Bisnis.com, JAKARTA — Target transisi energi di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dinilai perlu diimbangi dengan aksi nyata untuk mencapai target kenaikan penurunan suhu global di bawah 1,5°C dan tak berakhir sebagai wacana.
Hal ini dikemukakan Institute for Essential Services Reform (IESR) menanggapi pernyataan Ketua Delegasi Indonesia untuk COP29 Hahsim Djojohadikusumo mengenai rencana pembangunan 100 gigawatt (GW) pembangkit listrik dengan 75% kapasitas berasal dari energi baru terbarukan (EBT).
IESR mengemukakan rencana dengan kebutuhan dana mencapai US$235 miliar tersebut belum sepenuhnya selaras dengan target Persetujuan Paris yang menuntut transisi energi terbarukan yang lebih agresif.
Dalam komitmen yang disetujui dalam COP28 di Uni Emirat Arab pada 2023, Indonesia telah menyepakati keputusan COP untuk mencapai target pembatasan laju kenaikan temperatur dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan upaya efisiensi energi (double down) pada 2030.
“Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang lebih serius dan aksi yang nyata untuk mencapai target Persetujuan Paris,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam siaran pers, Kamis (14/11/2024).
Untuk itu, lanjutnya, setiap rencana pembangunan energi terbarukan harus disertai dengan strategi mengurangi bertahap (phase-down) dan penghapusan bertahap (phase-out) PLTU batu bara paling lambat 2045. IESR menilai kombinasi langkah ini akan krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan dekarbonisasi sektor kelistrikan di 2050.
Baca Juga
IESR mencatat realisasi dan implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari ekspektasi dan target. Hal ini tecermin dari belum terpenuhinya target 23% bauran energi terbarukan pada 2025.
Fabby mendesak agar pemerintah tidak hanya menyampaikan target fantastis di forum international, tetapi juga memastikan implementasi serta upaya konkret dalam menyingkirkan berbagai hambatan dan tantangan. Dengan demikian, target yang ditetapkan dapat benar-benat tercapai dan bukan sekadar wacana.
Hashim Djojohadikusumo mengatakan Indonesia setidaknya membutuhkan investasi sebesar US$235 miliar atau sekitar Rp3.700 triliun untuk merealisasikan proyek-proyek transisi energi bersih dan penurunan emisi karbon.
Oleh karena itu, dia mengajak negara-negara maupun sektor privat untuk memobilisasi sumber daya global seperti teknologi, pendanaan dan finansial.
Ajakan Hashim kepada komunitas internasional untuk berinvestasi di proyek-proyek mitigasi dampak perubahan iklim dan keberlanjutan tidak kali ini saja disampaikan. Seuan serupa juga disampaikan dalam pembukaan paviliun Indonesia pada hari pertama COP29.
“Proyek-proyek ini memerlukan biaya besar yang tidak mungkin hanya berasal dari anggaran pemerintah. Oleh karena itu, di sini saya mengundang pihak yang berminat untuk berinvestasi,” kata dia.