Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung membawa prahara ke bursa saham kawasan Asia pada hari pertama periode kedua kepemimpinannya. Gejolak harga terlihat di antara saham-saham sektor minyak dan gas, kendaraan listrik, hingga energi terbarukan.
Bagaimana tidak? Pentolan Partai Republik itu langsung meneken sederet perintah eksekutif yang kontras dengan kebijakan pendahulunya, Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat.
Tak lama setelah dilantik, Trump menjanjikan deklarasi darurat energi nasional. Dia menyerukan peningkatan produksi minyak dan gas untuk menanggulangi krisis harga tinggi energi di negara tersebut.
“Amerika Serikat memiliki jumlah minyak dan gas bumi terbesar dibandingkan negara manapun di dunia. Kita akan memanfaatkan hal ini. Kita akan kembali menjadi negara kaya, dan emas cair di tanah yang kita pijak inilah yang akan membantu kita mencapainya,” kata Trump dalam pidatonya, sebagaimana dikutip Bloomberg.
Sinyal dari produsen terbesar di dunia itu sontak mengerek turun proyeksi harga minyak. US Energy Information Administration (EIA) dalam laporan tertanggal 21 Januari 2025 memperkirakan harga rata-rata minyak Brent akan turun dari US$81 per barel pada 2024 menjadi US$74 per barel pada 2025 dan US$66 per barel pada 2026. Penurunan harga ini turut dipengaruhi oleh proyeksi pertumbuhan permintaan yang lebih lambat.
Pengumuman terbaru ini juga berimpak ke pasar saham Asia. Saham-saham energi sektor minyak dan gas terpantau ramai terkoreksi merespons potensi pasokan global yang lebih besar.
Baca Juga
Di Indonesia, harga saham perusahaan energi swasta terbesar PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) terkoreksi 6,41% pada penutupan perdagangan Selasa (21/1/2025). Banderol harga MEDC turun dari Rp1.170 per saham pada penutupan sehari sebelumnya menjadi Rp1.095 per saham.
Sementara itu, saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) ditutup stagnan di Rp1.610 per saham setelah sempat berfluktuasi.
Bloomberg melaporkan bahwa saham perusahaan migas turut terkoreksi menyusul kebijakan terbaru Trump. Sebut saja saham Inpex dan Eneos di bursa Tokyo yang masing-masing sempat turun 2,4%. Begitu pula saham CNOOC dan China Oilfield Services yang masing-masing turun 2,8% dan 2,5% pada perdagangan Selasa (21/1/2025).
Prioritas Trump terhadap energi fosil tak hanya menyulut riak pada saham-saham sektor energi Asia. Perusahaan-perusahaan baterai, kendaraan listrik (electric vehicles/EV) dan energi terbarukan tak luput memberi reaksi.
Di sektor EV, produsen Asia seperti Li Auto naik hingga 5,7%. Kemudian Xpeng naik 5%, Nio +2,6%, Geely +3,4%, dan BYD di Bursa Hong Kong naik 2,4%.
Sementara itu, saham produsen-produsen asal Jepang seperti Toyota naik 3% dan Nissan terapresiasi 3,6%. Produsen asal Korea Selatan Hyundai sempat naik 2,2% dan Tata Motors di India terapresiasi 1,1%.
Meski demikian, pemasok baterai untuk kendaraan listrik justru mengalami koreksi harga. Sebut saja Samsung SDI yang turun hingga 5,5% dan LG Chem terkoreksi 5,7% di bursa Seoul. Sementara Panasonic di Jepang sempat turun 1,3% dan CATL bergerak fluktuatif di bursa China.
Pergerakan negatif juga diperlihatkan sektor energi terbarukan. Produsen panel surya terbesar di dunia, LONGi Green dari China, turun hingga 2,3%. Kemudian disusul Tongwei yang turun 4,8% dan JA Solar melemah 4,1%.
Produsen peralatan sel surya Jepang, NPC, yang sebagian besar pendapatannya berasal dari Amerika, turun hingga 2,5%. Perusahaan tenaga angin China seperti Ming Yang Smart Energy turun 2,1%, Sany Renewable melemah 1,2%, dan Jiangsu Sinojit Wind Energy terkoreksi 2,2%.
Sejumlah analis berpandangan reaksi pasar Asia terhadap kebijakan Trump belumlah 100%. Pasar sejauh ini masih mengantisipasi detail lebih lanjut tarif dagang baru yang akan diterapkan Trump.
“Para investor mungkin perlu bersiap menghadapi perubahan kebijakan yang tidak menentu dalam beberapa pekan mendatang seiring dengan upaya pemerintahan baru untuk menetapkan arah kebijakan yang lebih jelas,” tulis Analis JPMorgan Asset Management Tai Hui.
Tai Hui mencatat pemerintahan baru Trump tampak menyadari potensi negatif dari implementasi tarif. Namun China, Meksiko, dan Kanada tetap menjadi target utama kenaikan tarif dagang. Trump bahkan secara khusus menyebutkan potensi kenaikan tarif hingga 25% untuk Kanada dan Meksiko yang paling lambat berlaku pada 1 Februari 2025.
Billy Leung dari Global X ETFs memperkirakan pasar akan memberikan reaksi yang lebih jelas setelah Gedung Putih memberi detail lebih lanjut soal kebijakan perdagangan dan tarif Donald Trump.
“Bagi pasar Asia, belum adanya pengumuman implementasi tarif langsung memberikan kelegaan sementara,” kata Leung.
Kelegaan ini terutama dirasakan oleh ekonomi-ekonomi berorientasi ekspor seperti China dan Korea Selatan. Negara-negara ini cenderung sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan perdagangan Amerika Serikat.