Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negosiasi Iklim dan Lingkungan 2024: Minim Kemajuan, Banyak Gagal

Perubahan iklim makin terasa pada tahun ini, tetapi negosiasi iklim dan lingkungan global gagal mencapai kesepakatan untuk mencegah situasi yang lebih buruk
Gerbang menuju lokasi KTT Iklim, yakni Conference of the Parties atau COP 29 di Baku, Azerbaijan pada Minggu (10/11/2024). / Bloomberg-Andrey Rudakov
Gerbang menuju lokasi KTT Iklim, yakni Conference of the Parties atau COP 29 di Baku, Azerbaijan pada Minggu (10/11/2024). / Bloomberg-Andrey Rudakov

Bisnis.com, JAKARTA – Tahun ini dipastikan menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Suhu rata-rata bumi tercatat berada di atas target ambang batas 1,5 derajat celsius sebelum periode praindustri.

Di tengah perubahan iklim yang makin kentara, sejumlah negosiasi dan perundingan terkait iklim juga berlanjut pada 2024. Namun kemajuan berarti cenderung tak terlihat. Sebaliknya, kesepakatan yang dihasilkan justru mengecewakan.

Pembicaraan dan negosiasi untuk mengurangi limbah plastik, perlindungan keanekaragaman hayati hingga pencegahan fenomena penggurunan dilaksanakan pada 2024, tetapi gagal mencapai kesepakatan.

Begitu pula dengan Konferensi Iklim PBB COP29 di Azerbaijan yang menyisakan kekecewaan di antara negara berkembang karena tidak mencapai komitmen pendanaan iklim sesuai harapan.

Berikut adalah sejumlah isu iklim yang dinegosiasikan secara global pada 2024:

Perubahan Iklim

Pada COP29 di Baku, Azerbaijan, hampir 200 negara sepakat untuk melipatgandakan dana yang tersedia bagi negara berkembang guna menghadapi peningkatan suhu global. Negara maju berkomitmen menyediakan US$300 miliar setiap tahun hingga 2035 melalui pembiayaan publik, bilateral, dan multilateral. Total US$1,3 triliun per tahun ditargetkan melalui pembiayaan swasta.

Namun, negosiasi berlangsung panas dan hasilnya dianggap mengecewakan. "Sistem multilateral tetap hidup," ujar Juan Carlos Monterrey-Gomez, perwakilan iklim Panama, di Baku sebagaimana dikutip Bloomberg.

Tetapi, menurutnya, kegagalan memenuhi komitmen kunci membuat upaya membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C “sudah mati.” Salah satu komitmen kunci yang gagal dicapai adalah transisi energi dari bahan bakar fosil.

Polusi Plastik

Di Busan, Korea Selatan, pembicaraan mengenai perjanjian global tentang plastik tidak mencapai konsensus, meskipun mendapat dukungan publik dan bisnis yang luas. Sebagian besar negara mendukung pembatasan produksi dan konsumsi plastik, serta penghapusan produk sekali pakai seperti peralatan makan plastik.

Arab Saudi dan Rusia, sebagai produsen minyak utama, memblokir kemajuan negosiasi karena mereka bergantung pada plastik sebagai sumber pertumbuhan industri bahan bakar fosil.

Keanekaragaman Hayati

Pertemuan COP16 di Cali, Kolombia, berakhir tanpa kesepakatan besar untuk memajukan pakta perlindungan keanekaragaman hayati yang diadopsi dua tahun lalu. Meski demikian, pertemuan ini meluncurkan Dana Cali yang akan didanai oleh perusahaan yang menggunakan data genetik dari alam.

Namun, tujuan besar untuk memastikan implementasi 2022 tetap tidak tercapai. Mayoritas negara gagal mengajukan rencana nasional mereka, sementara janji dana baru dari negara kaya hanya sedikit.

Penggurunan

Pada COP16 di Riyadh, Arab Saudi, pembicaraan tentang mekanisme global untuk menangani kekeringan tidak membuahkan hasil. Padahal, para ilmuwan memperingatkan bahwa lebih dari 75% daratan bumi telah menjadi lebih kering secara permanen dalam tiga dekade terakhir akibat aktivitas manusia dan perubahan iklim.

Apa Selanjutnya?

Jean-Frederic Morin dari Laval University mengatakan bahwa perlambatan negosiasi internasional lebih disebabkan oleh banyaknya perjanjian yang sudah ada daripada meningkatnya tantangan negosiasi. Dia menilai fokus saat ini harus bergeser ke penguatan perjanjian yang ada daripada menciptakan yang baru.

Untuk mendorong ambisi yang lebih besar, Monterrey-Gomez mengusulkan pemungutan suara daripada konsensus dalam negosiasi internasional.

Sementara itu, Direktur School of Public Policy and Urban Affairs di Northeastern University Maria Ivanova menyarankan pendekatan “minilateralisme” di mana kelompok kecil negara atau koalisi lintas sektor bekerja sama dalam prioritas bersama untuk menciptakan momentum yang lebih besar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper