Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penerbangan Ramah Lingkungan di Asia Terganjal Minimnya Mandatori Bioavtur

Kemampuan produksi bioavtur dari Asia diestimasi melampaui penyerapan, imbas dari minimnya mandatori pemakaian bahan bakar berkelanjutan di setiap negara
Pesawat yang dioperasikan oleh Scoot Airlines, maskapai Low Cost Carrier milik Singapore Airlines Ltd. (SIA), lepas landas di Bandara Sydney di Sydney, Australia, pada Selasa, 27 Agustus 2024./Bloomberg-Brent Lewin
Pesawat yang dioperasikan oleh Scoot Airlines, maskapai Low Cost Carrier milik Singapore Airlines Ltd. (SIA), lepas landas di Bandara Sydney di Sydney, Australia, pada Selasa, 27 Agustus 2024./Bloomberg-Brent Lewin

Bisnis.com, JAKARTA — Harga bioavtur (sustainable aviation fuel/SAF) berpotensi turun seiring dengan pertumbuhan pasokan dari produsen Asia yang melampaui permintaan di kawasan.

Seorang sumber dari industri yang diwawancarai Reuters menyebutkan permintaan yang lesu dan biaya produksi yang masih tinggi bisa berdampak pada rencana produksi bioavtur di Asia. Meski demikian, pasokan tinggi bioavtur dari produsen Asia bisa menjadi solusi bagi maskapai yang mengeluhkan harga mahal bahan bakar berkelanjutan tersebut.

Setidaknya lima proyek SAF di Asia, di luar China, telah beroperasi atau dijadwalkan mulai produksi tahun ini dengan target ekspor ke wilayah regional dan Eropa.

Berbeda dengan Eropa, di mana penerbangan yang berangkat dari bandara Uni Eropa dan Inggris kini wajib menggunakan 2% bioavtur di tangki mereka, mandat pemakaian di Asia masih rendah. Penggunaan bahan bakar terbarukan baru akan diwajibkan di beberapa negara mulai akhir dekade ini.

Konsumsi yang rendah dan kurangnya panduan kebijakan telah menyebabkan penundaan beberapa proyek bioavtur di China.

"Maskapai Asia masih lebih fokus pada peningkatan jumlah penerbangan, dan SAF bukan prioritas utama mengingat biayanya masih lebih mahal dibandingkan bahan bakar konvensional, sehingga mengurangi profitabilitas maskapai," kata Shukor Yusof, pendiri konsultan penerbangan Endau Analytics dikutip Reuters.

Industri penerbangan menyumbang 2,5% dari emisi karbon global pada 2023. Bioavtur yang dibuat dari minyak jelantah dan biomassa digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurangi emisi sektor aviasi.

Namun, biaya produksi SAF yang cenderung lebih mahal dibandingkan bahan bakar konvensional serta kontribusi pada total prouduksi bahan bakar di level 3% menjadi kendala penyerapan, menurut badan penerbangan global, International Air Transport Association (IATA).

Kapasitas produksi SAF di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan mencapai 3,5 juta metrik ton per tahun (setara 77.671 barel per hari) pada akhir 2025. Volume itu naik dari 1,24 juta ton pada 2024, menurut proyeksi dari Argus Consulting.

Namun, mandatori penggunaan bioavtur pertama di Asia baru akan dimulai pada 2026 ketika Singapura dan Thailand memberlakukan batas minimal pemakaian 1%. Persyaratan ini diperkirakan meningkatkan permintaan SAF di kedua negara tersebut hingga sekitar 14% dari kapasitas produksi mereka pada 2026, menurut perhitungan Reuters berdasarkan data perdagangan.

Sementara itu, Korea Selatan akan mulai menerapkan kewajiban penggunaan 1% SAF pada 2027, sementara Jepang menargetkan mandat 10% pada 2030.

Kapasitas produksi yang diantisipasi tidak selalu mencerminkan jumlah bioavtur yang benar-benar akan diproduksi, mengingat fokus industri pada profitabilitas dan permintaan aktual. IATA mencatat bahwa produksi SAF global pada 2024 hanya mencapai 1 juta ton, di bawah perkiraan 1,5 juta ton.

"Permintaan di Asia diperkirakan akan tertinggal dari pasokan karena tidak adanya kebijakan dan mandat yang seragam di seluruh kawasan," kata Lamberto Gaggiotti, kepala bisnis energi hijau di perusahaan biofuel Apical.

Di luar mandat pemerintah, beberapa maskapai Asia secara sukarela menggunakan bioavtur untuk meningkatkan kredibilitas lingkungan mereka di mata pelanggan dan sebagai bagian dari komitmen keberlanjutan industri.

Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik (AAPA), yang mencakup banyak maskapai nasional Asia sebagai anggotanya, memiliki target penggunaan SAF sebesar 5% pada 2030.

Banyak maskapai di Asia yang tidak mengungkapkan konsumsi bioavtur mereka. Cathay Pacific Airways dari Hong Kong melaporkan menggunakan lebih dari 6.800 ton bioavtur pada 2024, tetapi tidak memberikan proyeksi untuk 2025.

Sementara itu, Air New Zealand memperkirakan akan menggunakan 1,6% SAF pada tahun keuangan yang berakhir Juni 2025, naik dari 0,4% pada tahun sebelumnya. Meski demikian, maskapai tersebut tahun lalu memangkas target penggunaan bioavtur mereka pada 2030 dari 20% menjadi 10%, dengan alasan keterjangkauan dan ketersediaan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper