Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Trump, Masalah Baru Bagi Transisi Energi?

Sebenarnya, arah angin transisi energi sudah mencari titik baru setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden ke-47 AS.
Presiden AS Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif yang telah ditandatangani saat pengumuman tarif di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, DC, AS, pada hari Rabu (2/4/2025). Trump memberlakukan tarif pada mitra dagang AS di seluruh dunia, serangan terbesarnya terhadap sistem ekonomi global yang telah lama dianggapnya tidak adil. Fotografer: Jim Lo Scalo / EPA / Bloomberg
Presiden AS Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif yang telah ditandatangani saat pengumuman tarif di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, DC, AS, pada hari Rabu (2/4/2025). Trump memberlakukan tarif pada mitra dagang AS di seluruh dunia, serangan terbesarnya terhadap sistem ekonomi global yang telah lama dianggapnya tidak adil. Fotografer: Jim Lo Scalo / EPA / Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Tidak hanya pasar modal yang terkena badai efek tarif impor resiprokal, upaya transisi energi juga mendapatkan hambatan baru. 

Sebenarnya, arah angin transisi energi sudah mencari titik baru setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden ke-47 AS. Apalagi setelah Trump mengumumkan kalau Negeri Paman Sam angkat koper dari Perjanjian Paris. 

Tidak sampai di situ, Trump kembali menepati janjinya untuk menetapkan tarif impor resiprokal ke 185 negara. Bukan hanya China, Uni Eropa, tetapi juga Indonesia. 

Pasar saham di seluruh dunia mengalami penurunan tajam, dengan beberapa indeks anjlok bahkan lebih buruk dibandingkan dengan 2020. Saat itu, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19.

Lalu bagaimana dampaknya bagi transisi energi? Direktur Pelaksana Boston Consulting Group Bas Sudmeijer mengatakan hambatan tarif tersebut tak luput menerpa transisi energi. 

“Apakah ini akan menjadi masalah bagi transisi energi? Tentu saja,” katanya, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (7/4/2025).

Sejumlah ekonom dan lembaga riset banyak menerbitkan Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi, yang hasilnya berada pada level tertinggi dalam beberapa dekade.

Indikasi tersebut juga mengkhawatirkan bagi sebagian besar proyek transisi energi, yang melibatkan investasi besar dalam infrastruktur yang membutuhkan pengembalian biaya dalam jangka panjang. 

BloombergNEF pun menakar sejumlah dampak yang menerpa sektor bisnis yang fokus ke transisi energi. 

Kebijakan Trump memberikan tarif yang relatif tinggi kepada negara negara Asia menjadi awan kelabu di tengah upaya kawasan mendorong pengembangan teknologi hijau dan bergantung pada ekspor energi bersih ke AS. 

Seperti Kamboja misalnya, dengan tarif 49%, sementara Uni Eropa 20%. Tahun lalu, mengutip Bloomberg, Uni Eropa mengirimkan barang energi bersih senilai sekitar $25 miliar, sementara ekspor Kamboja yang hanya senilai $820 juta. 

Namun, barang-barang energi bersih tersebut hanya menyumbang sekitar 1% dari total ekspor Uni Eropa ke AS, sementara mencapai 9% untuk Kamboja.

Selain itu, Lithium iron phosphate (LFP) sebagai baterai yang lebih disukai untuk baterai jaringan listrik, dan sebagian besar berasal dari China.

BloombergNEF memperkirakan bahwa tarif tambahan untuk impor dari China akan menyebabkan harga baterai penyimpanan meningkat 17,5% pada 2026, atau lebih tinggi dari kenaikan biaya yang seharusnya terjadi akibat keputusan tarif Presiden Joe Biden.

Mengacu perhitungan BCG, sekitar 85% dari semua material dalam baterai yang dibuat di AS diimpor. 

“Anda tidak bisa menggantinya dalam semalam,” kata Sudmeijer. 

BloombergNEF memperkirakan hampir semua separator baterai, 83% katoda baterai, dan 67% anoda baterai perlu diimpor untuk memenuhi permintaan domestik pada 2025. Dengan begitu, dampaknya akan langsung meningkatkan harga baterai di AS dalam jangka pendek.

Sementara itu, jika tarif menyebabkan resesi, maka hal ini juga memberi kemungkinan akan menurunkan emisi gas rumah kaca untuk sementara waktu. Sayangnya, tindakan iklim ini bukan jadi hal yang terbaik untuk dilanjutkan. 

“Aktivitas ekonomi yang lebih rendah memang menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah. Namun, ini bukan pendekatan yang dapat bertahan lama seperti yang telah kita pelajari selama lima tahun terakhir sejak pandemi Covid-19,” tulis analis di UBS Group AG, bagian manajemen kekayaan global.

Di sisi lain, Tarif Trump juga akan membuat lebih sulit untuk membatasi pemanasan global dan mengurangi emisi, khususnya di Amerika Serikat. Tahun lalu, dunia mencatatkan tahun terpanas dalam sejarah, bahkan melampaui 1,5°C di atas tingkat pra-industri.

“Tarif ini kemungkinan akan meningkatkan biaya teknologi bersih pada saat teknologi bersih sudah lebih mahal di AS dibandingkan negara lain,” tulis analis UBS.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper