun kelonggaran ini tak serta-merta melanggengkan akses pasar Eropa bagi komoditas yang rawan diganjar larangan masuk. Posisi sawit, kakao, karet hingga hasil hutan asal Indonesia masih jauh dari aman.
EUDR sendiri merupakan regulasi terbaru Uni Eropa yang berisi larangan impor komoditas-komoditas terkait deforestasi seperti kedelai, minyak sawit, daging sapi, kakao, karet dan hasil hutan.
EUDR mulanya direncanakan berlaku pada 31 Desember 2024, tetapi Komisi Eropa sepakat untuk menundanya selama setahun. Penundaan ini terjadi setelah sejumlah negara produsen komoditas yang menjadi sasaran seperti Brasil, Indonesia hingga Amerika Serikat (AS) menyatakan protes.
Dalam perubahan aturan yang diumumkan Selasa malam (15/4/2025), Komisi Eropa menyatakan bahwa perusahaan cukup menyerahkan pernyataan uji tuntas (due diligence) sekali dalam setahun, alih-alih untuk setiap pengiriman atau batch produk yang masuk ke pasar Uni Eropa.
“Tujuan kami adalah mengurangi beban administratif bagi perusahaan tanpa mengorbankan tujuan dari regulasi ini,” ujar Komisioner Lingkungan UE, Jessika Roswall, dalam pernyataannya yang dikutip Reuters.
Meski menerapkan pelonggaran, Uni Eropa tetap menolak tekanan dari sejumlah sektor, termasuk industri kertas AS. Industri ini menuntut pelonggaran aturan lebih lanjut serta kewajiban pelaporan yang lebih mudah bagi perusahaan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan simplifikasi yang diumumkan Komisi Eropa merupakan kabar baik bagi eksportir nasional karena mengurangi beban kepatuhan (compliance) ke Uni Eropa. Meski demikian, pelaku usaha masih mengobservasi sejauh mana penyederhanaan kepatuhan EUDR ini akan membantu ekspor Indonesia, terlebih dengan banyaknya aspek yang belum diklarifikasi oleh blok ekonomi politik benua Eropa tersebut.
Shinta juga menyoroti soal belum terbitnya daftar risiko deforestasi setiap negara. Menjelang akhir Juni 2025, UE akan mengkategorikan negara-negara mana saja yang akan masuk dalam kategori berisiko tinggi, standar, atau rendah. Impor dari negara berisiko rendah akan dikenakan persyaratan kepatuhan yang lebih ringan.
“Jadi produk ekspor nasional Indonesia, khususnya di sektor agrikultur dan kehutanan atau turunannya, masih rentan terdiskriminasi. Masih terlalu dini untuk bergembira atau mengatakan bahwa EUDR tidak lagi menjadi hambatan ekspor nasional ke pasar Uni Eropa,” kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (23/4/2025).
Shinta juga mencatat bahwa simplifikasi EUDR belum menyentuh aspek substansial yang memberatkan Indonesia. Dia memberi contoh soal ketiadaan pengakuan EUDR terhadap standar-standar keberlanjutan yang sudah diterapkan di Indonesia seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk sawit dan Forest Stewardship Council (FSC) untuk hasil hutan. Jika sertifikasi tersebut tidak diakui sebagai bukti kepatuhan, maka beban administratif dan biaya kepatuhan tetap tinggi.
Simplifikasi juga tidak menjawab kendala-kendala yang dihadapi petani plasma dan UMKM yang terlibat dalam rantai pasok ekspor produk agrikultur dan kehutanan Indonesia. Shinta mengatakan ketentuan teknis seperti lokasi geografis produk tetap sulit diterapkan di lapangan, meski telah melibatkan buyer maupun korporasi besar.
“Kesiapan eksportir Indonesia akan tergantung pada klarifikasi dan kejelasan dari Uni Eropa terkait aspek-aspek ini,” tambah Shinta.
Secara umum, pelaku usaha berskala besar yang telah mengantongi sertifikasi keberlanjutan bertaraf internasional berada dalam posisi yang lebih siap untuk memenuhi ketentuan EUDR. Namun, kesiapan tersebut sangat bergantung pada kesediaan Uni Eropa untuk mengakui dan menerima informasi-informasi terkait aspek environmental, social, and governance (ESG) yang telah tercantum dalam sertifikasi-sertifikasi tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasi situs Satu Data Kementerian Perdagangan, total ekspor nonmigas Indonesia ke 27 negara anggota UE pada 2024 mencapai US$18,71 miliar, nilai ini turun 2,11% dibandingkan dengan 2023 yang mencapai US$19,11 miliar. Adapun dalam kurun 2020–2024, nilai ekspor Indonesia ke UE mencapai rekor US$23,18 miliar pada 2022.
Tren penurunan ekspor ke UE terpantau masih berlanjut pada dua bulan pertama 2025. Selama Januari–Februari 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke kawasan tersebut bernilai US$3,01 miliar atau turun 1,87% dibandingkan dengan Januari–Februari 2024 sebesar US$3,06 miliar.