Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan-perusahaan manufaktur panel surya asal China kompak mencetak kerugian besar pada kuartal I/2025, seiring dengan prospek yang makin suram karena ancaman tarif tinggi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Mengutip kalkulasi Bloomberg, lima produsen utama panel surya yakni JA Solar Technology Co., Jinko Solar Co., Longi Green Energy Technology Co., Tongwei Co., dan Trina Solar Co. secara kumulatif membukukan bottom line negatif di angka 8 miliar yuan atau sekitar Rp18,28 triliun (kurs Rp2.286 per yuan) pada kuartal I/2025.
Sebagai perbandingan, kerugian kolektif kelima perusahaan tersebut sepanjang tahun lalu masih di bawah 2 miliar yuan, dan dua perusahaan masih mencetak laba.
“Selama kuartal pertama, harga di seluruh segmen utama rantai industri surya berada di titik rendah. Hal ini, ditambah dengan gangguan permintaan akibat perubahan kebijakan perdagangan internasional, menekan margin keuntungan di tiap segmen rantai pasok surya,” tulis Jinko dalam pernyataan resmi yang dikutip Bloomberg, Rabu (30/4/2025).
Kerugian ini mengindikasikan bahwa pembatasan produksi sukarela yang disepakati puluhan produksi pada tahun lalu belum membuahkan hasil signifikan, meskipun Jinko melaporkan adanya perbaikan kinerja secara bertahap.
Kondisi industri panel surya China diperkirakan makin memburuk jika tarif yang diusulkan oleh pemerintahan Trump benar-benar diterapkan. Kebijakan tersebut mencakup bea masuk fantastis hingga 3.521% terhadap empat negara Asia Tenggara, yang selama ini menjadi basis produksi perusahaan China untuk menghindari tarif AS.
Baca Juga
Tarif baru itu diumumkan awal April dan diperkirakan difinalisasi dalam beberapa pekan mendatang, tergantung hasil investigasi otoritas perdagangan AS mengenai dampaknya terhadap produsen domestik. Jika disahkan, industri solar China kemungkinan akan menghadapi gelombang relokasi produksi yang mahal.
CSI Solar Co., afiliasi dari Canadian Solar Inc. yang terdaftar di Nasdaq, menyatakan tengah bersiap memindahkan kapasitas produksinya ke wilayah lain yang memberlakukan tarif lebih rendah.
JA Solar juga mengumumkan rencana mempercepat ekspansi globalnya, termasuk membuka pabrik baru di Oman.
Sementara itu, Longi Green, produsen panel surya terbesar di China, memilih menunggu kepastian dampak tarif terhadap permintaan di AS.
“Kami akan tetap mengikuti jalur rantai pasok yang sudah dibangun dan terus memantau perkembangan kebijakan,” ujar Chairman Zhong Baoshen dalam panggilan konferensi. Longi diketahui memiliki pabrik di Ohio yang dibangun untuk memanfaatkan insentif dari pemerintahan Biden.
Namun di sisi domestik, permintaan yang sempat meningkat akibat percepatan instalasi dalam negeri diperkirakan akan menurun tajam setelah 1 Juni 2025. Hal ini seiring dengan diberlakukannya kebijakan baru di China terkait harga jual listrik surya yang kurang menguntungkan.
Analis Daiwa Capital Markets, termasuk Dennis Ip, memperkirakan profitabilitas perusahaan-perusahaan tersebut akan membaik pada kuartal kedua, tetapi dia turut memperingatkan bahwa perbaikan bakal bersifat sementara.
“Kemungkinan akan terjadi kekosongan permintaan pada kuartal ketiga,” demikian tertulis dalam catatan riset mereka.