Bisnis.com, JAKARTA - Siapa sangka budi daya rumput laut memiliki peran yang amat penting untuk pengembangan ekonomi hijau dan ekonomi biru demi udara yang lebih bersih bagi masyarakat global, termasuk Indonesia.
Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa budi daya rumput laut mampu menyimpan karbon seefektif ekosistem pesisir alami. Hal ini meningkatkan potensi pengurangan karbon laut. Studi yang didukung oleh Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) tersebut telah dipublikasikan di jurnal Nature dengan judul Carbon burial in sediments below seaweed farms matches that of Blue Carbon habitats.
Penelitian itu menunjukkan bahwa budi daya rumput laut memiliki kapasitas untuk menyimpan karbon organik di sedimen di bawahnya dengan laju yang mirip dengan habitat Karbon Biru alami. Adapun, karbon biru merujuk kepada karbon yang ditangkap dan disimpan dalam ekosistem laut, yang berpotensi membantu mengurangi perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan artikel berjudul Study Reveals Potential of Seaweed Farms as Carbon Storage Solution yang ditulis oleh Ellie McDonald dari Departement of Nuclear Science and Applications IAEA.
Tulisan yang dipublikasikan pada Jumat (9/5/2025) tersebut mengungkapkan bahwa ilmuwan IAEA menggunakan teknik nuklir untuk menilai tingkat penguburan karbon dalam penilaian empiris komprehensif pertama tentang penyimpanan karbon di lokasi budi daya rumput laut di seluruh dunia. Alhasil, studi ini diklaim dapat membuka peluang baru dalam mitigasi perubahan iklim.
Penulis utama di jurnal Nature terkait hal tersebut, Pere Masque mengungkapkan bahwa rumput laut dapat mengubur karbon dalam sedimen pada tingkat yang sebanding dengan habitat Karbon Biru alami.
"Kami berhipotesis bahwa penguburan karbon dalam sedimen ini akan signifikan, dan dengan dukungan dari tim lokal yang luar biasa, kami mengujinya di 20 lokasi budi daya rumput laut yang berbeda di seluruh dunia," katanya yang juga merupakan mantan anggota staf IAEA.
Menurutnya, tingkat akumulasi karbon organik dalam sedimen laut itu rumit, tetapi dapat dicapai melalui pemanfaatan teknik nuklir. Dia menjelaskan bahwa sedimen laut terakumulasi dari waktu ke waktu dalam lapisan-lapisan, sehingga pengambilan sampel harus dilakukan menggunakan alat pengumpul sedimen.
Wadah silinder panjang tersebut, imbuhnya, dimasukkan ke dalam sedimen secara vertikal untuk mengumpulkan sampel sambil menjaga lapisan-lapisan tetap utuh. Setelah sampel dikumpulkan dan disiapkan, para ilmuwan menggunakan isotop timbal-210, radionuklida yang terjadi secara alami, untuk menentukan tingkat akumulasi sedimen.
“Timbal-210 memiliki waktu paruh 22 tahun, jadi kita dapat menggunakannya untuk menilai tingkat akumulasi pada skala waktu puluhan tahun hingga satu abad. Ini memungkinkan kita mengukur tingkat penguburan karbon organik yang tersimpan dalam ekosistem ini,” jelasnya.
Ilmuwan IAEA Beat Gasser menambahkan bahwa penelitian semacam ini amat menarik lantaran telah membuka lebih banyak peluang bagi peneliti untuk melakukan pekerjaaan yang amat penting ini.
"Alat nuklir yang kami gunakan memberi kami kemampuan untuk sangat teliti saat menghitung tingkat akumulasi karbon, yang merupakan kunci saat mempelajari lebih banyak bidang baru," ujarnya.
Sementara itu, penulis utama studi pada jurnal tersebut, Carlos Duarte menambahkan bahwa budi daya rumput laut menawarkan solusi berbasis alam yang dapat ditingkatkan skalanya untuk menghilangkan karbon.
"Sekaligus memberikan manfaat tambahan seperti peningkatan keanekaragaman hayati, peluang ekonomi, dan ketahanan pangan," ujarnya yang juga merupakan Kepala Ilmuwan Oceans 2050.
Adapun, jumlah budi daya rumput laut global kini terus meningkat. Setidaknya ada 35 negara yang melakukan pemanenan rumput laut secara komersial baik di perairan yang dingin, sedang, hingga tropis.