Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kalkulasi Dampak CBAM untuk Produk Manufaktur Indonesia

Berdasarkan kajian CSIS penerapan CBAM diproyeksi menyebabkan penurunan total ekspor Indonesia sebesar 0,1%.
Bendera Uni Eropa (UE) berkibar di dekat gedung Majelis Nasional di Paris, Prancis, Selasa (9/7/2024). Bloomberg/Nathan Laine
Bendera Uni Eropa (UE) berkibar di dekat gedung Majelis Nasional di Paris, Prancis, Selasa (9/7/2024). Bloomberg/Nathan Laine

Bisnis.com, JAKARTA – Industri manufaktur nasional perlu bersiap menghadapi kebijakan proteksionisme Uni Eropa lewat Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Hambatan perdagangan semacam ini dikhawatirkan menginspirasi kawasan atau negara lain untuk menerapkan kebijakan serupa. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan meski menghambat ekspor produk industri Tanah Air, CBAM memang tidak berdampak langsung untuk perekonomian Indonesia.

“Wujud proteksionisme Uni Eropa berkedok karbon ini memang tidak berdampak langsung, karena ekspor kita ke sana memang kecil. Hanya saja, yang patut diperhatikan, bahwa kebijakan semacam ini menginspirasi negara lain untuk menjaga industri dalam negerinya,” ujarnya, saat dihubungi Rabu (19/2/2025).

Bhima mencontohkan sikap Malaysia yang bersiap mengadopsi CBAM untuk menjaga industri dalam negeri mereka. Merujuk data Malaysian Investment Development Authority (MIDA), setidaknya sekitar 75% ekspor Malaysia ke Uni Eropa akan terkena dampak CBAM, atau sekitar 8% dari total ekspor Malaysia dari 2021 hingga 2023.

Indonesia, lanjut Bhima, perlu menjadikan kebijakan proteksionisme semacam ini untuk melakukan dekarbonisasi industri, terutama di sektor yang memiliki emisi tinggi (baja, semen, petrokimia dan plastik).

“Kalau sekarang, belum adanya kesiapan dalam menghadapi peraturan yang lebih ketat di pasar internasional seperti CBAM di Uni Eropa, jadi kalau negara lain menerapkan kebijakan serupa kita bisa kalah saing,” katanya. 

Adapun penerapan CBAM yang semula dimulai pada 2026, masih bisa berubah seiring kebijakan Presiden AS Donald Trump yang diperkirakan melakukan aksi resiprokal. Pasalnya, sikap jelas Trump yang bakal memperlambat adopsi dan perluasan pasar karbon. 

“Kebijakan Trump yang resiprokal juga bakal membuat Uni Eropa berfikir menerapkan CBAM,” ujar Bhima. 

Kendati demikian, Celios menyarankan industri manufaktur nasional lekas melakukan aksi dan strategi dekarbonisasi. Bhima menambahkan, beberapa negara bertindak cepat menghadapi permintaan produk yang berasal dari proses produksi yang lebih hijau. 

Saat ini, China sudah melakukan produksi baja hijau dengan mengurangi blast furnace berbasis batu bara. Selain itu, mengembangkan fasilitas ironmaking and steelmaking menggunakan energi terbarukan.

Kajian dampak CBAM terhadap produk industri Indonesia juga oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Senada, CSIS menyebut penerapan CBAM tidak serta membuat ekspor produk industri nasional tertutup. 

Peneliti CSIS Adinova Fauri mengatakan secara makro CBAM tidak berdampak secara signifikan, baik untuk ekonomi nasional maupun upaya menurunkan emisi.

“Kenapa demikian, karena penerapan CBAM hanya di UE saja, bukan seluruh negara. Mungkin kalau seluruh negara lebih terasa dampaknya,” ujarnya.

Berdasarkan kajian CSIS dari sektor industri yang terdampak, sektor besi dan aluminium yang akan terguncang. Hanya saja, CSIS menyarankan agar pemerintah segera menyelesaikan sederet pekerjaan rumah yang lebih struktural untuk menghadapi hambatan tarif serupa.

Nantinya, peningkatan tarif pada produk-produk tertentu seperti besi dan baja, semen, dan pupuk menyebabkan penurunan total ekspor Indonesia sebesar 0,1%. Lebih jauh, dampaknya terhadap PDB Indonesia sebesar 0,0002%. 

Meskipun dampaknya terhadap PDB dan ekspor Indonesia tidak terlalu besar, penerapan CBAM mengakibatkan kerugian sekitar US$36 juta.

“Kita seharusnya punya perencanaan jangka panjang, kita punya raw material dan potensi EBT yang bisa dikembangkan,” katanya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper