Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Donald Trump kembali membawa keluar Amerika Serikat dari Perjanjian Paris sesuai perintah eksekutif (executive order) yang ditandatanganinya setelah resmi dilantik untuk periode kedua, Senin (20/1/2025).
Kebijakan ini dianggap langkah mundur di tengah upaya menahan laju peningkatan suhu bumi. Sejumlah negara sudah berkomentar tentang perintah Presiden Trump ini, sebut saja China dan Jerman.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun mengatakan pihaknya akan aktif menanggapi perubahan iklim dan akan bersama-sama mempromosikan transisi global yang hijau dan rendah karbon.
Sebelumnya, China memecahkan rekor penambahan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) pada 2024. Hal ini dicapai di tengah upaya transisi energi China dan perubahan arah kebijakan iklim Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Kapasitas energi terbarukan bertenaga surya negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia itu bertambah 277 gigawatt (GW) sepanjang 2024, menurut laporan Badan Energi Nasional (National Energy Administration/NEA) China pada Selasa (21/1/2025).
Tambahan itu melampaui rekor tahun sebelumnya yang mencapai 217 GW. Badan Energi Nasional juga menyebutkan bahwa China berhasil menambah kapasitas energi angin sebesar 80 GW pada 2024. Instalasi energi terbarukan tersebut sekaligus menandai dicapainya bauran energi terbarukan China yang lebih cepat dari target 2030.
Baca Juga
Meski demikian, laju penambahan bauran energi terbarukan China diramal bakal melambat dalam beberapa tahun ke depan. Riset BloombergNEF menyebutkan pengembangan energi terbarukan di China terhadang oleh tertundanya peningkatan infrastruktur jaringan listrik dan ketersediaan lahan yang semakin terbatas.
Keprihatinan Dunia
Reaksi keras juga datang dari Amnesti Internasional AS. Mengutip laman resmi organisasi nonpemerintah ini, keputusan Trump untuk menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris lagi akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat di seluruh dunia.
“Kita tidak perlu melihat lebih jauh dari kebakaran di California atau banjir di North Carolina untuk memahami bahwa krisis iklim telah terjadi dan secara langsung merugikan kita semua,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International AS Paul O’Brien.
Saat ini, seharusnya AS bertanggung jawab karena menjadi penghasil karbon terbesar di dunia. O’Brien mengatakan, Amerika Serikat memiliki tanggung jawab untuk memimpin jalan dalam menyingkirkan bahan bakar fosil dan mendukung transisi di seluruh dunia menuju ekonomi nol karbon.
Senada, Wakil Kanselir Jerman Robert Habeck mengatakan bahwa cara terbaik merespons sikap Presiden Trump adalah dengan berpegang teguh pada rencana pengembangan energi hijau yang sudah disepakati. Jerman, berencana menjadikan 80% listriknya berasal dari pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan pada 2030.
"Kita harus menonjolkan teknologi kita sendiri," kata Habeck.
Di sisi lain, keputusan Trump untuk meninggalkan kesepakatan Paris untuk kedua kalinya memang disesalkan, tetapi tidak mengejutkan. Hal ini disampaikan oleh pejabat teras Bank Sentral Eropa Francois Villeroy de Galhau.
"Kami menyesalkan pengumuman Presiden Trump untuk meninggalkan Perjanjian Paris, tetapi pengumuman ini tidak mengejutkan," kata Villeroy, dikutip dari wawancara dengan Bloomberg TV dari pertemuan tahunan di Davos, Swiss.