Bisnis.com, JAKARTA — Pengembangan proyek properti hijau di Tanah Air cenderung masih lambat.
Berdasarkan data Green Building Council Indonesia, jumlah properti hijau di Indonesia pada 2022 menjadi 63 bangunan. Angka ini bertambah menjadi 100 proyek properti bangunan gedung memperoleh sertifikasi greenship dari GBCI, sedangkan gedung yang memperoleh sertifikasi Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE) dari International Finance Corporation (IFC) sekitar 150 bangunan. Adapun ditargetkan dalam 3 tahun mendatang akan ada 500an proyek properti yang tersertifikasi hijau baik melalui GBCI maupun IFC.
Ketua Umum Green Building Council Indonesia (GBCI) Ignesjz Kemalawarta mengatakan penerapan sertifikasi hijau pada properti sangat penting karena 40% dari total konsumsi energi global berasal dari sektor bangunan. Oleh karena itu, konsep green building sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan.
“Kita juga harus memahami bahwa perubahan iklim terjadi karena panas yang masuk ke bumi tidak dapat keluar kembali, akibat terlalu banyak emisi karbon di atmosfer. Misalnya, di Dubai, suhu pernah mencapai 61°C, yang menunjukkan betapa ekstremnya perubahan iklim saat ini,” ujarnya kepada Bisnis dikutip Sabtu (22/3/2025).
Properti hijau banyak diterapkan pada gedung pemerintahan baik kementerian maupun badan usaha milik negara (BUMN). Selain itu, penerapan properti hijau juga banyak diadopsi pada lembaga pendidikan. Sebaliknya, penerapan properti hijau pada gedung maupun bangunan hunian pengembang swasta masih minim.
Hingga saat in, baru ada lima grup pengembang besar yang gencar menerapkan prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan pada proyek-proyek properti. Kelima pengembang besar tersebut yakni PT Intiland Development Tbk, Sinar Mas Land, Kota Baru Parahyangan, Alam Sutera, dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA).
Baca Juga
“Gedung pemerintahan ini semangat, tapi developer enggak banyak, saya mau ngepush dulu developernya untuk saving energy generasi mendatang. Jumlah properti hijau di Indonesia masih sedikit dibandingkan negara tetangga seperti Singapura yang sudah 1.000 bangunan,” katanya.
Menurutnya, masih sedikitnya properti hijau di Indonesia karena biaya konstruksi yang dikeluarkan lebih tinggi sebesar 3% hingga 4%. Kendati demikian tingginya biaya awal tersebut terkompensasi atau sudah kembali dalam 5 tahun awal pengoperasian yang terkonversi dari penghematan energi dan air.
“Selama usia bangunan 40 tahun, bangunan properti hijau menikmati biaya operasional lebih rendah 15% hingga 40%,” ucapnya.
Untuk mendorong properti hijau di Indonesia, GBCI bersama Kadin tengah menyusunpedoman peringkat hijau yang wajib dipenuhi untuk bisa mendapat kategori bangunan hijau. Aspek itu meliputi besaran area terbuka hijau, efisien energi, efisiensi air, sirkulasi udara, manajemen bangunan dan penggunaan material bangunan.
Adapun penggunaan bahan material ramah lingkungan dan sumber bahan baku maksimal berjarak 1.000 km dan rendah penggunaan air dalam pembuatannya sebagai upaya menekan emisi karbon. Untuk material bangunan juga harus tersertifikasi green label melalui Green Product Council Indonesia.
“Dalam penilaian bangunan hijau, juga dilihat siteplan lahannya apakah menggunakan lahan sawah produktif atau tidak. Jika iya, maka tidak akan lolos. Jadi semua kriteria harus dipenuhi untuk bisa dapat sertifikasi hijau, tidak hanya 1 kriteria saja,” tuturnya.
Menurut Ignesjz, untuk mendorong jumlah bangunan yang tersertifikasi hijau, pemerintah harus memberikan insentif. Pasalnya, tanpa insentif akan sulit memperbanyak bangunan hijau.
“Malaysia, Singapura, Filipina, pemerintah memberikan insentif untuk memperbanyak bangunan bersertifikat hijau. Hanya Indonesia saja yang tidak ada insentif bangunan hijau. Singapura ada insentif pemberian uang, KLB (koefisien luas bangunan), dan lainnya,” terangnya.
Dia menilai dengan adanya insentif, maka akan meningkatkan kesadaran akan bangunan bersertifikat hijau. Adapun insentif yang diharapkan dari pemerintah Indonesia bisa berupa uang, KLB, pajak, dan lain sebagainya.
“Misalnya kalau berupa uang bisa mengkompensasi kenaikan biaya konstruksi bangunan hijau. Lalu insentif pajak, pajak bumi dan bangunan (PBB) bisa diberikan diskon 30% selama 3 tahun untuk bangunan bersertifikat hijau ini lumayan. Kami terus mendorong agar insentif ini keluar,” tuturnya.
Untuk mendorong properti hijau di Tanah Air juga dibutuhkan regulasi yang mendukung terkait insentif, pendanaan, hingga kriteria.
“Kami juga akan sosialisasi masif kepada pengembang tentang properti hijau,” ujarnya.
Adapun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) dalam mendukung komitmen Net Zero Emission (NZE). Taksonomi hijau digunakan sebagai acuan untuk pemberian insentif dan disinsentif dari kementerian/lembaga dalam mendorong aktivitas hijau, pembiayaan dan investasi ke sektor hijau.
Kendati demikian, dia menilai kiprah perbankan dalam pendanaan hijau hingga kini masih rendah karena menunggu aturan teknis. Meskipun kalangan perbankan sudah mulai menyalurkan pendanaan hijau, namun insentif suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) hijau belum signifikan. Dia mencontohkan Bank BRI memberikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hijau dengan selisih suku bunga KPR 0,2% dari KPR non hijau Pihaknya mendorong bunga KPR hijau lebih rendah 1% dibandingkan dengan KPR konvensional. Hal ini sebagai upaya meningkatkan properti hijau di Tanah Air.
“Green building bukan sekadar tren melainkan sebuah kebutuhan untuk masa depan yang lebih baik. Kita perlu mengubah pola pikir masyarakat agar lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan. Ini untuk keberlangsungan lingkungan generasi mendatang,” kata Ignesjz.
Sementara itu, Head of Project Management Colliers Indonesia Rahmat Daresa Alam berpendapat seiring dengan kemajuan Indonesia menuju pembangunan perkotaan berkelanjutan, pengintegrasian prinsip-prinsip berkelanjutan dalam real estat menjadi semakin penting.
Hal ini tidak hanya mencakup struktur bangunan ramah lingkungan tetapi juga ruang interior yang hemat energi dan sadar kesehatan. Penerapan bangunan keberlanjutan perlu didorong oleh kebijakan peraturan, komitmen perusahaan, dan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan.
Menurutnya, integrasi praktik keberlanjutan bukan lagi sebuah pilihan melainkan sebuah kebutuhan yang didorong oleh peraturan pemerintah dan meningkatnya permintaan pasar akan real estate yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
“Kerangka peraturan seputar konstruksi berkelanjutan di Indonesia sangat kuat dan pengembang serta penghuni harus menavigasi kebijakan ini sejak tahap perencanaan paling awal untuk memastikan kepatuhan dan mengoptimalkan dampak proyek terhadap lingkungan,” ucapnya.
Menurutnya, untuk mengatasi tantangan urbanisasi yang pesat dan permasalahan lingkungan hidup, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan pedoman untuk mendorong praktik real estat berkelanjutan. Langkah tersebut untuk meminimalkan dampak lingkungan dari pembangunan perkotaan, dengan penekanan pada efisiensi energi, konservasi air, dan pengurangan limbah.
“Untuk mematuhi peraturan ini dan mencapai keberlanjutan dalam proyek mereka, pengembang harus memastikan kepatuhan sejak awal siklus hidup proyek, dimulai dengan pemilihan lokasi dan berlanjut hingga desain, konstruksi, dan pengoperasian,” katanya.
Selain persyaratan peraturan, terdapat peningkatan permintaan pasar terhadap solusi real estat berkelanjutan. Adapun merujuk laporan Deloitte dimana gen Z dan generasi milenial memiliki kesadaran lingkungan. berkomitmen mengurangi dampak lingkungan dan memprioriaskan keberlanjutan dalam hidup sehari-hari. Gen Z dan milenial bersedia membayar lebih mahal untuk produk properti yang mengusung keberlanjutan.
Dia mencontohkan, di Indonesia, milenial dan Gen Z secara aktif mencari properti yang mengutamakan praktik ramah lingkungan. Pasar bergerak menuju pengembangan yang menggabungkan sistem hemat energi, bahan terbarukan, dan ruang hijau.
Rahmat menilai adanya pergeseran pencarian hunian berkelanjutan ini karena kesadaran keuntungan finansial yang diperoleh dari real estat berkelanjutan.
“Properti dengan fitur ramah lingkungan cenderung terjual lebih cepat dan dengan harga lebih tinggi, hal ini menunjukkan semakin pentingnya keberlanjutan bagi pembeli. Fitur properti keberlanjutan adanya efisiensi energi, konservasi dan pengelolaan air, bahan konstruksi, pengelolaan air hujan, kualitas lingkungan dalam ruangan, keterlibatan dan pendidikan komunitas, serta ertifikasi keberlanjutan,” ucapnya.
Dia menuturkan fokus dari lanskap real estat berkelanjutan di Jabodetabek yakni tiga sistem sertifikasi bangunan ramah lingkungan yang utama. Sertifikasi tersebut menilai dan memverifikasi kinerja lingkungan dimana menunjukkan komitmen terhadap praktik ramah lingkungan di sektor bangunan.
Adapun secara keseluruhan, properti residensial dan ritel komersial yang bersertifikasi ramah lingkungan relatif jarang. Hal tersebut berbeda dengan gedung perkantoran menjadi kategori yang paling banyak mendapatkan sertifikasi terutama pada tingkat emas. Pasalnya, banyak penyewa dari perusahaan multinasional mencari gedung perkantoran bersertifikat hijau.
Dia menilai terbatasnya distribusi sertifikasi ramah lingkungan pada residensial menunjukkan peluang bagi pengembang dan penghuni bangunan untuk mengadopsi praktik desain berkelanjutan seiring dengan meningkatnya permintaan akan perusahaan ramah lingkungan.
“Memiliki sertifikasi ramah lingkungan bisa menjadi langkah strategis untuk menyelaraskan dengan tren keberlanjutan, meningkatkan value di pasar, dan memenuhi peraturan di masa depan. Rendahnya distribusi bangunan bersertifikasi ramah lingkungan di Jabodetabek menunjukkan adanya kesenjangan pasar yang perlu diperhitungkan,” terangnya.
Dia menilai sertifikasi hijau yang diperoleh tidak hanya untuk bangunan properti baru saja tetapi juga dapat diterapkan pada bangunan eksisiting yang diubah memenuhi standar ramah lingkungan.
Tren ini menghadirkan potensi bagi pengembang yang ingin mengakuisisi bangunan karena dapat meningkatkan nilai bangunan dengan menerapkan praktik berkelanjutan dan menarik lebih banyak penghuni seiring dengan meningkatnya permintaan akan ruang ramah lingkungan.
Selain itu, mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam pembangunan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang, dan meningkatkan daya jual suatu proyek, sehingga menjadikannya sebagai strategi investasi yang cerdas.
Dalam pasar semakin kompetitif, pengembang secara efektif mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam proyek properti tidak hanya akan memenuhi standar peraturan namun juga menarik semakin banyak segmen konsumen yang memprioritaskan kehidupan ramah lingkungan.
“Pergeseran ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembang untuk berinovasi dan menciptakan ruang yang mencerminkan nilai-nilai konsumen generasi baru sekaligus berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan perkotaan di Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya.
Dia menambahkan perlu dukungan pemerintah dalam meningkatkan properti keberlanjutan dengan desain ramah lingkungan yakni seperti pengurangan pajak.
“Apabila pengembang membangun gedung dengan konsep hijau maka dapat menerima insentif pajak. Ini akan menarik pengembang mengadopsi konstruksi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Rahmat.
Direktur ESG Knight Frank Asia Pasifik dan Singapura Jackie Cheung menuturkan pasar gedung perkantoran hijau yang berkembang di Jakarta mengindikasikan peningkatan kesadaran dan penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di sektor properti.
Data dari Knight Frank Indonesia, gedung perkantoran bersertifikat hijau baik dari Green Building Council Indnesia (GBCI), Greenmark, Leadership In Energy and Environmental Design (LEED) hingga WELL, baru hanya 14% dari total luas lantai bruto (GFA) gedung perkantoran di CBD Jakarta mencapai 1.076.404 meter persegi. Permintaan akan ruang kerja berkelanjutan dinilai cukup stabil terutama untuk ruang perkantoran premium.
“Tingkat hunian gedung bersertifikat hijau menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan gedung perkantoran konvensional sebanyak -3%. Namun, rerata pertumbuhan harga sewa untuk ruang kantor berkelanjutan ini secara signifikan lebih tinggi 25% hingga 30%,” katanya.
Perbedaan sewa ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti lokasi, usia bangunan, fitur smart technology, building specification, supporting facilities, amenities dan lainnya. Meskipun demikian, dia memproyeksikan tren gedung perkantoran hijau akan terus tumbuh seiring dengan matangnya pasar ESG.
“Sebagai contoh, pasar dari gedung perkantoran bersertifikat Breeam di Inggris mampu meningkatkan nilai properti bagi investor dan pemilik. Di London, gedung perkantoran dengan peringkat Breeam sangat baik, sangat baik sekali, dan luar biasa mengalami kenaikan sewa antara 3,7% sampai 12,3% dalam 10 tahun,” ucapnya.
Selain itu, juga terdapat peningkatan adopsi ESG di pasar perkantoran. Survei Knight Frank tahun 2023 menunjukkan investor Eropa dan Asia memprioritaskan efisiensi energi, penggunaan energi terbarukan, dan fasilitas pengisian kendaraan listrik (EV) saat mempertimbangkan akuisisi properti.
Adapun gedung perkantoran hijau di Jakarta umumnya dilengkapi dengan infrastruktur pengisian EV, integrasi energi terbarukan, dan sistem konservasi dan daur ulang air dan sampah, serta pemantauan konsumsi energi.
Dia menilai pertumbuhan pasar gedung perkantoran hijau di Jakarta membuktikan pelaku industri properti dan penyewa semakin sadar akan pentingnya ESG.
“Kami melihat minat yang meningkat pada bangunan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memberikan manfaat sosial dan didukung oleh tata kelola yang kuat. Prestise juga menjadi nilai tambah dari gedung perkantoran berbasis ESG. Kami prediksikan tren ini akan terus berlanjut seperti pasar Asia Pasifik, karena semakin banyak perusahaan memasukkan ESG ke dalam strategi bisnis,” tutur Jackie