Bisnis.com, JAKARTA – Transparansi rantai pasok mineral kritis diperlukan untuk menghindari risiko eksploitasi yang menimbulkan dampak parah pada masyarakat dan lingkungan.
Berkaca dari dinamika permintaan global terhadap mineral kritis memicu krisis ganda yang mengancam, rantai pasok yang rapuh dan risiko lingkungan yang semakin memburuk. Di sisi lain, gangguan pasokan yang bisa mengguncang transisi energi global.
Berbagai proyek pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan dan produksi kendaraan listrik mendorong kebutuhan mineral kritis dunia.
Merujuk data United States Geological Survey (USGS), produksi nikel dunia pada 2024 diperkirakan mencapai 3,7 juta metrik ton (MT), dengan Indonesia menyumbang sekitar 2,2 juta MT atau 59,46% dari total produksi global.
Belakangan, salah satu kasus yang mencerminkan kerentanan ini adalah penurunan produksi PT Gunbuster Nickel Industry (GNI). Smelter ini merupakan salah satu fasilitas pemurnian biji nikel terbesar di Indonesia dengan 21,6 juta ton input bijih nikel per tahun.
Melansir Bloomberg, Jumat (21/2/2025), Jiangsu Delong Nickel Industry sebelumnya telah mengajukan kebangkrutan pada paruh kedua tahun lalu. Sementara itu, pabrik peleburan nikel milik anak usahanya di Indonesia, kemungkinan akan segera menghentikan produksi jika situasi terus berlanjut.
Baca Juga
Harga nikel global hampir turun setengahnya sejak akhir 2022 karena produksi Indonesia yang sedang meningkat memaksa tambang dan pabrik di tempat lain tutup. Namun kini, bahkan pabrik peleburan di negara yang biasanya diuntungkan oleh biaya energi dan tenaga kerja yang lebih rendah itu, mengalami tekanan.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan berkaca dari fenomena pada PT GNI menjadi pertanda adanya mismatch antara izin smelter yang terlalu mudah diberikan beberapa tahun terakhir, dengan kesiapan tata kelola dari sisi pasokan mineral.
“Negara produsen mineral kritis seperti Indonesia harus menjalankan moratorium smelter untuk mengendalikan pasokan dan harga di pasar internasional,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (24/2/202%).
Momentum moratorium, lanjut Bhima, bisa dijadikan sebagai langkah evaluasi menyeluruh seluruh kebijakan di rantai pasok mineral kritis. Gunbuster telah menutup sebagian besar jalur produksinya sejak awal 2025, akibat tekanan finansial dari strategi ekspansi agresif yang dilakukan Jiangsu Delong di Indonesia.
Situasi ini menunjukkan bagaimana investasi besar tanpa perencanaan berkelanjutan menyebabkan dampak serius bagi ekonomi lokal, kerusakan lingkungan dan resiko tenaga kerja.
Bhima mengatakan bahwa harga nikel misalnya yang terlalu rendah, industri tengah yang tidak dibangun (hollow in the middle), dan dampak lingkungan yang terlanjur berisiko tinggi menjadikan negara produsen kehilangan daya tawar di hadapan pembeli baik industri stainless steel dan kendaraan listrik.
“Penguatan kerja sama antar negara produsen mineral kritis harus memasukkan prinsip tata kelola, industrialisasi yang berkelanjutan dan pro terhadap standar lingkungan yang lebih ketat, termasuk tidak menambah jumlah PLTU batu bara di kawasan industri.” tegas Bhima.
Di sisi lain, terlepas dari ekspansi industri ekstraksi mineral, biaya lingkungan dan sosial yang ditanggung negara penghasil jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonominya.
Banyak deposit mineral terkaya terletak di wilayah yang sensitif secara ekologis dan merupakan tanah adat. Selain itu, aktivitas pertambangan telah menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan peminggiran masyarakat lokal.
Perwakilan Friends of the Earth (FoE) Malaysia, Theiva Lingam mengatakan penambangan di daerah yang sensitif terhadap lingkungan tidak boleh diizinkan.
“Potensi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki membutuhkan kerangka regulasi yang kuat dan komitmen terhadap praktik berkelanjutan yang benar-benar mencerminkan prinsip perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ujarnya.