Bisnis.com, JAKARTA — Harga pangan global diperkirakan akan terus meningkat akibat perubahan iklim dan ketidakstabilan geopolitik tetapi masih banyak makanan yang terbuang sia-sia. Mengurangi pemborosan makanan telah menjadi prioritas global bagi pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil – tidak hanya untuk meringankan beban keuangan rumah tangga, tetapi juga untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Communications Lead Japan World Economic Forum Naoko Tochibayashi mengatakan sekitar 1,05 miliar ton makanan terbuang sia-sia di 102 negara pada 2022. Adapun dalam Laporan Indeks Pemborosan Makanan 2024 dari Program Lingkungan PBB, sekitar 60% dari pemborosan ini berasal dari rumah tangga. PBB juga memperkirakan kehilangan dan pemborosan makanan menyumbang 8%-10% dari emisi gas rumah kaca tahunan.
"Banyak negara berupaya mengatasi tantangan sampah makanan. Pada 2020, pemerintah Jepang menetapkan target awal untuk mengurangi separuh sampah makanannya di 2030, dengan menggunakan 9,8 juta ton yang tercatat pada tahun fiskal 2000 sebagai acuan," ujarnya dalam laporan WEF, Senin (26/5/2025).
Pada 2022, total sampah makanan telah turun menjadi sekitar 4,72 juta ton dengan sampah rumah tangga dan bisnis masing-masing menyumbang sekitar 2,36 juta ton. Meskipun tujuan keseluruhan telah tercapai berkat sektor komersial yang memenuhi targetnya delapan tahun lebih cepat dari jadwal, sampah makanan rumah tangga masih berada di atas target individualnya pada 2020 sebesar 2,16 juta ton.
Badan Urusan Konsumen Jepang memperkirakan di tahun 2022, sampah makanan rumah tangga saja mengakibatkan kerugian ekonomi sekitar 40 triliun yen Jepang atau setara US$277 miliar dan 10,46 juta ton emisi karbon dioksida. Hal ini karena rumah tangga menyumbang setengah dari sampah makanan Jepang, mengurangi porsi mereka menjadi prioritas yang mendesak.
Di Jepang, badan pemerintah, sektor swasta dan peneliti akademis semuanya bekerja untuk mengatasi masalah pemborosan makanan dan membuat rencana aksi untuk menguranginya.
Baca Juga
Pada bulan Maret 2025, pemerintah Jepang menyetujui kebijakan dasar untuk mendorong pengurangan kehilangan pangan yang menetapkan target yang direvisi untuk tahun 2030. Untuk rumah tangga, tujuannya masih pengurangan 50% dari level tahun 2000. Untuk bisnis karena telah mencapai target awal, maka pemerintah sekarang menargetkan pengurangan 60%.
Kebijakan tersebut menyerukan kepada para pemangku kepentingan di seluruh rantai pasokan pangan dari produsen dan perikanan hingga pengecer untuk mengadopsi perilaku dan pola pikir baru untuk meminimalkan pemborosan makanan. Kebijakan ini mendorong kampanye kesadaran publik dan upaya pendidikan di sekolah, komunitas, dan ruang ritel untuk mendorong keterlibatan konsumen.
"Pemerintah daerah juga mengambil langkah proaktif. Strategi Toyoma Food Loss Zero menyediakan platform digital tempat warga prefektur dapat berbagi dan mempelajari ide-ide praktis, resep, dan informasi untuk membantu rumah tangga mengurangi pemborosan makanan. Untuk melibatkan generasi muda, situs web tersebut juga membagikan video edukasi yang menampilkan maskot yang mengajarkan anak-anak cara-cara sederhana dan mudah diakses untuk mencegah pemborosan makanan," tuturnya.
Dia menuturkan sektor swasta juga ikut terlibat. Pada bulan November 2024, Aeon Next, sebuah supermarket daring, bermitra dengan anak perusahaan Panasonic yang bergerak di bidang peralatan konsumen, Kurashi Appliances meluncurkan proyek percontohan guna mengurangi barang-barang yang terlupakan dan makanan yang kedaluwarsa sekaligus mengevaluasi potensi peralatan pintar untuk mengurangi pemborosan makanan rumah tangga.
"Kulkas pintar dilengkapi dengan kamera bertenaga AI dan aplikasi seluler khusus untuk menilai kesegaran bahan-bahan yang disimpan dan menandai barang-barang yang mendekati tanggal kedaluwarsa. Sebuah aplikasi kemudian memberikan ide makanan untuk mendorong penggunaan barang-barang ini. Sistem ini terhubung dengan platform grosir daring Aeon Next, Green Beans, untuk membuat daftar belanja dan pemesanan daring secara otomatis," terangnya.
Sebuah studi terkini yang menganalisis sampah makanan rumah tangga berdasarkan generasi dapat membantu para peneliti, pemerintah, dan organisasi swasta untuk mengembangkan tindakan yang lebih sesuai dan berdampak untuk mengurangi sampah makanan di Jepang.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada bulan November 2024, sebuah tim peneliti di Universitas Ritsumeikan mengidentifikasi perbedaan antargenerasi terkait dengan sampah makanan rumah tangga. Tingkat sampah tertinggi diamati di antara mereka yang berusia 70 tahun ke atas, dengan rata-rata 46 kg per orang. Jumlah ini hampir tiga kali lebih besar daripada kelompok termuda, berusia 29 tahun ke bawah, yang rata-rata 16,6 kg per orang.
Perbedaan tersebut sebagian disebabkan oleh generasi muda yang lebih sering makan di luar, sementara orang dewasa yang lebih tua cenderung membeli lebih banyak makanan yang mudah rusak.
"Penyebab sampah makanan juga berbeda antargenerasi. Studi tersebut menemukan bahwa orang dewasa yang lebih tua sering membuang-buang makanan dengan memotong terlalu banyak bagian yang dapat dimakan saat memasak, sementara orang yang lebih muda cenderung meninggalkan sisa makanan yang tidak dimakan dari makanan yang dimasak," ucapnya.
Dia menilai temuan ini memberikan dasar untuk mengembangkan intervensi yang lebih tepat dan khusus untuk setiap generasi guna memajukan pengurangan sampah makanan rumah tangga di Jepang.
Membuang-buang makanan tidak hanya meningkatkan pengeluaran rumah tangga tetapi juga berkontribusi terhadap meningkatnya emisi karbon dioksida.
"Itulah sebabnya Forum Ekonomi Dunia secara aktif terlibat dalam upaya meningkatkan kesadaran akan pengurangan kehilangan makanan, termasuk kampanye di Bahrain, di mana 216.161 ton makanan rumah tangga terbuang setiap tahunnya dan hampir tiga kali lipatnya selama bulan puasa Ramadan. Forum tersebut juga telah menunjuk pendiri Zero Waste Japan Akira Sakano sebagai Pemimpin Global Muda 2025," ujarnya.
Inovasi teknologi dan kampanye kesadaran publik mendorong upaya untuk mengurangi pemborosan makanan. Penelitian terkini juga menawarkan wawasan yang dapat memandu pendekatan berbasis perilaku yang lebih efektif. Studi lebih lanjut dapat lebih memperkuat inisiatif dengan menggabungkan tindakan ini dengan upaya kolaboratif lain oleh pemerintah, organisasi sektor swasta, dan akademisi dapat menciptakan model untuk penggunaan makanan yang lebih berkelanjutan di rumah tangga.
"Mengurangi pemborosan makanan merupakan keharusan lingkungan dan ekonomi, tetapi juga merupakan langkah penting menuju masyarakat yang lebih tangguh dan berkelanjutan," katanya.