Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Paradoks Investasi Energi: Hijau Meroket, Emisi Masih Mengalir

Merujuk laporan terbaru IEA, menunjukkan perubahan besar di lanskap energi global dengan investasi diperkirakan mencapai rekor US$3,3 triliun pada 2025.
Fasilitas penyimpanan energi melalui baterai lithium-ion di pembangkit tenaga surya Roadrunner, dekat McCamey, Texas./ Bloomberg - Jordan Vonderhaar
Fasilitas penyimpanan energi melalui baterai lithium-ion di pembangkit tenaga surya Roadrunner, dekat McCamey, Texas./ Bloomberg - Jordan Vonderhaar

Bisnis.com, JAKARTA – Gelombang investasi sektor energi yang mencapai rekor tertinggi, didorong oleh peningkatan masif pada teknologi energi bersih. Namun, di balik optimisme ini, aliran modal dari industri manajemen aset global masih signifikan mengalir ke aktivitas investasi yang mendorong emisi tinggi.

Merujuk laporan terbaru International Energy Agency (IEA), menunjukkan perubahan besar di lanskap energi global dengan investasi diperkirakan mencapai rekor US$3,3 triliun pada 2025.

Yang paling mencolok, teknologi energi bersih kini menarik modal dua kali lipat lebih banyak dibandingkan bahan bakar fosil.

Menurut IEA, investasi dalam teknologi bersih—meliputi energi terbarukan, nuklir, jaringan listrik, penyimpanan, bahan bakar rendah emisi, efisiensi, dan elektrifikasi—diproyeksikan mencapai rekor US$2,2 triliun tahun ini. 

Angka ini jauh melampaui investasi untuk minyak, gas alam, dan batu bara yang diperkirakan hanya US$1,1 triliun.

Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menyoroti peran urgensi keamanan energi sebagai pendorong utama. 

"Di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang mengaburkan prospek dunia energi, kami melihat keamanan energi muncul sebagai pendorong utama pertumbuhan investasi global tahun ini ke rekor $3,3 triliun karena negara dan perusahaan berusaha untuk melindungi diri dari berbagai risiko," jelas Birol, dikutip dari laman resmi IEA, Kamis (12/6/2025).

China, lanjut Birol, memegang peranan sentral dalam perubahan ini. China menjelma sebagai investor energi terbesar secara global, yang menghabiskan dana dua kali lebih besar untuk energi daripada Uni Eropa. Bahkan, hampir sama banyaknya dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat jika digabungkan.

Peningkatan investasi ini terlihat jelas pada sektor tenaga surya. Pengeluaran global untuk pembangkit listrik rendah emisi telah hampir berlipat ganda dalam lima tahun terakhir, terutama didorong oleh tenaga surya fotovoltaik (PV). 

Investasi dalam tenaga surya, baik skala utilitas maupun atap, diperkirakan mencapai $450 miliar pada tahun 2025, menjadikannya item terbesar dalam inventaris investasi energi global. Investasi penyimpanan baterai juga melonjak di atas $65 miliar tahun ini.

Hal ini juga diperkuat oleh laporan lembaga konsultan energi global Wood Mackenzie. Pasar pelacak PV global mencatat tahun terkuatnya pada 2024, dengan pengiriman meningkat 20% ke rekor 111 gigawatt direct current (GWdc).

Menurut Joe Shangraw, Research associate Woodmac, pertumbuhan pesat pasar pelacak di India dan Arab Saudi, yang kini menjadi pasar terbesar kedua dan ketiga secara global dengan gabungan permintaan 28 GWdc, melampaui seluruh Eropa. 

Nextracker memimpin pasar global untuk sepuluh tahun berturut-turut, sementara Arctech Solar dari China menduduki posisi kedua dan memperluas pangsa pasarnya di India dan Arab Saudi. 

Meski demikian, IEA juga mencatat tantangan. Investasi dalam jaringan listrik yang krusial untuk keamanan pasokan, masih gagal mengimbangi laju pembangkitan dan elektrifikasi. Selain itu, pertumbuhan permintaan listrik yang cepat masih mendukung investasi pada pasokan batu bara di beberapa negara, seperti China dan India.

Kontras dengan laporan IEA, studi terbaru dari BloombergNEF (BNEF) memperlihatkan hasil yang mengkhawatirkan dari sudut pandang industri keuangan. 

Analisis BNEF terhadap hampir 70.000 dana investasi global menemukan bahwa manajer investasi, secara rata-rata, masih mengalokasikan uang ke perusahaan energi yang belanja modalnya mengutamakan aktivitas tinggi karbon.

"Hasilnya menunjukkan bahwa produk investasi dan investor masih jauh dari selaras dengan tujuan iklim," ujar Ryan Loughead, analis utama BNEF. 

Hal ini mengindikasikan adanya disonansi signifikan antara komitmen global untuk dekarbonisasi dan praktik investasi aktual dari pemain kunci di sektor keuangan.

Dengan menggunakan matrik yang digunakan BNEF, Energy Supply Fund-Enabled Capex Ratio (ESFR), menyebutkan untuk setiap $10 juta belanja modal yang dialokasikan untuk produksi bahan bakar fosil, hanya $4,8 juta yang mendukung pasokan energi rendah karbon. 

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan investasi energi bersih secara umum, seperti yang disampaikan IEA, dana investasi besar masih membiayai perusahaan energi yang sangat condong ke arah bahan bakar fosil.

"Jika kita menginginkan sistem energi bebas emisi karbon, kita perlu berinvestasi dalam skala yang jauh lebih besar dalam ekonomi rendah karbon. Investor memiliki peran signifikan dalam cerita itu sebagai fasilitator modal," katanya.

Adapun, ESFR adalah rasio yang mengukur seberapa besar dana investasi dialokasikan untuk belanja modal pada energi rendah karbon dibandingkan dengan energi fosil. 

Nilai ESFR yang lebih tinggi menunjukkan proporsi investasi yang lebih besar pada energi hijau atau rendah emisi, sedangkan nilai yang lebih rendah mencerminkan dominasi investasi pada energi berbasis bahan bakar fosil. 

Perbandingan skor ESFR menunjukkan perbedaan antar wilayah. Manajer aset terbesar di AS seperti BlackRock Inc. dan Vanguard Group Inc. memiliki skor ESFR masing-masing 0,47 dan 0,48. 

Sementara itu, manajer aset di Eropa menunjukkan rasio yang lebih baik, yaitu 0,85. Indeks-indeks pasar saham utama global pun masih didominasi oleh perusahaan minyak dan gas raksasa, memperkuat eksposur pasif terhadap aset karbon tinggi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper