Bisnis.com, JAKARTA – Kehadiran pembangkit listrik tenaga nuklir dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL 2025-2034 patut diapresiasi. Namun, penyedia teknologi reaktor nuklir yang menghasilkan setrum perlu memenuhi seluruh tahapan perizinan mulai dari uji tapak hingga decommissioning.
Kepala Organisasi Riset Teknologi Nuklir (ORTN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syaiful Bakhri menjelaskan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) baik yang terapung maupun darat membutuhkan izin tapak.
Dia mengatakan bahwa sejauh ini memang perizinan terkait PLTN yang sudah dirintis oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) banyak mengadopsi yang PLTN yang berada di darat alias land-based nuclear power plant, yang dibangun di permukaan, yang dibangun di tanah. Sementara, untuk PLTN yang floating atau berupa barge yang ditambatkan masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi.
“Saya pikir ini malah pekerjaan rumah buat Bapeten ke depannya, bagaimana melengkapi regulasi ini. Entah mau floating, entah mau land-based, entah mau Gen-3, entah mau Gen-4, entah yang seperti apa bentuknya, itu harusnya bisa difasilitasi dengan regulasi yang ada di Bapeten,” jelasnya kepada Bisnis, pekan lalu.
Namun demikian, dia menegaskan bahwa PLTN baik itu land-based maupun itu floating, tentunya harus memenuhi prinsip safety, security, safeguard (3S) dan harus memenuhi prinsip-prinsip perizinan yang ada.
“Mulai dari izin tapak, itu harus pertama ada. Land-based atau floating-based tetap harus ada izin tapaknya, enggak bisa di-bypass begitu saja. Kemudian ada izin konstruksi, izin commissioning, izin operasi, sampai dengan izin decommissioning,” katanya.
Baca Juga
Bisnis mencatat bahwa salah satu perusahaan penyedia teknologi reaktor nuklir, PT Thorcon Power Indonesia (TPI) telah menyerahkan dokumen kepada regulator nuklir Indonesia untuk memulai proses perizinan pembangunan PLTN berbasis reaktor garam cair (molten salt reactor/MSR) yang canggih.
Pulau Kelasa yang terletak di Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sedang dikaji untuk menjadi lokasi pembangkit berbasis atom tersebut.
TPI yang merupakan anak perusahaan Thorcon Internasional, menyerahkan Persetujuan Evaluasi Tapak yang terdiri dari dokumen Program Evaluasi Tapak (PET) dan Sistem Manajemen Evaluasi Tapak (SMET) pada Rabu (12/2/2025).
Chief Nuclear Officer TPI Kun Chen mengatakan bahwa dengan pengajuan ini, TPI telah menjadi pemohon pertama untuk lisensi PLTN di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa pengajuan ini menandai momen bersejarah bagi Indonesia.
“Kami bangga menjadi pelopor dalam menghadirkan solusi energi nuklir yang inovatif bagi negara ini. Kami sepenuhnya siap untuk bekerja sama dengan Bapeten dan menjalani proses evaluasi yang ketat,” katanya dalam keterangan resminya.
Dia menambahkan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menghadirkan PLTN operasional pertama di Indonesia pada 2032 atau lebih awal, yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan keberlanjutan negara ini.
Adapun, Bapeten juga telah menyelesaikan evaluasi teknis atas dokumen persyaratan Persetujuan Evaluasi Tapak yang terdiri dari dokumen PET dan SMET yang diajukan oleh TPI. Bapeten juga telah menyampaian Laporan Hasil Evaluasi (LHE) kepada TPI pada Jumat (21/3/2025).
Untuk itu, Bapeten menyelenggarakan Pembahasan Hasil Evaluasi atas permohonan Persetujuan Evaluasi Tapak dari TPI di Jakarta pada Kamis (17/4/2025).
Melalui kegiatan ini, Bapeten mengungkapkan bahwa hasil evaluasi yang tertuang dalam LHE No. 0010/PI/03/2025 menyatakan bahwa dokumen persyaratan yang diajukan TPI berstatus tidak memenuhi persyaratan. Untuk itu, TPI wajib melakukan perbaikan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan teknis sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Bapeten dan Komisi XII DPR pada akhir April 2025, Plt. Kepala Bapeten Sugeng Sumbarjo mengungkapkan bahwa pengawasan Bapeten terhadap PLTN dilakukan melalui tiga pilar utama, yaitu peraturan, perizinan, dan inspeksi.
“Pengembangan PLTN memerlukan proses yang ketat mulai dari persetujuan tapak, izin konstruksi, commissioning, operasi, hingga decommissioning,” katanya.
Selain itu, imbuhnya, pemerintah juga terus memperkuat infrastruktur pengawasan, termasuk kerangka hukum, penguatan SDM inspektur, dan pembentukan Technical Support Organization (TSO).
BAHAN BAKAR
PLTN yang diusulkan oleh TPI didasarkan pada teknologi yang dikembangkan oleh Laboratorium Nasional Oak Ridge dari Departemen Energi AS pada tahun 1960-an.
PLTN ini akan menampilkan Thorcon 500, sebuah pembangkit listrik reaktor garam cair (MSR) berkapasitas 500 megawatt energi (MWe), yang terdiri dari dua reaktor 250 MWe berbahan bakar uranium dengan pengayaan rendah dalam dua ‘tabung’ yang dapat diganti dan disegel.
Kendati memang, sebagian besar minat saat ini dalam menghidupkan kembali konsep MSR yang berkaitan dengan penggunaan torium. Apalagi, sumber daya torium di Indonesia yang diperkirakan melimpah menyusul besarnya cadangan bauksit nasional.
Potensi cadangan torium Indonesia yang berkisar 125.000 ton, sedangkan uranium—yang merupakan bahan bakar PLTN pada umumnya—hanya 70.000 ton. Angka ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan)—sekarang ORTN BRIN—
Kepala ORTN BRIN Syaiful Bakhri memandang bahwa uranium tetap menjadi pilihan utama, khususnya untuk mempercepat proses guna mengejar target pengoperasian PLTN pada 2032-3034. Hal ini lantaran rata-rata reaktor yang beroperasi saar ini bahan bakarnya adalah uranium.
“Rata-rata yang available sekarang reaktornya, itu bahan bakarnya uranium. Mereka enggak menyediakan bahan bakar untuk torium. Mau masuk torium itu butuh waktu lama. Harus ada industri yang memang benar-benar membuat bahan bakar torium,” jelasnya.
Kendati demikian, dia juga menilai bahwa reaktor berbasis torium masih berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia meski membutuhkan waktu yang lama. Suatu saat, imbuhnya, bukan tidak mungkin apabila reaktor berbasis torium benar-benar sudah komersial, maka bisa saja Indonesia memilih untuk reaktor torium.
“Kami juga meriset yang reaktor yang berbasis uranium dan torium sebenarnya. High temperature gas cooled reactor [HTGR] itu, bahan bakarnya bisa uranium, bisa torium juga,” ujarnya.