Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Peran Lebih Besar Perbankan Biayai Upaya Penyehatan Bumi

Sektor perbankan memiliki kapasitas dan peluang besar dalam peningkatan kontribusi pembiayaan hijau Indonesia
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). (Bisnis Indonesia/Rachman)
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). (Bisnis Indonesia/Rachman)

Bisnis.com, JAKARTA — Waktu di Washington DC menunjukkan pukul 18.50 petang pada Senin, 20 Januari 2025. Hampir tujuh jam telah berlalu sejak Donald Trump resmi dikukuhkan sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS).

Di hari yang tampaknya masih panjang, Trump duduk tenang di atas panggung Capitol One Arena. Ketenangan yang ia perlihatkan tampak kontras dengan riuh sorak-sorai dari para pendukungnya yang memenuhi stadion.

Pemicu antusiasme tersebut langsung terjawab ketika Trump mulai menandatangani satu per satu dokumen yang disodorkan ke hadapannya. Dokumen-dokumen tersebut merupakan serangkaian perintah eksekutif—wujud nyata dari kekuasaan yang kini dipegang Trump sebagai orang nomor satu AS.

“Dokumen selanjutnya adalah penarikan keluar dari perjanjian iklim Paris,” kata sosok yang berdiri di samping Trump memberi pengumuman.

Trump kontan menggoreskan tanda tangannya di atas dokumen itu, memperlihatkannya ke publik, sembari berkata, “ Kita bisa berhemat hingga triliunan dengan keluar dari perjanjian tersebut.”

Presiden AS Donald Trump langsung menandatangani perintah eksekutif untuk keluar dari Perjanjian Paris pada hari pertamanya menjabat.
Presiden AS Donald Trump langsung menandatangani perintah eksekutif untuk keluar dari Perjanjian Paris pada hari pertamanya menjabat.

Hengkangnya AS dari kesepakatan iklim global sejatinya telah diantisipasi berbagai pihak. Donald Trump tercatat pernah melakukan aksi serupa saat pertama kali menjabat sebagai presiden AS untuk periode pertama pada 2017.

“Saya segera menarik diri dari kesepakatan iklim Paris yang tidak adil dan sepihak,” janji Trump sebelum dilantik untuk periode kedua. Dia memang terkenal dengan pandangan anti terhadap perubahan iklim.

Namun manuver Trump tak pelak memunculkan tanya yang lebih luas. Jika negara adidaya seperti Amerika memilih untuk menanggalkan komitmen iklim, bagaimana dengan yang lain? Bagaimana dengan Indonesia?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjadi salah satu yang mengutarakan pertanyaan serupa. Dia turut merujuk ongkos besar yang harus digelontorkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui transisi energi dari bahan bakar fosil.

“Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Nah, kalau otaknya, kalau pemikirnya, negara yang memikirkan ini aja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?” kata Bahlil pada pengujung Januari 2025.

Pertanyaan Bahlil menyiratkan pesimisme yang cukup bisa dipahami. Dalam konteks kesiapan dana adaptasi iklim maupun transisi energi, Indonesia memang masih tertinggal.

Ketidaksiapan ini setidaknya tecermin dari laporan Climate Policy Initiative (CPI) bertajuk Climate-Aligned Investments in Indonesia’s Financial Sector. Laporan tersebut mengungkap adanya kesenjangan investasi yang signifikan senilai US$146,4 miliar untuk mencapai target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2030. Dalam target itu, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi GRK sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri atau 43,20% dengan dukungan internasional.

Anggaran yang digelontorkan pemerintah masih menjadi penyumbang utama pembiayaan iklim nasional. Nilainya mencapai US$96,90 miliar selama kurun 2015-2021, terlepas dari kebutuhan dana yang menembus US$285 miliar.

Sementara itu, lembaga keuangan publik dan swasta Indonesia hanya berkontribusi sebesar US$41,7 miliar dalam pembiayaan iklim, atau sekitar 15% dari total kebutuhan selama 2015–2021.

“Porsi lembaga keuangan publik dan swasta hampir sama. Bank-bank pelat merah domestik sudah masuk untuk pembiayaan sektor iklim, tidak hanya bank pembangunan,” kata Manajer Climate Policy Initiative Luthfyana Larasati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (25/2/2025).

Bank Mandiri Ikut Ambil Bagian

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) menjadi salah satu yang ikut ambil bagian dalam program berkelanjutan di Tanah Air melalui pembiayaan hijau. Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Alexandra Askandar mengemukakan langkah ini sejalan dengan upaya nasional untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

“Kami percaya bahwa pembiayaan hijau memegang peranan penting, tidak hanya untuk mendukung agenda keberlanjutan nasional maupun global, tetapi juga untuk memastikan bisnis kami tetap relevan dan berkelanjutan di masa depan,” kata sosok yang akrab disapa Xandra itu dalam jawaban tertulis kepada Bisnis akhir Januari 2025.

Total portofolio pembiayaan berkelanjutan Bank Mandiri menembus Rp293 triliun sepanjang 2024. Nilai itu tumbuh 10,8% dibandingkan dengan realisasi 2023 sebesar Rp264 triliun dan melanjutkan tren pertumbuhan sejak 2021.

Dari total portofolio berkelanjutan Bank Mandiri, porsi pembiayaan hijau untuk pertama kalinya sejak 2021 berada di atas pembiayaan sosial. Nilainya mencapai Rp149 triliun atau tumbuh 15,50% dibandingkan dengan 2023 di angka Rp129 triliun. Sebagai perbandingan, total pembiayaan sosial Mandiri pada 2023 dan 2024 masing-masing mencapai Rp135 triliun dan Rp144 triliun.

“Tren positif ini mencerminkan peningkatan yang konsisten dari tahun ke tahun. Memasuki 2025, kami optimistis portofolio berkelanjutan akan terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan portofolio keseluruhan Bank Mandiri,” tambah Xandra.

Di tengah optimisme ini, Xandra tidak memungkiri bahwa pembiayaan hijau sering kali dianggap memiliki risiko tinggi, baik dari sisi biaya maupun waktu pengembalian investasi yang cenderung panjang. Meski demikian, dia memastikan bahwa Bank Mandiri tetap memandang bahwa pembiayaan hijau adalah salah satu peluang investasi yang strategis dan penting bagi masa depan.

“Kami melihat ini sebagai peluang investasi strategis jangka panjang yang mampu memberikan manfaat signifikan bagi keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial,” katanya.

Sinyal optimisme ini turut diperlihatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga yang mengawasi sektor keuangan itu memperkirakan pembiayaan hijau dari sektor perbankan akan melanjutkan tren pertumbuhan, sejalan dengan upaya Indonesia mencapai target NZE 2060.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (PBKN) OJK Dian Ediana Rae mengemukakan perbankan nasional sejauh ini telah memperlihatkan komitmen yang kuat dalam mendukung pembiayaan hijau dan penerapan prinsip environmental, social, and governance (ESG).

“Tren peningkatan kredit/pembiayaan hijau tersebut diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan dukungan perbankan terhadap target NZE Indonesia pada 2060 atau lebih cepat,” kata Dian dalam jawaban tertulis yang diterima Jumat (21/2/2025).

Terlepas dari prospek pertumbuhan yang terbuka, Dian tidak memungkiri pembiayaan hijau menghadapi tantangan besar secara global. Hal ini setidaknya terlihat dari mundurnya AS dari komitmen iklim Paris Agreement serta mundurnya bank-bank AS dari Net-Zero Banking Alliance (NZBA).

“Akan tetapi, Indonesia menerapkan sustainable finance berdasarkan kepentingan dan kebijakan domestik serta komitmen di forum-forum internasional,” kata Dian.

Data yang dihimpun OJK memperlihatkan bahwa total penyaluran kredit atau pembiayaan berkelanjutan perbankan telah mencapai Rp1.959 triliun sepanjang 2023. Nilai ini naik 39,03% dibandingkan dengan 2022 yang berada di angka Rp1.409 triliun.

OJK belum merilis nilai penyaluran pembiayaan hijau sepanjang 2024 karena proses pelaporan dari perbankan masih berjalan, sesuai dengan batas waktu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.

Pertumbuhan pembiayaan hijau dari sektor keuangan domestik bak kompas di tengah ketidakpastian arah komitmen iklim global. Terutama setelah Trump kembali ke tampuk kekuasaan. Pertanyaan selanjutnya: seberapa jauh laju pertumbuhan ini mampu menjembatani kesenjangan pembiayaan yang masih menganga?

Dari sinilah faktor konsistensi regulasi dan inovasi pendanaan bakal menentukan. Namun yang tak kalah penting adalah, seberapa besar keberanian sektor keuangan untuk ikut ambil bagian. Aspek terakhir ini patut dinantikan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper