Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah masih getol mengusahakan proyek gasifikasi batu bara untuk mensubstitusi impor LPG dengan Dimethyl Ether (DME). Padahal, pada 2020 upaya mendorong proyek ini gagal karena biaya yang tinggi.
Kementerian ESDM mengklaim, gasifikasi batu bara menjadi salah satu opsi untuk mendorong transisi energi. Namun, dengan meningkatnya harga minyak global, mendorong proyek ini berarti harus siap menghadapi berbagai tantangan finansial serta risiko yang menyertainya.
Ghee Peh, Energy Finance Analyst IEEFA, mengatakan tantangan finansial proyek gasifikasi batu bara semakin tinggi. Dengan biaya utang yang lebih besar dan biaya produksi yang diperkirakan akan meningkat secara signifikan.
Menurutnya, merujuk proyek terdahulu, dengan investasi yang dibutuhkan hingga US$1,5 miliar, dengan biaya utang 2% dan permintaan pengembalian sebesar 13% di atas biaya produksi, dinilai tidak menguntungkan dengan harga minyak yang saat itu berada di level US$56 per barel.
Sementara itu, pada saat ini, situasi semakin kompleks. Ghee menjelaskan, harga minyak global kini berada di angka US$79 per barel dan biaya utang meningkat menjadi 5%.
Selain itu, biaya produksi, tenaga kerja, dan bahan baku diperkirakan akan naik lebih dari 30% dibandingkan dengan 2020.
Baca Juga
"Jika proyek sebelumnya gagal pada 2020 karena tingginya biaya, maka proyek yang sama dengan kondisi biaya yang lebih tinggi pada 2025 kemungkinan besar akan menghadapi tantangan yang serupa. Terutama jika investor masih menginginkan pengembalian yang sama, yaitu sekitar 13%, setelah biaya utang," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (7/3/2025).
Merujuk laporan IEEFA pada 2020, proyek gasifikasi batu bara yang dikembangkan antara PT Bukit Asam, PT Pertamina (Persero), Air Products dan Chemical Inc berpotensi mengalami kerugian hingga US$377 juta per tahun.
Angka kerugian tersebut didapatkan IEEFA dengan menguji kelayakan finansial dari proyek DME. IEEFA menggunakan harga pasar dan biaya terkait sektor batu bara, lalu membandingkannya dengan biaya dari pabrik DME yang sudah beroperasi di China sebagai referensi.
Ditambah lagi, di tengah pandemi Covid-19, mendanai proyek energi hilir yang tidak menguntungkan secara ekonomi sulit untuk dilakukan.
Proyek yang sudah diresmikan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo ini, membutuhkan investasi sekitar US$2 miliar untuk menghasilkan metanol yang kemudian akan diubah menjadi DME, yang direncanakan untuk menggantikan impor LPG Indonesia.
Namun, saat itu IEEFA memperkirakan bahwa biaya produksi DME akan hampir dua kali lipat dari harga impor LPG pada periode yang sama. Biaya produksi DME diperkirakan sebesar US$470 per ton, sementara harga impor LPG saat ini lebih rendah, yang menjadikan penggantian LPG dengan DME secara ekonomi tidak masuk akal.
Ghee mengatakan pemerintah perlu berhitung ulang terkait pendanaan proyek, harga produksi hingga substitusi subsidi energi. "Dalam kondisi seperti ini, sangat penting untuk menghitung ulang subsidi yang diperlukan dari pemerintah, karena biaya utang dan biaya produksi yang lebih tinggi akan memperburuk proyeksi keuangan proyek," tambahnya.
Pendanaan Mandiri
Pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa rencananya proyek DME itu akan direalisasikan di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan.
"Ada tiga ada empat proyek yang akan kita dorong DME secara paralel," katanya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (3/3/2025). Bahlil pun juga angkat bicara terkait dengan perkembangan terbaru terkait proyek DME di Tanjung Enim, Sumatra Selatan.
Dia mengaku bahwa proyek strategis nasional (PSN) yang hingga saat ini belum mendapatkan investor setelah kandas ditinggal oleh investor asal Amerika Serikat (AS) itu juga akan didanai secara mandiri. Pemerintah mengarahkan pendanaan dengan melibatkan BPI Danantara.
Adapun biaya investasi untuk proyek DME mencapai US$11 miliar atau Rp180,36 triliun. “Paling gede DME, DME-nya empat [proyek]. DME-nya empat itu [nilai investasi] sekitar US$11 miliar," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (4/3/2025).
Di sisi lain, Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Perkasa Roeslani menegaskan bahwa investasi yang dilakukan oleh pihaknya akan mengikuti prinsip kehati-hatian atau prudent.
“Kami mempunyai parameter-parameter dan memang parameter itu tidak semata-mata hanya dari segi return saja. Namun, parameter juga terkait penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi impor, meningkatkan ekspor, dan tentunya adalah daya saing. Itu juga penting, competitiveness ya," ujar Rosan.
Kritik Keras
Wicaksono Gitawa, Policy Strategist Yayasan Cerah, mengatakan keputusan Pemerintah untuk melanjutkan proyek gasifikasi batu bara berpotensi menghambat upaya transisi energi.
“Dana tersebut seharusnya dapat langsung dialokasikan untuk mempercepat transisi energi Indonesia, yang diperkirakan memerlukan biaya hingga US$97,1 miliar,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mendanai proyek yang berkelanjutan dan menghindari solusi palsu yang memperpanjang penggunaan energi fosil, mengingat dampak kesehatan akibat batu bara dapat meningkatkan biaya tersembunyi dan membebani ekonomi negara.
Senada, Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Celios, mengatakan pemerintah harus menyeleksi proyek yang didanai Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara berdasarkan tingkat risiko sehingga tidak menimbulkan tekanan keuangan dikemudian hari.
“Proyek yang didanai tidak menimbulkan konsekuensi penambahan beban APBN misalnya dalam bentuk subsidi gas di proyek gasifikasi batu bara (DME),” ujarnya.
Menurutnya, proyek hilirisasi yang didanai Danantara perlu memenuhi prinsip FPIC (Free Prior and Informed Consent), dimana masyarakat sekitar proyek harus dilibatkan secara aktif terutama dalam pembahasan perizinan proyek sehingga tidak menimbulkan kerugian lingkungan dan ekonomi lokal.
Di sisi lain, Irwandi Arif, Ketua Indonesian Mining Institute (IMI), ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan proyek ini, termasuk kajian teknis. "Proyek gasifikasi setelah berhasil memproduksi DME dari batu bara kalori rendah masih memerlukan analisis logistiknya sampai offtaker," ujarnya.
Saat ini, menurutnya, Indonesia memiliki potensi batu bara kalori rendah yang cukup banyak untuk mendukung proyek DME ini.