Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Battery Corporation (IBC) akan membangun pabrik daur ulang baterai kendaraan listrik pada 2031 mendatang. Hal ini sebagai upaya pengembangan ekosistem baterai di dalam negeri.
Direktur Utama IBC Toto Nugroho mengatakan baterai berbasis Nickel Manganese Cobalt (NMC) dapat didaur ulang hingga 99% sehingga memungkinkan pemanfaatan kembali nikel dalam produksi baterai baru.
Menurutnya, keberlanjutan industri baterai kendaraan listrik dapat terjaga melalui proses daur ulang ini. Sumber daya nikel yang terkandung di dalam baterai tersebut bisa kembali digunakan.
Dia menampik adanya kekhawatiran cadangan nikel Indonesia akan cepat habis karena digunakan dalam produksi baterai kendaraan listrik.
“Nikel digunakan baterai mobil EV ini bisa didaur ulang sehingga nikel bisa digunakan kembali. Ini menjawab solusi ketakutan bahwa nikel kita akan hilang akibat baterai EV (electric vehicle) Jadi satu hal yang sangat menarik rangkaian ini dari segi industri sendiri ada baterai recycling,” ujarnya dikutip dari Youtube Komisi XII DPR RI, Selasa (18/2/2025).
IBC juga menyusun peta jalan untuk pengembangan ekosistem baterai yang mencakup seluruh rantai produksi, mulai dari bahan baku hingga daur ulang.
Baca Juga
“Jadi kalau kami laporkan yang khusus untuk IBC dari kerjasama end to end dari hulu sampai hilir ini yang ada di kami adalah baterai materials, baterai sel dan baterai recycling,” katanya.
Namun demikian, Toto memperkirakan proses recycling baterai baru bisa dilakukan pada 2028 mendatang. Pasalnya, daur ulang tersebut baru bisa dilakukan setelah baterai EV terproduksi secara masif dan dengan masa pakai baterai kendaraan listrik yang diperkirakan mencapai 8 tahun sebelum memasuki tahap daur ulang. Adapun proses recycling baterai kendaraan listrik menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga lingkungan.
“Biasanya ada life cycle sekitar 8 tahun untuk bisa melakukan recycling,” ucap Toto.
Untuk mendukung proses recycling baterai kendaraan listrik diperlukan regulasi tersendiri untuk mengatur tata kelola daur ulang. Hal itu dikarenakan teknologi yang ada di sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia berbasis pada lead acid. Baterai timbal-asam punya dampak negatif bagi lingkungan, seperti bahan kimia yang bocor ke lingkungan bisa mencemari air tanah dan mengancam kehidupan akuatik, hingga tumpahan asam baterai yang tidak disengaja bisa merusak lantai dan permukaan.
“Lead acid itu sangat berbahaya untuk lingkungan dan kita harus membuat regulasi bagaimana mengatur supaya Indonesia secara bertahap keluar dari lead acid itu untuk menuju baterai yang benar-benar bisa memiliki advantage di Indonesia” tuturnya.
Toto menambahkan sekitar 40% hingga 45% bahan baku baterai untuk kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dunia berasal dari Indonesia. Kendati demikian, Indonesia tak mendapatkan nilai tambah tinggi karena bahan baku dimaksud diproses lebih lanjut di China. Indonesia hanya melakukan ekspor bahan mentah saja.
Setelah proses pengolahan di China, baterai kendaraan dikirim ke berbagai negara termasuk Eropa dan Amerika Serikat (AS). Meski Indonesia memiliki sumber bahan baku utama, namun proses hilirisasi baterai kendaraan listrik tidak sepenuhnya dilakukan di dalam negeri.