Bisnis.com, JAKARTA — Sepanjang Selasa (4/3/2025) kawasan Jabodetabek alami kelumpuhan akibat banjir. Bahkan, sebagian area Kabupaten Bogor dan Bekasi yang dilintasi sungai Cikeas, Cileungsi dan Bekasi mengalami banjir dengan ketinggian hingga 5 meter.
Pasalnya, hujan deras yang mengguyur sejak Senin sore (3/3/2025) hingga Selasa pagi (4/3/2025) baik hulu dan kawasan hilir menyebabkan tingginya debit air sungai.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat data sementara sebaran daerah dan jumlah warga yang terdampak banjir dan longsor di wilayah Jabodetabek pada elasa (4/3) yakni sekitar 119.206 jiwa.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia M Iqbal Damanik mengatakan banjir yang terjadi pada Selasa (4/3) di Jabodetabek terutama yang paling parah terjadi di sepanjang aliran sungai Cileungsi, Cikeas dan Kali Bekasi akibat alih fungsi lahan.
“Luas daerah aliran sungai (DAS) kali Bekasi 147.000 hektare tetapi hutannya hanya 1.700 hektare. Bentang alam banyak berubah menjadi area terbangun sehingga serapan air jauh berkurang,” ujarnya kepada Bisnis dikutip Rabu (5/3/2025).
Menurutnya, musim hujan dimana limpasan air menjadi sangat besar menyebabkan sungai melebihi kapasitasnya. Ditambah lagi spasial planning yang sangat buruk.
Baca Juga
“Hulunya disikat juga plus manajemen dan pengelolaan DAS yang buruk,” katanya.
Dia menuturkan di kecamatan Babakan Madang dan Sukamakmur, hulu DAS kali Bekasi banyak beralih fungsi lahan menjadi permukiman dan areal terbangun.
“Di DAS kali bekasi ini ada Sentul City, Summarecon, Hambalang, Indocement. Sisa hutan hanya ada di gunung Pancar,” ucapnya.
Adapun menurut data Greenpeace, deforestasi kawasan hijau DAS Kali Bekasi pada 1990 hingga 2022 mencapai 23.600 hektare.
“Saat ini tersisa 1.700 hektare. Jadi, das itu daerah aliran/tangkapan. Bukan hanya kanan kiri sungai. Kalau DAS nya buruk limpasan airnya langsung ke sungai,” tuturnya.
Idealnya secara aturan 30% wilayah DAS harus tutupan hutan. Iqbal mengusulkan agar pemerintah dapat patuh pada aturan soal 30% tutupan pada aliran DAS.
Pasalnya, pengawasan pada pembangunan perumahan harus sesuai sama daya dukung daya tampung. Pembangunan infrastruktur terutama perumahan pada wilayah DAS dampaknya berbeda dengan non wilayah DAS sehingga harus lebih ketat.
“Banjir ini kan bagian dari extream weather atau disebut bencana hidrometeorologi. Jadi pemerintah harus segera melaksana komitmen menurunkan emisinya,” ujar Iqbal.
Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung menuturkan banjir yang terjadi di Jabodetabek selain karena curah hujan juga dikarenakan alih fungsi lahan yang masif di kawasan hulu.
Selain itu, banyak penerbitan sertifikat untuk lahan yang seharusnya tidak digunakan untuk dijadikan lokasi pembangunan perumahan meskipun ada regulasi. Kawasan tersebut seharusnya digunakan untuk menyerap air atau berfungsi sebagai daerah resapan.
“Secara kasat mata kelihatan di Sentul, Cikeas, Cileungsi, Hambalang, itu dibangun semua,” katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, seharusnya pemerintah memiliki rencana komprehensif jangka panjang dalam menangani DAS tidak mengikuti batas administrasi pemerintahan. Selainn itu, pemerintah perlu dilakukan evaluasi izin perumahan dan kawasan komersil untuk mengembalikan resapan dan retensi air.
“Kemudian memperbaiki drainase dengan benar bukan karena ngikut pengembang atau yang bersedia membayar saja,” ucap Sawung.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna berpendapat intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan kondisi kapasitas sungai di beberapa wilayah Jabodetabek tak mampu menampung. Hal itu dikarenakan kondisi lingkungan di Jabodetabek semakin parah karena daerah resapan air berkurang dan bertambahnya kawasan permukiman. Dia mencontohkan banjir hebat yang terjadi di kawasan Bekasi karena aliran kali Bekasi, Sungai Cileungsi, dan Sungai Cikeas tak mampu menampung debit air yang tinggi.
“Daerah yang dilewati sungai tersebut kiri kanan itu perumahan. Tak ada tanggul dan tembok sehingga tak ada yang mampu mengantisipasi volume air yang besar,” tuturnya kepada Bisnis.
Selain itu, masih banyak bangunan yang berdiri di kawasan bantaran sungai karena harga tanah yang terbilang murah. Lalu banyak aktivitas-aktivitas ilegal seperti menguruk DAS yang menyebabkan penyempitan kali.
Dia berharap pemerintah daerah Jabodetabek dapat duduk bersama untuk memetakan kembali wilayah yang terkena banjir. Kemudian perlu dilakukan penanganan tata ruang. Pasalnya penanganan banjir di Jabodetabek tak bisa hanya ditangani 1 daerah saja.
Yayat menambahkan perlu dilakukan penambahan situ, danau, embung, dan waduk untuk menampung luapan air sunga sehingga tidak membanjiri permukiman.
“Perlu adanya sumur resapan di setiap halaman rumah untuk bisa menyerap air,” katanya.
Pengamat Lingkungan dan Perubahan Iklim dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menuturkan banjir yang kembali terjadi Jabodetabek akibat persoalan tata ruang kota, termasuk pengelolaan lingkungan. Pasalnya, zona lindung untuk menjaga tutupan hutan atau vegetasi di wilayah hulu DAS yang berfungsi menjaga tata air banyak yang beralih fungsi.
“Semestinya zona lindung ini harus tegas dijaga, bukan menjadi kawasan terbangun,” ucapnya kepada Bisnis.
AUDIT IZIN LAHAN
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuturkan banjir besar yang terjadi di Bekasi dan Bogor akibat alih fungsi lahan masif di Puncak.
Dia meminta PT Perkebunan Nusantara (PTPN) diminta untuk menghentikan aktivitas alih fungsi lahan di Puncak. Dari data yang diperolehnya, terdapat lebih dari 1.000 hektare lahan perkebunan teh di Puncak Bogor telah berubah fungsi sehingga berdampak pada ekosistem dan meningkatkan risiko bencana.
Menurutnya, sejak era kolonial Belanda, penanaman pohon teh di kawasan Puncak bukan hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga sebagai bagian dari konservasi dan perlindungan lingkungan.
Pihaknya pun akan mengevaluasi tempat wisata di puncak Bogor termasuk milik BUMD Jabar PT Jasa dan Kepariwisataan (Jaswita) Jabar.
“Terus terang saja, di situ ada Jaswita, membangun sarana rekreasi di puncak berdasarkan keterangan dari Bupati Bogor tadi, ada salah satu pionnya, kubahnya atau apa namanya, kemudian terjatuh masuk ke sungai dan menyumbat serta menjadi luapan air,” ucapnya dilansir Antara.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan audit kepada para pengembang perumahan di Jawa Barat hingga melakukan evaluasi terhadap Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kaitannya dengan pemanfaatan atas lahan terutama di kawasan banjir.
Pada Kamis (6/3), pihaknya bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup akan melakukan inspeksi kawasan Puncak Bogor. Jika terdapat area tersebut mengurangi daya resapan air hingga menimbulkan bencana, maka harus dievaluasi dan pencabutan izin baik untuk swasta maupun milik BUMN/BUMD.
Selain itu, pada pekan depan akan dilakukan rapat koordinasi bupati/wali kota se-Jabar bersama dengan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengevaluasi tata ruang di Jawa Barat.
Hal ini sebagai upaya menjaga keseimbangan daerah dan mencegah bencana alam semakin parah. Pasalnya, hilangnya ruang terbuka hijau, kawasan hutan, hingga lahan sawah menjadi penyebab utama banjir di wilayah Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah menyusun program penanggulangan bencana banjir di sejumlah wilayah di Jawa Barat.
“Kami akan evaluasi tatar ruang termasuk hilangnya daerah resapan air, daerah hijau, dan daerah persawahan yang paling besar ada di Jabar. Ini demi menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah bencana lebih lanjut,” tutur Dedi.
Bupati Bogor Rudy Susmanto menuturkan pihaknya akan lebih selektif dalam mengeluarkan berbagai izin khususnya yang berkaitan dengan lingkungan di Kabupaten Bogor.
“Saya mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) yang baru, hari ini kita tanda tangani, yaitu menarik seluruh proses perizinan dikembalikan ke kepala daerah. Perizinan pendelegasian tugas ke masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kami tarik kembali,” ujarnya dilansir Antara.
Pihaknya juga akan mengevaluasi berbagai izin yang sudah kadung diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bogor. Salah satunya, izin pembangunan perumahan di Desa Cijayanti yang dinilai berdampak buruk bagi lingkungan masyarakat sekitar.
“Selama kepentingannya jelas, selama tidak mengganggu lingkungan, tidak merusak lingkungan, kita pasti mendukung,” katanya.
Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti menuturkan banjir yang terjadi baik di Puncak kawasan hulu maupun di hilir karena sungai yang tak mampu menampung tingginya intensitas hujan yang melanda Bogor sejak Minggu (2/3/2025).
“Saya melihat bahwa sungai yang dulunya lebar, sekarang menjadi sempit karena banyak sekali rumah-rumah di bantaran sungai. Air itu tentunya mencari jalannya sendiri, sehingga harapan saya jangan dihuni,” ucapnya.
Pihaknya akan berkoordinasi lintas sektoral bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten Bogor, termasuk upaya relokasi warga yang tinggal di badan sungai.
Dia menampik tanggul yang jebol sebagai penyebab banjir di Jabodetabek. Menurutnya, banjir terjadi karena curah hujan yang tinggi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan pihaknya akan mengkaji efektivitas Bendungan Ciawi dan Sukamahi dalam penanggulangan banjir. Bendungan Ciawi dan Sukamahi merupakan bendungan kering yang dibangun di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dikutip dari laman Ditjen Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bendungan ini berfungsi untuk mengurangi kerentanan banjir kawasan Jakarta.
Bendungan kering yang dibangun untuk fungsi pengendalian banjir. Berdasarkan data Kementerian PUPR, reduksi banjir dimulai dari Bendungan Ciawi, lalu Bendungan Sukamahi, Bendungan Katulampa, Pintu Air Depok, dan Pintu Air Manggarai.
Selain itu, BNPB akan melakukan modifikasi cuaca hingga 8 Maret 2025.