Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Food Estate Merauke Disebut Bisa Timbulkan Kerugian Karbon Rp47 Triliun

Pembukaan lahan dua juta hektare di Merauke, Papua Selatan berisiko menaikkan emisi karbon Indonesia sebesar 782 juta ton CO2
Presiden Prabowo Subianto meninjau proses tanam dan panen padi di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pada Minggu (3/11/2024). ANTARAFOTO
Presiden Prabowo Subianto meninjau proses tanam dan panen padi di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pada Minggu (3/11/2024). ANTARAFOTO

Bisnis.com, JAKARTA – Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate atau lumbung pangan seluas dua juta hektare (ha) di Merauke, Papua Selatan diperkirakan menghasilkan tambahan emisi karbon sebesar 782,45 juta ton CO₂ ekuivalen.

Studi terbaru dari Center of Economic and Law Studies (Celios) tersebut menunjukkan bahwa emisi tersebut setara dengan kerugian karbon senilai Rp47,73 triliun.

Celios menyebutkan proyek ini tidak hanya mendorong kenaikan ekstrem emisi karbon Indonesia, tetapi juga berpotensi meningkatkan kontribusi emisi karbon Indonesia secara global dari 2-3% menjadi 3,96-4,96% atau meningkat dua kali lipat.

Kebijakan yang memicu pelepasan karbon skala besar ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan dunia terhadap komitmen Indonesia dalam kerangka Perjanjian Paris, yakni mencapai batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.

“Dengan asumsi kontribusi emisi karbon Indonesia meningkat hingga 2 sampai 3% akibat food estate di Merauke, kita berpotensi kehilangan waktu 5 sampai 10 tahun untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2050,” kata irektur Kebijakan Publik Media Wahyudi Askar dalam siaran pers, Senin (9/12/2024).

Dia mengatakan potensi kenaikan emisi karbon dari proyek food estate menjadi alarm peringatan bahwa kebijakan pembangunan besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dapat menjadi bumerang.

“Ini tidak hanya berdampak negatif terhadap masyarakat asli Papua tetapi juga mempercepat krisis iklim global,” tambah Medua.

Forest Watch Indonesia (FWI) juga mengungkapkan bahwa pembangunan lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan mendorong terjadinya deforestasi besar-besaran. Data FWI memperlihatkan kerusakan hutan Papua dalam kurun 2022-2023 meningkat dua kali lipat menjadi 190.000 ha atau setara tiga kali luas Daerah Khusus Jakarta.

Juru Kampanye FWI Anggi Prayoga mengemukakan segala jenis proyek di tanah Papua seharusnya mendapatkan pengakuan dan persetujuan dari masyarakat adat Papua melalui persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa).

“Prinsip ini dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan hak-hak masyarakat adat Papua tetap terpenuhi. Setidaknya lebih dari 24 komunitas adat bergantung terhadap hutan di Papua Selatan,” kata Anggi. 

Sementara itu, Celios mengusulkan langkah konkret untuk menghindari gelombang deforestasi, termasuk pengembangan produk ekonomi restoratif yang memanfaatkan keanekaragaman hayati tanpa merusak hutan.

Studi Celios menyoroti bahwa ekonomi restoratif dapat menekan kontribusi emisi global Indonesia menjadi hanya 1 sampai 2%, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai penyangga penyerapan karbon global.

Di sisi lain, solusi berbasis restorasi lingkungan juga sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan dan target iklim Indonesia. Model ekonomi restoratif juga memperkuat ketahanan pangan dari sumber yang berkelanjutan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper