Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Taji Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan

Pemerintah Indonesia berencana kembali membuka perdagangan karbon sektor kehutanan dengan potensi Rp258 triliun per tahun
Pemerintah berencana kembali membuka perdagangan kredit karbon sukarela di sektor kehutanan/Bloomberg-Muhammad Fadli
Pemerintah berencana kembali membuka perdagangan kredit karbon sukarela di sektor kehutanan/Bloomberg-Muhammad Fadli

Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Indonesia untuk kembali membuka perdagangan karbon sukarela internasional di sektor kehutanan berpeluang mendorong pasar karbon global. Langkah ini juga berpotensi memperkuat peran Indonesia sebagai pemasok utama kredit karbon berbasis alam.

Kementerian Kehutanan pada pertengahan Maret 2025 mengumumkan rencananya mengaktivasi kembali perdagangan karbon sektor kehutanan dalam waktu dekat, sehingga mengakhiri moratorium yang diberlakukan sejak awal 2022.

Kredit karbon akan dihasilkan dari proyek berbasis alam yang berfokus pada pencegahan atau penghilangan emisi. Perdagangan kredit karbon akan dilakukan melalui dua skema, yakni hutan yang dikelola oleh pihak swasta  atau Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial yang melibatkan masyarakat lokal.

Menurut Kementerian Kehutanan, harga kredit karbon dari proyek PBPH bakal dibanderol di kisaran harga US$5 sampai US$10 per metrik ton CO₂. Sementara itu, kredit dari skema Perhutanan Sosial dapat mencapai nilai 30 euro (US$32,28) per ton CO₂.

Meskipun lokasi perdagangan kredit karbon belum ditentukan, IDXCarbon digadang-gadang menjadi salah satu opsi utama. Bursa karbon domestik Indonesia sendiri telah membuka akses partisipasi global sejak Januari 2025.

Riset Joy Foo dari BloombergNEF mengungkap bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam mitigasi berbasis alam dengan kapasitas produksi kredit karbon mencapai 13,4 miliar ton setara CO₂ hingga 2050.

Dalam kurun 2015 hingga 2024, Indonesia tercatat menyumbang 6% pasokan kredit karbon global. Namun, penerbitan kredit karbon dari pencegahan deforestasi dan reforestasi menurun drastis hingga 99% dari 2022 ke 2023, dengan nol penerbitan pada 2024 akibat moratorium perdagangan karbon internasional.

Meski pasokan menurun, permintaan terhadap kredit karbon kehutanan Indonesia tetap tinggi. Sebanyak 22,4 juta kredit karbon dari sektor ini telah digunakan sepanjang 2023 dan 2024, menyumbang 25% hingga 28% dari permintaan global untuk kredit berbasis alam.

“Data ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan Indonesia tetap menjadi incaran utama perusahaan besar yang ingin mengimbangi emisi mereka,” tulis Foo.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan bahwa inisiatif ini merupakan bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau. Ia mengatakan bahwa program perdagangan karbon sektor kehutanan membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.

“Langkah ini sejalan dengan visi Astacita yang diusung Presiden RI Prabowo Subianto dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” ujar Raja Juli.

Pada tahap awal, potensi serapan karbon di skema PBPH diperkirakan 20 hingga 58 ton CO₂ per hektare, sementara skema Perhutanan Sosial mampu menyerap hingga 100 ton CO₂ per hektare.

Kementerian Kehutanan memperkirakan potensi perdagangan karbon di sektor ini akan mencapai 26,5 juta ton CO₂ pada 2025, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun hingga Rp3,2 triliun per tahun.

Jika dioptimalkan hingga 2034, perdagangan karbon kehutanan dapat menghasilkan Rp97,9 triliun hingga Rp258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar Rp23 triliun hingga Rp60 triliun. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diproyeksikan sebesar Rp9,7 triliun hingga Rp25,8 triliun per tahun.

Selain itu, program ini juga diharapkan dapat menciptakan 170.000 lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon.

Raja Juli menegaskan bahwa perdagangan karbon di sektor kehutanan tidak hanya bertujuan mengurangi emisi, tetapi juga mempercepat reforestasi melalui strategi Afforestation, Reforestation, and Revegetation (ARR).

Untuk memastikan daya saing perdagangan karbon Indonesia secara global, Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim Hashim Djojohadikusumo.

Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung pada Mei 2025.

Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 terkait Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.

“Dengan berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimistis bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta penguatan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Raja Juli.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper