Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia dan Malaysia Gandeng FAO Siapkan Standar Keberlanjutan Sawit

Indonesia dan Malaysia sebagai produsen terbesar minyak sawit menggandeng FAO untuk menyusun standar keberlanjutan level global komoditas tersebut
Pekerja membawa tandan buah segar sawit usai panen di perkebunan milik PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina
Pekerja membawa tandan buah segar sawit usai panen di perkebunan milik PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina

Bisnis.com, MEDAN — Pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerja sama dengan Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi PBB untuk pangan dan pertanian, akan menyusun standar keberlanjutan (sustainability) global untuk minyak sawit. Penyusunan ini adalah salah satu upaya Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen terbesar sawit untuk membuat standar keberlanjutan di luar Uni Eropa (UE).

“Kami telah berdiskusi dengan FAO untuk melakukan studi dalam rangka menyusun suatu standar sustainability untuk palm oil dan coconut oil,” kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno dalam sambutannya pada Konferensi Internasional Rumah Sawit Indonesia, Rabu (19/2/2025).

Havas mengatakan standar keberlanjutan global merupakan jawaban atas berbagai tuntutan dan tekanan yang menyasar industri sawit, terutama dari UE.

“Nanti kami bisa menyampaikan kepada UE bahwa Indonesia dan Malaysia sudah memiliki standar sustainability global di tingkat FAO. Jadi bukan hanya UE yang punya standar, tetapi juga ada standar global,” kata Havas.

Havas mengemukakan bahwa ia juga meminta Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) untuk turut merumuskan standar keberlanjutan global yang bisa dibawa ke tingkat FAO.

“Sehingga kita memiliki standar keberlanjutan global dengan tingkat keberterimaan yang lebih luas,” kata Havas.

Dalam paparannya, Havas turut mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi penghambat implementasi regulasi antideforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR). Sebagaimana diketahui, implementasi regulasi yang bakal melarang impor komoditas terindikasi memicu deforestasi ini ditunda dari awalnya akhir Desember 2024 menjadi akhir Desember 2025.

“Uni Eropa tidak pernah menjelaskan secara terbuka alasan penundaan tersebut. Namun dari diskusi saya dengan sejumlah pihak di Uni Eropa, ada lima alasan penundaan tersebut,” katanya.

Faktor penundaan pertama adalah sifat EUDR yang terlalu kompleks, rigid dan detail sehingga berisiko menimbulkan implikasi berat jika diterapkan. EUDR bahkan mendapat reaksi keberatan dari pelaku industri kayu Eropa.

Alasan kedua datang dari respons berbagai negara produsen komoditas-komoditas yang disasar seperti sawit, kedelai, kopi, kakao, dan karet. Havas mengatakan Indonesia bersama dengan Malaysia bahkan mengirimkan surat protes ke blok kerja sama Eropa tersebut sebagai bentuk keberatan.

Kendala implementasi lainnya datang dari akurasi satelit UE dalam memantau kawasan-kawasan hutan yang terindikasi mengalami alih fungsi. Dia mengemukakan tak sedikit pula wilayah bukan hutan terdeteksi sebagai kawasan hutan tropis.

“Bahkan suatu daerah di Sumatra diindikasikan oleh satelit UE sebagai hutan tropis, tetapi setelah diverifikasi ternyata bukan hutan. Ini memberatkan di enforcement,” tambahnya.

Faktor selanjutnya adalah subjek regulasi yang tidak membedakan ketentuan antara perkebunan skala besar dengan petani skala mikro atau smallholders. Padahal, lanjut Havas, tak sedikit perkebunan yang dijalankan oleh petani kecil dengan keterbatasan kemampuan untuk mengikuti aturan teknis EUDR.

Adapun kendala terakhir yang disebut Havas berdampak pada implementasi EUDR adalah ketidaksesuaian aturan-aturan teknis antideforestasi dengan regulasi Uni Eropa lainnya. Salah satunya adalah digital market acts (DMA) yang mengatur hak individu untuk tidak menyertakan data pribadi dalam platform digital.

“Jadi Uni Eropa tidak bisa memaksa negara lain atau para petaninya untuk menyerahkan data geolocation ke mereka,” kata Havas.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper