Bisnis.com, JAKARTA — Eropa mencatatkan tahun terpanas dalam sejarah pada 2024. Kondisi ini terjadi tengah fenomena El Niño kuat yang memicu serangkaian cuaca ekstrem percepatan pencairan gletser.
Analisis tahunan yang dilakukan oleh Copernicus Climate Change Service dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan bahwa separuh wilayah Eropa mencatatkan rekor suhu baru. Suhu laut di sekitar Eropa juga mencapai tingkat tertinggi yang pernah tercatat.
“Sejak 1980-an, kawasan Eropa menghangat dua kali lebih cepat daripada rata-rata global. Hal ini membuat pemimpin berbagai negara memperkuat sistem peringatan dini menghadapi cuaca ekstrem,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo dalam pernyataan yang dikutip Bloomberg, Selasa (15/4/2025).
Saulo mengatakan bahwa para pemimpin Eropa tengah memperkuat sistem peringatan dini untuk menghadapi dampak cuaca ekstrem seperti banjir dan gelombang panas. Namun, kemajuan di beberapa wilayah, terutama di Eropa Tenggara, masih berjalan lambat.
“Kita harus bergerak lebih cepat dan lebih jauh,” tegasnya.
Dalam laporannya, Copernicus Climate Change Service dan WMO menyebutkan panas berlebih di atmosfer dan lautan meningkatkan risiko terjadinya badai sepanjang tahun lalu. Hal ini membuat Eropa mengalami bencana banjir terburuk dalam satu dekade terakhir.
Suhu rata-rata Eropa yang tercatat 1,47°C di atas normal menyebabkan laju pencairan gletser di Skandinavia dan Svalbard mencapai rekor tertinggi. Tren ini melanjutkan pola suhu ekstrem yang juga terjadi pada 2023.
Sementara itu, Badai Boris yang membawa kelembaban tinggi dari atmosfer, mengguyur sebagian wilayah Jerman, Italia, Polandia, Rumania, dan Ceko. Badai ini membawa curah hujan yang setara dalam periode tiga bulan hanya dalam empat hari pada September 2024.
Banjir mematikan ini menyebabkan meluapnya Sungai Donau, Elbe, dan Oder, dengan total kerugian diperkirakan mencapai US$20 miliar menurut Gallagher Re.
Kemudian pada akhir tahun, hujan deras yang melanda Valencia, Spanyol menewaskan lebih dari 200 orang dan menimbulkan kerugian senilai US$11 miliar menurut analisis Munich RE.
Terdapat pula perbedaan cuaca mencolok antara timur dan barat Eropa pada 2024. Negara-negara di timur mengalami kondisi lebih kering dari normal, sementara Eropa Tenggara mengalami gelombang panas terpanjang yang pernah tercatat, yakni selama 13 hari berturut-turut pada Juni.
Perbedaan cuaca yang mencolok turut mempengaruhi tingkat tutupan awan dan pasokan energi surya di Eropa. Durasi sinar matahari naik 4% dibandingkan dengan rata-rata, hal ini terutama didorong oleh langit cerah di negara-negara timur seperti Balkan. Kawasan ini mendapat ratusan jam sinar matahari lebih banyak dari biasanya.
Sebaliknya, wilayah barat Eropa menerima tutupan awan yang lebih banyak. Langit yang lebih mendung membuat Prancis kehilangan sekitar 350 jam sinar matahari dibandingkan dengan angka normal.
Terlepas dari kondisi tersebut, produksi energi terbarukan di Eropa justru mencapai rekor baru. Pasokan energi bersih didukung oleh periode singkat angin kencang, meningkatnya durasi sinar matahari, serta pertumbuhan jumlah turbin angin dan panel surya.