Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang Buat Ekonomi Hijau Semakin Abu-Abu

Strategi Indonesia menghadapi kebijakan Tarif Trump, patut menjadi sorotan, khususnya terkait ekosistem ekonomi hijau di Tanah Air.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA – Sejenak, sepertinya strategi transisi energi di Tanah Air tampak kabur setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerbitkan kebijakan tarif impor resiprokal. 

Terlepas dari tantangan eksternal tersebut, upaya mendorong ekosistem ekonomi hijau di dalam negeri juga tidak mudah. 

Tingginya ketergantungan terhadap energi fosil, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun senjata andalan sebagai komoditas ekspor, jadi salah satu penyebabnya. 

Strategi Indonesia menghadapi kebijakan Tarif Trump ini, juga patut menjadi sorotan, khususnya terkait ekosistem ekonomi hijau di Tanah Air. 

Impor LPG dan LNG dari AS

Salah satunya, rencana pemerintah yang akan meningkatkan impor liquefied petroleum gas (LPG) dan liquefied natural gas (LNG) dari AS.

Hal itu sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto sebagai respons penerapan tarif impor timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 32% dari Presiden AS Donald Trump kepada RI. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, Presiden Prabowo memastikan untuk memilih pendekatan negosiasi dibanding dengan tindakan pembalasan untuk menghadapi kebijakan tarif terbaru AS.

Oleh karena itu, pemerintah akan meningkatkan impor LPG dan LNG dari Negeri Paman Sam. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan impor dan investasi dari AS ke Indonesia.

Dengan begitu, defisit neraca perdagangan AS terhadap Indonesia dapat berkurang sehingga diharapkan kebijakan Trump bisa melunak.

"Dengan pembicaraan dengan menteri ESDM, juga kita arahan presiden, kita bisa membeli LPG dan LNG dari AS," kata Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi 2025 di Jakarta, Selasa (8/3/2025).

Salah satu strategi “merayu” Trump ini juga berisiko meningkatkan harga impor, terutama harga logistiknya. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan impor LPG dan LNG ada risiko yang tinggi.

“Risiko harga tinggi dari impor LPG dan LNG dari sana juga harus diperhitungkan,” katanya, saat dihubungi Bisnis, Rabu (9/4/2025).

Stimulus Kendaraan Listrik

Pemerintah juga menyiapkan strategi jangka pendek menghadapi dampak kebijakan Tarif Trump. Salah satunya menjaga daya beli dan mendorong ekonomi nasional.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air melalui paket stimulus ekonomi.

Misalnya saja, stimulus PPN DTP EV dengan alokasi anggaran Rp1,38 triliun, PPnBM DTP EV (Rp4,09 triliun), PPnBM DTP Hybrid (Rp800 miliar), Bea Masuk EV (Rp7,77 triliun) hingga subsidi/PPn DTP motor listrik (Rp250 miliar).

Sebelumnya, insentif fiskal ini merupakan kebijakan lawas yang diterbitkan untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik (EV) di Tanah Air.

Pemerintah memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) atas penjualan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)  atas penjualan mobil hybrid hingga akhir 2025.  

Ketentuan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK No12/2025 yang diterbitkan dan mulai berlaku pada 4 Februari 2025. 

“Insentif ini diberikan sebagai upaya mendukung kebijakan Pemerintah dalam mendorong terciptanya emisi karbon rendah dari kendaraan listrik dan hybrid,” ujar Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dikutip dari keterangan resminya, Rabu (19/2/2025). 

Keran Impor dan TKDN

Indonesia akhirnya menegaskan langkah kompromistis dengan memilih opsi negosiasi dalam menyikapi kebijakan tarif impor timbal balik (reciprocal tariffs) yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada pekan lalu.

Pelonggaran kuota impor dan relaksasi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) menjadi bagian dari paket negosiasi RI dengan AS. Kebijakan lain yang melengkapi paket itu terkait deregulasi aturan perpajakan dan kepabeanan.

Namun, ibarat buah simalakama. Di satu sisi, tanpa negosiasi, ekspor sejumlah produk Indonesia ke Negeri Paman Sam akan terkena tambahan tarif bea masuk resiprokal sebesar 32%, terhitung mulai Rabu (9/4/2025) waktu AS.

Saat memberikan paparan dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI, Selasa (8/4/2025), Presiden Prabowo Subianto langsung mengarahkan seluruh anggota kabinetnya untuk membuat aturan yang lebih fleksibel terkait dengan aturan TKDN.

Namun, dia mengakui adanya kekhawatiran tentang penurunan daya saing industri dalam negeri apabila syarat TKDN dipaksakan. 

"TKDN fleksibel sajalah, mungkin diganti dengan insentif," katanya di hadapan para pebisnis.

Di sisi lain, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan rencana itu dapat mempercepat kerusakan ekonomi nasional, apabila tidak dikawal dengan regulasi yang ketat. 

“Ekspor kita ditekan tarif Trump, impor kita buka liar, cadangan devisa makin terkuras, rupiah tertekan. Ini resep menuju krisis, bukan jalan keluar dari tekanan tarif Trump,” ujar Andry, Rabu (9/4/2025).  

Dia melihat keran impor yang dibuka lebar dapat memicu defisit neraca perdagangan. Dalam tiga tahun terakhir, meski masih surplus, namun surplus dagang Indonesia terus menyusut. 

Selain memberi dampak negatif untuk ekonomi nasional, keleluasaan impor juga memberikan angin segar bagi pengembangan proyek-proyek energi terbarukan Tanah Air.

Bhima mengatakan relaksasi impor dan TKDN positif dalam jangka pendek, karena banyak komponen yang masih harus didatangkan dari luar negeri, seperti komponen panel surya, smart grid, turbin angin dan lainnya. 

“Selama tidak ada substitusi komponen EBT dalam negeri, relaksasi TKDN masih positif,” tambahnya. 

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) guna mendorong investasi proyek energi baru dan terbarukan (EBT).  

Ketentuan relaksasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan pasal 19. 

Pemerintah memberikan relaksasi penerapan TKDN untuk proyek PLTS yang direncanakan beroperasi secara komersial paling lambat 30 Juni 2026 sesuai rencana usaha penyediaan tenaga listrik, dapat diberikan relaksasi penggunaan produk dalam negeri. 

Saatnya Move On

Terlepas dari upaya pemerintah mencari jalan keluar atas kebijakan Gedung Putih, pemerintah diingatkan untuk komitmen mendorong transisi energi. Bhima mengatakan efek perang dagang kali ini adalah adanya harapan harga energi yang terjaga. Hal ini pun sempat dilontarkan Presiden Trump.

Benar saja, harga minyak dunia kembali tergelincir Selasa (8/4/2025) dan ditutup turun lebih dari US$1 per barel ke menyentuh titik terendah dalam empat tahun terakhir.

Penurunan ini dipicu meningkatnya kekhawatiran pasar atas potensi resesi global akibat memanasnya konflik dagang antara dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China. 

Melansir Reuters, Rabu (9/4/2025), minyak mentah Brent ditutup turun melemah US$1,39 atau 2,16% ke level US$62,82 per barel. 

Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) merosot US$1,12 atau 1,85% ke level US$59,58. Sejak Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif menyeluruh terhadap produk impor pada 2 April lalu, kedua harga minyak acuan tersebut telah kehilangan 16% nilainya.

“Bisa dilihat dari penurunan harga minyak, akan membuat kita semakin bergantung pada penggunaan energi fosil. Karena harganya semakin murah, seperti batu bara juga. Di sisi lain, ini membuka jalan, dari sisi ekonomi dan pendapatan negara merugikan perekonomian, karena volatilitasnya tinggi,” ujar Bhima.

Momentum ini dapat menjadi koreksi bagi pemerintah untuk mendorong transisi energi. Pasalnya, kalau masih mengandalkan bergantung pada energi fosil, struktur ekonomi nasional akan semakin rapuh, terlebih impor migas semakin besar. 

“Kalau bergantung terus dengan kondisi seperti ini, harga turun [komoditas] diserap dalam negeri, tinggi [komoditas] di ekspor, struktur ekonomi kita rapuh, itu yang seharusnya dipikirkan pemerintah melihat situasi sekarang,” tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler