Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hutan Hulu Sungai Ciliwung, Bekasi dan Cisadane Rusak Berat Capai 2.300 Ha Picu Banjir

Deforestasi atau kerusakan hutan alam di ketiga DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane sudah mencapai 2.300 hektare sepanjang 2017 sampai 2023.
Foto udara luapan air sungai yang merendam perumahan Kemang IFI, Jatirasa, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Foto udara luapan air sungai yang merendam perumahan Kemang IFI, Jatirasa, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Bisnis.com, JAKARTA — Kerusakan hutan yang terjadi pada hulu sungai Ciliwung, Bekasi, dan Cisadane menjadi penyebab banjir Jabodetabek termasuk Puncak Bogor pada pekan lalu.

Pengkampanye Hutan Forest Watch Indonesia (FWI) Tsabit Khairul Auni mengatakan hutan memiliki fungsi menyimpan air di dalam tanah. Keberadaan hutan dapat menahan air hujan agar tidak langsung dibuang ke sungai.

Kerusakan hutan akibat alih fungsi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane mendorong meluapnya sungai sehingga menyebabkan banjir yang merendam sejumlah wilayah di Kawasan Puncak, kota-kota di Jakarta dan Bekasi.

“Masifnya kerusakan hutan di 3 hulu sungai yang mencapai 2300 hektare menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai konservasi air dan tanah,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (11/3/2025).

Menurutnya, dampak buruk dari hilangnya hutan alam yakni berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air, sehingga meningkatkan risiko run-off (aliran permukaan) dan mempercepat terjadinya banjir. Konversi lahan yang masif kemudian menjadi lahan terbangun juga semakin memperparah situasi.

“Lahan terbangun baik dalam bentuk villa, objek wisata beserta fasilitas pendukung seperti rest area, permukiman dan infrastruktur jalan menyebabkan air hujan sulit terinfiltrasi ke dalam tanah dan meningkatkan terjadinya banjir,” katanya. 

Berdasarkan data yang dimiliki FWI, deforestasi atau kerusakan hutan alam di ketiga DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane sudah mencapai 2.300 hektare sepanjang 2017 sampai 2023 atau setara dengan 850 kali luas lahan Gedung Sate di Bandung.

Selain itu, analisis FWI juga menemukan perubahan signifikan terhadap kondisi penutupan hutan dan lahan di Kawasan Puncak Bogor tahun 2017 hingga 2024.

“Rusaknya hutan alam terjadi akibat alih fungsi yang terus berlangsung,” ucap Tsabit.

Dari total kerusakan hutan alam 310 hektare di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua Bogor, sekitar 208,76 hektare telah beralih menjadi perkebunan, sekitar 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare beralih menjadi lahan terbuka.

Juru Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menuturkan kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) membutuhakn ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat.

Sayangnya, hutan tidak lagi dilihat sebagai fungsi, melainkan komoditas yang selalu dikalahkan untuk berbagai kepentingan. Sisa hutan di ketiga DAS yakni Ciliwung sebsar 14%, Kali Bekasi 4%, dan Cisadane 21%.

“Rata-rata persentase luas hutan alam tersisa terhadap luas das di bawah 30%,” tuturnya. 

Merujuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) memandatkan setidaknya 30% dari luas das merupakan kawasan hutan. Hutan harus dilihat sebagai fungsinya untuk menunjang sistem penyangga kehidupan bukan sekedar tegakan pohon saja untuk dieksploitasi.

Dalam beleid tersebut, fungsi hutan dibagi menjadi 3 yakni lindung, produksi, dan konservasi. Kementerian Kehutanan telah menunjuk hutan di 3 wilayah DAS Ciliwung, Kali Bekasi, Cisadane setidaknya sekitar 23.000 hektare dari ketiga das tersebut sebagai kawasan hutan produksi.

“Artinya kebijakan yang ada justru mendorong pengrusakan hutan bukan perlindungan hutan. Hutan produksi lebih mengedepankan hasil hutan kayu dibanding hasil hutan bukan kayu seperti jasa lingkungan. Kebijakan ini turut mendorong kerusakan hutan di tingkat tapak secara terencana,” terangnya. 

Menurut Anggi, perubahan kebijakan tata ruang juga turut memfasilitasi alih fungsi hutan dan lahan di ketiga hulu sungai di Kabupaten Bogor. Setidaknya, terjadi penyusutan kawasan lindung dalam rencana pola ruang Kabupaten Bogor dimana luasnya diperkirakan mencapai 71.595 hektare dari kawasan lindung ke kawasan budidaya.

Padahal, dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor yang saat ini berlaku memiliki kawasan lindung yang lebih sedikit dibandingkan dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang RTRW Kabupaten Bogor yang berlaku sebelumnya.

Di Kawasan Puncak Bogor, kawasan perkebunan teh dan kawasan hutan produksi merupakan kawasan lindung pada Perda RTRW sebelumnya, sehingga pembangunan sangat dibatasi.  Sebagai konsekuensi, perkebunan teh di Kawasan Puncak Bogor yang berada di atas Hak Guna Usaha (HGU) juga berfungsi sebagai daerah resapan air.

“Perubahan peruntukan ruang menjadi kawasan budidaya seperti pada Perda RTRW saat ini memungkinkan pembangunan lebih bebas dan terang-terangan. Konversi kebun teh terjadi secara besar-besaran di Kawasan Puncak Bogor untuk memenuhi ambisi pembangunan wisata dengan mengalihfungsikan daerah resapan air seperti yang terjadi pada objek wisata Hibisc Fantascy Puncak,” ujar Anggi. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper