Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Donald Trump melakukan sejumlah perubahan kebijakan energi Amerika Serikat (AS) yang signifikan menunjukkan penurunan komitmen terhadap aksi iklim global.
Selain menarik AS dari Perjanjian Paris 2017, Trump juga mendorong revitalisasi industri batu bara dengan mencabut aturan lingkungan, seperti Clean Power Plan, yang membatasi emisi dari pembangkit listrik.
Selain itu, kebijakannya mendukung ekspansi produksi minyak dan gas alam, termasuk pembangunan proyek pipa seperti Keystone XL. Trump juga mencabut kebijakan mandat kendaraan listrik yang sebelumnya didukung oleh Presiden sebelumnya, Joe Biden.
Keengganan pemerintahan Trump untuk mendukung mekanisme pendanaan iklim internasional, seperti Green Climate Fund, semakin menghambat upaya transisi energi global.
Energy Transition vs Energy Security
Rencana energi "America First" Trump akan menghidupkan kembali industri batu bara dan memperluas produksi minyak dan gas, bertentangan dengan transisi energi global yang sedang bergerak menuju energi terbarukan.
Kebijakan energi Trump akan memperlambat upaya internasional untuk memerangi perubahan iklim dan menggeser fokus prioritas energi AS.
Baca Juga
Konsekuensi jangka panjangnya adalah tertundanya transisi menuju energi terbarukan, meningkatnya ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan meningkatnya ketegangan geopolitik terkait sumber daya energi.
Kebijakan-kebijakan ini menekankan kemandirian energi AS namun mengabaikan upaya transisi ke energi terbarukan.
Kebijakan berorientasi “energy security” ini dapat dipahami dari perspektif Resource-Based View (Barney, 1991), yang menekankan pentingnya sumber daya dan kapabilitas unik suatu negara dalam menciptakan keunggulan kompetitif.
AS, dengan sumber daya energi fosil yang melimpah, memilih untuk memprioritaskan industri batu bara, minyak, dan gas selama pemerintahan Trump. AS juga mempunyai cadangan batu bara terbesar di dunia dengan estimasi mencapai 250 milliar ton dan salah satu produsen gas terbesar dunia dengan cadangan terbukti sebesar 500 triliun cubic feet (Tcf).
Jika dihitung secara teknis dengan memasukkan potensi energi baru seperti shale gas dan tight gas maka cadangan AS mencapai lebih dari 2,800 Tcf (EIA, 2023). Pada 2023, negara ini juga mempunyai cadangan minyak terbukti sekitar 38 miliar barrel dan meningkat tajam lebih dari 200 miliar barrel jika diperhitungkan juga cadangan teknisnya.
Namun, dari pendekatan Stakeholder Theory (Mitrof & Freeman, 1983), yang menekankan pentingnya mempertimbangkan kepentingan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, bisnis, dan masyarakat, kebijakan energi Trump ini jelas lebih memihak industri fosil, mengabaikan kepentingan global dalam memerangi perubahan iklim.
Hal ini menciptakan ketegangan antara kepentingan nasional AS dan tanggung jawab globalnya, memperlambat upaya kolektif menuju energi bersih dan memperjelas wajah politik AS yang hipokrit.
Selain itu, Institutional Theory (Scott, 2008) menjelaskan bagaimana tekanan institusional mempengaruhi kebijakan. Penarikan AS dari Perjanjian Paris menciptakan kekosongan kepemimpinan dalam tata kelola iklim global, mempengaruhi komitmen negara lain dan melemahkan pengaruh AS dalam membentuk kebijakan energi internasional serta menciptakan peluang bagi negara-negara lain, terutama China, untuk mengambil peran lebih besar dalam kepemimpinan iklim global menetapkan agenda dekarbonisasi.
China akan muncul sebagai eksportir utama teknologi energi bersih dan mitra bagi negara-negara berkembang.
Dampak ke Indonesia
Keluarnya AS dari Perjanjian Paris telah mengurangi tekanan global untuk mengurangi emisi karbon, yang mungkin memengaruhi komitmen negara lain, termasuk Indonesia, dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Kebijakan Trump yang mendukung ekspor energi fosil juga dapat mempengaruhi pasar global, membuat harga bahan bakar fosil lebih kompetitif dibandingkan energi terbarukan. Hal ini bisa memperlambat adopsi energi bersih sebagai program utama transisi energi di Indonesia.
Dampak pastinya adalah berhentinya bantuan AS ke Indonesia melalui USAID, USTDA dan lainnya, untuk program-program transisi energi bernilai setidaknya 100 juta dollar per tahun. Efek lainnya adalah makin tidak jelasnya suntikan dana dari JETPI (Just Energy Transition Partnership – Indonesia) yang dijanjikan senilai 20 milyar dollar pada saat G20 di Bali pada 2022.
Strategi ketahanan energi (energy security) yang relevan dengan transisi energi di Indonesia harus memadukan pemanfaatan sumber daya lokal dengan pengembangan teknologi energi bersih. Pertama, Indonesia perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, seperti panas bumi, tenaga surya, dan angin, yang melimpah di wilayahnya.
Kedua, diversifikasi sumber energi harus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan impor energi. Dengan mengembangkan berbagai jenis energi, risiko gejolak harga global dan gangguan pasokan dapat diminimalkan.
Ketiga, investasi dalam infrastruktur jaringan listrik pintar (smart grid) dan sistem penyimpanan energi dapat meningkatkan efisiensi dan stabilitas pasokan. Infrastruktur ini memungkinkan integrasi energi terbarukan yang lebih baik dan mengurangi pemborosan energi.
Terakhir, pemerintah perlu merancang kebijakan yang mendukung riset dan pengembangan teknologi energi bersih, serta memberikan insentif finansial untuk menarik investasi swasta.
Meskipun sama-sama berorientasi “energy security”, kebijakan swa sembada-nya Presiden Parabowo seharusnya berbeda dengan Amerika Fisrt-nya Trump. Indonesia tak perlu ikut-ikutan keluar dari komitmen iklim global seperti Perjanjian Paris. Namun, kalau kita masih membebek kepada AS, termasuk dalam kebijakan energi, maka transisi energi di Indonesia hanya akan menjadi omon-omon belaka.