Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontribusi Sektor Hijau di Perekonomian Asia Tenggara masih Rendah, Apa Kendalanya?

Ekonomi Asia Tenggara berpeluang menembus US$300 miliar akibat transisi energi hijau, tetapi proyeksi ini terkendala hambatan struktural
Ilustrasi investasi sektor hijau
Ilustrasi investasi sektor hijau

Bisnis.com, JAKARTA — Kontribusi transisi hijau terhadap perekonomian kawasan Asia Tenggara masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara utama Asia Pasifik yang mencakup China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Laporan Southeast Asia’s Green Economy 2025 yang diterbitkan oleh Bain & Company, GenZero, Google, Standard Chartered, dan Temasek menunjukkan adanya potensi ekonomi senilai US$300 miliar bagi Asia Tenggara pada 2030 dari transisi hijau. Meski demikian, potensi ini masih terganjal kendala struktural.

Dari sisi investasi pada sektor hijau, data International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa investasi hijau di China menembus US$659 miliar dan di India sebesar USS$81 miliar yang masing-masing setara dengan 4% dan 2% produk domestik bruto (PDB).

Angka di Asia Tenggara tercatat jauh tertinggal dibandingkan kedua negara tersebut. Total investasi hijau pada 2024 di kawasan ini hanya sebesar US$38 miliar yang merepresentasikan 1% PDB.

Bauran energi terbarukan di Asia Tenggara juga jauh lebih rendah daripada China dan Jepang, yakni di level 9%, sementara dua negara Asia Timur masing-masing mencapai 17% dan 16%.

Penetrasi kendaraan listrik (electric vehicles/EV) di Asia Tenggara terbilang lebih rendah daripada China yang mencapai 26%, yakni di kisaran kurang dari 9% sampai 15%.

Tertinggalnya penetrasi energi hijau di Asia Tenggara membuat kontribusi ekonomi sektor tersebut terbatas. Laporan mengungkap bahwa kontribusi sektor energi bersih terhadap ekonomi China mencapai US$1,6 triliun atau 9% pada 2023. Hal ini kontras dibandingkan dengan estimasi kontribusi di Asia Tenggara yang hanya sebesar US$90 miliar pada 2030.

“Asia Tenggara perlu mengatasi kendala struktural yang telah menghambat upaya [transisi] yang telah dilakukan sebelumnya,” tulis laporan tersebut, dikutip Kamis (15/5/2025).

Salah satu kendala struktural tersebut adalah tingginya ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Sekitar 25%–35% perekonomian Asia Tenggara bergantung pada sektor yang intensif energi, dengan serapan tenaga kerja mencapai 150 juta orang. Di sisi lain, bahan bakar fosil masih mendominasi bauran pembangkit listrik, dengan persentase mencapai 80%.

Negara-negara di Asia Tenggara juga mengandalkan komoditas berbasis alam. Hal ini tecermin dari porsi karet, minyak sawit dan kayu dalam ekspor enam ekonomi terbesar Asean.

Sekitar 80% pasokan minyak sawit global berasal dari Indonesia dan Malaysia dan 30% karet berasal dari Indonesia, Malaysia dan Thailand. Di sisi lain, sekitar 83% dari hilangnya tutupan hutan di Indonesia pada 2019-2023 terkait dengan aktivitas komoditas perkebunan.

Laporan Southeast Asia’s Green Economy 2025 menyebutkan bahwa pemanfaatan pondasi kemitraan regional yang kuat dapat membantu Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik dapat menjadi solusi kendala-kendala di atas.

Sebagai contoh, kesepakatan ekonomi regional seperti Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) dan Asean-China Free Trade Area (ACFTA) bisa menjadi jembatan negara-negara di kawasan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan investasi.

“Ekonomi utama Asia-Pasifik menyumbang sekitar 40% dari FDI [foreign direct investment] Asia Tenggara. Hal ini secara signifikan membentuk investasi pada infrastruktur, teknologi, dan energi di kawasan tersebut,” demikian analisis laporan tersebut.

Negara-negara Asia-Pasifik tercatat telah terlibat dalam kolaborasi teknologi hijau dengan Asia Tenggara. China sebagai salah satu pemimpin inovasi hijau berinvestasi sebesar US$40 miliar di sektor energi di negara-negara Asia Tenggara. Sekitar 30% dari investasi pembangkit listrik tenaga surya global China diarahkan ke negara-negara Asia Tenggara dengan kapasitas mencapai 51 gigawatt (GW).

Sementara itu, Jepang telah menandatangani lebih dari 150 perjanjian di bawah payung Komunitas Nol Emisi Asia (AZEC) untuk investasi di sektor energi fosil nonbatu bara dan energi terbarukan. Korea Selatan melalui kemitraan strategis dengan Asean juga berinvestasi dalam infrastruktur EV dan manufaktur baterai di Asia Tenggara.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper