Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rapor Bursa Karbon 2024 dan Jurus Pemerintah Kerek Transaksi di 2025

Transaksi di Bursa Karbon memperlihatkan penurunan pada 2024, baik secara volume maupun nilai. Pemerintah tengah menyiapkan sejumlah cara untuk mengereknya
Dionisio Damara Tonce,Iim Fathimah Timorria
Senin, 6 Januari 2025 | 10:45
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan saat pembukaan perdagangan perdana Bursa Efek Indonesia 2025 di Mainhall Gedung BEI di Jakarta, Kamis (2/1/2025).Bisnis/Himawan L Nugraha
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan saat pembukaan perdagangan perdana Bursa Efek Indonesia 2025 di Mainhall Gedung BEI di Jakarta, Kamis (2/1/2025).Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi perdagangan di Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) masih menghadapi tantangan memasuki tahun ketiga sejak diluncurkan perdana pada September 2023.

Sepanjang 2024, total nilai karbon yang diperdagangkan mencapai Rp19,72 miliar. Nilai tersebut lebih rendah daripada 2023 yang menembus Rp30,90 miliar.

Volume karbon yang ditransaksikan pada periode 12 bulan 2024 bertengger di 412.186 ton CO2 ekuivalen, kembali turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 494.254 ton CO2 ekuivalen.

Jika diakumulasi, maka total karbon yang diperdagangkan sejak September 2023 sampai akhir 2024 berjumlah 906.440 ton CO2 ekuivalen dengan nilai total Rp50,62 miliar.

Setidaknya ada tiga proyek yang mengantongi sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca (SPE-GRK). Proyek-proyek ini mencakup Lahendong Unit 5 & Unit 6 milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO).

Kemudian ada pula pembangunan Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang dan Pembangkit Listrik Tenaga Air Minihidro (PLTM) Gunung Wugul.

Adapun per 3 Januari 2025, harga unit dibanderol di Rp57.000. Harga itu turun 25,97% dibandingkan dengan hari pertama perdagangan di level Rp77.000 per unit.

Performa bursa karbon pada 2024 memang memperlihatkan penurunan alih-alih pertumbuhan. Melihat perkembangan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah memiliki rencana strategis untuk mendorong pengembangan aktivitas bursa karbon Indonesia yang sejauh ini masih menghadapi tantangan.

Dia mengemukakan bahwa implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral merupakan langkah utama untuk memperkuat pasar karbon di Indonesia. Untuk itu, Menkeu bakal terus berkoordinasi dengan sejumlah kementerian, salah satunya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Hal ini akan terus kami perkuat melalui koordinasi dengan berbagai instansi, termasuk Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan," ujar Sri Mulyani dalam pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2025 di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otortitas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar turut meminta dukungan pemerintah terkait implementasi pajak karbon dan regulasi Batas Atas Emisi (BAE) sektoral guna mendorong pengembangan bursa karbon. 

Dia berpendapat bahwa penerapan pajak karbon dan regulasi BAE sektoral krusial untuk mendorong aktivitas bursa karbon saat ini.

“Terkait implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral untuk mendorong pengembangan bursa [karbon],” kata Mahendra.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy, juga menyatakan peningkatan aktivitas perdagangan pasar karbon sangat bergantung pada penerapan pajak karbon ke depan. 

"Pajak karbon yang lebih tinggi dari harga jual beli karbon di pasar akan menjadi katalis untuk meningkatkan aktivitas perdagangan karbon," katanya.

Investasi berlabel environment, social and governance (ESG) yang berkaitan erat dengan praktik perdagangan karbon memang tengah menghadapi tantangan secara global.

Editor Eksekutif Investasi ESG Bloomberg News Tim Quinson dalam catatannya mengatakan label ESG kini makin sarat dengan isu politik dan bisa saja hilang dari pusat perhatian. Namun dia meyakini bahwa prinsip-prinsip yang mendasari investasi ESG akan terus memengaruhi perusahaan dan pasar.

“Hal ini terutama di tengah tantangan dunia yang makin panas akibat perubahan iklim,” kata Quinson.

Di Amerika Serikat, salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar, politisi sayap kanan terus menyerang ESG demi meraih dukungan dari industri minyak besar. Sementara itu, perusahaan-perusahaan Eropa menunjukkan penurunan minat akibat regulasi yang bertujuan mengatasi praktik greenwashing.

Namun, sejak 2021, dana senilai lebih dari US$3 triliun telah diinvestasikan secara global untuk transisi energi. Quinson memperkirakan jumlah ini akan terus bertambah hingga triliunan dolar pada masa mendatang.

“Transisi ini akan tetap menghasilkan peluang investasi besar, apa pun labelnya,” kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper