Bisnis.com, JAKARTA- Produk ekspor asal Indonesia bersiap kehilangan pangsa Uni Eropa andaikata tidak mengakslerasi pemangkasan emisi karbon yang dibuktikan dengan sertifikat. Hal ini seiring pemberlakuan The Carbon Border Adjustment Mechanism alias CBAM.
Seperti dikutip dari carbontrust.com, pada Senin (17/2/2025), CBAM telah dirumuskan sejak 2023 lalu, serta telah diimplementasikan pada fase I.
Pada fase tersebut, Uni Eropa mengenakan CBAM kepada produk yang dianggap menghasilkan emisi besar, seperti semen, pupuk, beis dan baja, alumunium, hydrogen, dan pembangkit listrik.
Selanjutnya, Uni Eropa menargetkan pemberlakuan CBAM kepada seluruh sektor industri mulai Januari 2026. Seiring pemberlakuan tersebut, nantinya Uni Eropa akan mengenakan tarif atau bahkan melarang peredaran produk impor yang dianggap tidak memenuhi persyaratan CBAM.
Bagi Uni Eropa penerapan CBAM sendiri merupakan langkah menyeimbangkan aksi pemangkasan emisi karbon yang telah dilakukan dengan berbagai produk dari negara eksportir.
UE beranggapan dengan kebijakan tersebut, akan mampu menciptakan lapangan bermain yang setara bagi pasar, serta mendorong dekarbonisasi sektor industri, dan memberlakukan harga karbon bagi tiap produk impor.
“Penerapan CBAM menandai momen penting dalam sejarah penetapan harga karbon. Dengan memberi harga pada karbon, hal ini akan menjadi risiko yang langsung dan berdampak, sesuatu yang akan memicu perusahaan, industri, dan negara,” ungkap Senior Associate, Benelux and EU Policy Lead, the Carbon Trust Noor Crabbendam.
Lebih jauh, Noor mengungkapkan mmbisi kebijakan CBAM juga tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengatasi kebocoran karbon akibat skema perdagangan emisi UE, sekaligus memberikan insentif kepada mitra dan negara internasional untuk mengambil tindakan iklim.
“Hal ini memerlukan tindakan jangka pendek, sejalan dengan rencana jangka panjang untuk mencapai Net Zero,” simpulnya.
Di sisi lain, penerapan CBAM akan berdampak langsung bagi para negara mitra UE, termasuk Indonesia. Berbagai ekspor manufaktur asal Indonesia akan menanggung harga yang lebih tinggi andaikata tidak memiliki sertifikat karbon.
Secara umum, CBAM memang mengharuskan agar seluruh perusahaan UE membeli sertifikat karbon saat mengimpor produk, sekilas tidak membebankan kepada eksportir. Jumlah sertifikat akan dihitung sesuai dengan biaya emisi karbon dalam proses produksi barang, termasuk produk impor.
Persoalannya, dalam mekanisme CBAM, juga mengharuskan negara eksportir memiliki penerapan dan implementasi mitigasi perubahan iklim sejajar dengan UE. Dengan begitu, produk impor itupun terlepas dari penambahan biaya emisi karbon.
Hanya saja, hal itu akan memicu para mitra UE untuk memilah produk dan produsen yang memiliki seperangkat kebijakan dan implementasi mitigasi iklim yang diakui. Rintangan inilah yang akan dihadapi para produsen manufaktur sekaligus RI untuk menghadapi hambatan perdagangan berbasis kebijakan karbon tersebut.
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Pria Nugraha mengakui adanya tantangan besar CBAM bagi manufaktur Indonesia. Menurutnya, langkah UE tersebut bisa berdampak langsung bagi sektor manufaktur yang juga diandalkan mengungkit kinerja ekspor seperti besi dan baja, ataupun produk lainnya.
“Oleh karena itu, kami di Kemenperin juga tengah menggenjot kebijakan terkait standar emisi karbon maupun mendorong program implementasi mitigasi. Kami memiliki strategi yang bisa mengawinkan kepentingan industri hijau, dengan sektor pembiayaan, ada skemanya,” kata Apit beberapa waktu lalu.