Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Monica Ratna

Peneliti Ekonomi di Center of Economic and Law Studies (Celios)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Rasio Pembiayaan Inklusif Energi Terbarukan

Adopsi sumber energi ter­­­ba­­rukan ber­­­basis ko­­­mu­­nitas bisa menjadi salah satu strategi efektif untuk mendukung transisi ener­­­gi berkeadilan.
Stasiun pengisian daya mobil listrik umum di Paris, Prancis yang dipotret pada Rabu (14/2/2024). - Bloomberg/Benjamin Girette
Stasiun pengisian daya mobil listrik umum di Paris, Prancis yang dipotret pada Rabu (14/2/2024). - Bloomberg/Benjamin Girette

Bisnis.com, JAKARTA - Adopsi sumber energi ter­­­ba­­rukan ber­­­basis ko­­­mu­­nitas bisa menjadi salah satu strategi efektif untuk mendukung transisi ener­­­gi berkeadilan.

Bank Indo­­­nesia dapat mendukung inisiatif tersebut, salah sa­­­tunya melalui indikator pengawasan perbankan se­­­perti Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), sehingga dapat mem­­­berikan insentif khusus bagi bank yang menyalurkan pem­­­biayaan ke kegiatan pen­­­danaan energi terbarukan berbasis komunitas.

Indonesia menghadapi tan­­­tangan unik dalam pen­­­capaian transisi energi berkeadilan. Pertama, akses listrik masih belum merata. Meskipun per akhir 2023 rasio desa berlistrik sudah mencapai 99,83% dan rasio elektrifikasi nasional sebesar 99,78%, secara absolut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa masih ada sekitar 185.000 rumah tangga di 140 desa di Papua yang belum memperoleh akses listrik.

Selain itu, pakar energi menilai bahwa per akhir 2023, masih terdapat isu keandalan listrik, terutama di wilayah timur Indonesia. Dengan demikian, transisi energi berkeadilan juga membutuhkan akselerasi dan pemerataan adopsi sumber energi terbarukan hingga ke wilayah desa yang paling terpencil sekali pun.

Energi terbarukan berbasis komunitas berpotensi mendorong pencapaian sejumlah tujuan tersebut melalui pendekatan yang berbeda dengan adopsi level rumah tangga maupun skala besar. Berbeda dengan program instalasi sumber energi terbarukan yang bersifat top-down, konsep “berbasis komunitas” menekankan kepemilikan bersama serta inisiatif dari warga, oleh warga, dan untuk warga (bottom-up).

Bagi penduduk yang tinggal dalam satu kawasan, pembangunan satu sumber energi terbarukan berskala menengah yang dapat digunakan bersama-sama untuk mencukupi kebutuhan energi di kawasan tersebut, menawarkan pembagian risiko, biaya instalasi dan biaya perawatan sumber energi kepada para anggota komunitas secara bergotong-royong.

Hal ini berbeda juga dengan adopsi skala individu rumah tangga yang umumnya relatif berdampak kecil secara makro tetapi menimbulkan biaya transaksi yang cukup besar bagi pelakunya.

Di sisi lain, proyek energi terbarukan berskala besar umumnya terbentur isu penggunaan lahan yang signifikan dan pembangunan jalur transmisi jarak jauh untuk mencapai lokasi konsumen sehingga menimbulkan biaya tinggi.

Hal ini justru kontras dengan kebutuhan listrik rumah tangga yang belum terelektrifikasi, yang sebagian besar masih berskala kecil hingga menengah dan berada di area terpencil. Proyek energi berskala besar lebih cocok diterapkan untuk kawasan industri yang memerlukan listrik dalam jumlah besar.

Pemerintah sendiri mengakui bahwa untuk mencapai rasio elektrifikasi 100% hingga 2025, dibutuhkan setidaknya Rp22,08 triliun. Angka tersebut belum memperhitungkan biaya transisi ke energi terbarukan hingga tahun 2060 yang secara nasional diproyeksikan mencapai Rp16.264 triliun.

Sayangnya, saat ini mobilisasi sumber daya transisi energi masih terkonsentrasi pada inisiatif skala besar. Sejumlah program pembiayaan sindikasi senilai ratusan miliar hingga puluhan triliun rupiah telah diadakan untuk mendukung proyek PLN maupun sejumlah korporasi lainnya. Namun, hingga saat ini belum ada program pembiayaan yang signifikan untuk energi terbarukan berbasis komunitas.

Di sisi lain, beberapa negara seperti India, Jepang, dan Belanda telah menyelenggarakan program energi terbarukan berbasis komunitas dengan dukungan pendanaan publik, swasta, ataupun kombinasi keduanya—dengan skema insentif yang bervariasi.

Di Jepang, lebih dari 19 proyek pembangkit listrik tenaga angin berbasis komunitas telah dibiayai melalui model pendanaan campuran antara crowdfunding dan pinjaman konvensional perbankan. Di Indonesia, telah ada inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas yang dipelopori oleh tokoh setempat.

Salah satunya dilakukan oleh Nur Chanif, seorang guru SMK di Blora, dengan pendanaan yang berasal dari pemerintah desa dan provinsi. Namun sayang, sejauh ini penulis belum menemukan keterlibatan lembaga keuangan dalam kegiatan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas baik di Blora, maupun di daerah lain.

Dengan demikian, Bank Indonesia harus segera mengambil peran besar agar Indonesia mampu mengejar ketertinggalan pembiayaan energi terbarukan berbasis komunitas. RPIM sebagai rasio pengawasan perbankan sangat berpotensi menjadi instrumen untuk mendorong pendanaan bagi pemerataan dan adopsi akses energi terbarukan berbasis komunitas.

Salah satu instrumen utama RPIM adalah pemberian insentif giro wajib minimum (GWM) bagi bank yang mampu menyalurkan pembiayaan inklusif dalam persentase tertentu terhadap nilai total kredit. GWM merupakan salah satu komponen pembentuk suku bunga kredit, dengan demikian bank yang mendapatkan insentif melalui RPIM dapat memberikan kredit dengan harga yang lebih kompetitif sehingga sama-sama menguntungkan baik bagi bank maupun nasabah.

Oleh sebab itu, pembiayaan energi terbarukan berbasis komunitas seharusnya dapat dikategorikan sebagai pembiayaan inklusif. Namun, belum terdapat kategori maupun subkategori khusus dalam RPIM yang membahas energi terbarukan berbasis komunitas.

Lebih lanjut, Bank Indonesia dapat memberikan insentif khusus yang terpisah dari kategori dan subkategori RPIM lainnya, misalnya, menambah insentif bagi bank yang berhasil mencapai RPIM di atas persentase tertentu yang berasal dari energi terbarukan berbasis komunitas. Alternatif lainnya adalah dengan penambahan batas minimum persentase penyaluran ke kegiatan tersebut sebagai syarat pemberian insentif.

Akses energi terbarukan yang merata merupakan salah satu syarat tercapainya transisi energi berkeadilan. Energi terbarukan berbasis komunitas dapat menjadi salah satu alternatif strategi implementasi kebijakan transisi energi yang hingga saat ini masih terkonsentrasi pada proyek adopsi sumber energi terbarukan skala besar ataupun belum mampu mencapai critical mass adopsi di level rumah tangga.

Dengan insentif yang tepat, regulasi perbankan melalui rasio pengawasan seperti RPIM tidak hanya dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan akses energi, tetapi juga transisi menuju sumber energi non-fosil.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Monica Ratna
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper