Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tren Suhu Udara Panas Indonesia Bakal Berlanjut di 2025, Akibat Deforestasi?

Tahun 2024 yang baru saja berakhir, rerata suhu nasional 27,53 derajat celsius atau sekitar 0,85 derajat lebih tinggi dari rerata.
Ilustrasi gelombang panas atau heatwave. Dok BMKG
Ilustrasi gelombang panas atau heatwave. Dok BMKG

Bisnis.com, JAKARTA — Fenomena pemanasan global yang ditandai dengan kenaikan suhu udara terus terjadi baik di dunia maupun di Indonesia. Tren kenaikan suhu udara diproyeksikan masih tetap terjadi di Indonesia di sepanjang 2025.

Direktur Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab mengatakan kemungkinan besar suhu udara 2025 tidak akan lebih panas daripada tahun 2024. Namun, suhu udara di tahun 2025 tetap lebih tinggi dibandingkan dengan rerata suhu normal di Indonesia sekitar 26 derajat celsius hingga 27 derajat celsius. 

“Tahun 2024 yang baru saja berakhir, rerata suhu nasional 27,53 derajat celsius, 0,85 derajat lebih tinggi dari rerata dan merupakan tahun terpanas sejak dimulainya pencatatan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/1/2025).

Berdasarkan data 117 stasiun pengamatan BMKG, rerata suhu udara periode 1991 – 2020 di Indonesia sebesar 26,7 derajat celsius dan rerata suhu udara tahun 2024 sebesar 27,5 derajat celsius sehingga anomali rerata suhu udara di sepanjang tahun 2024 sebesar 0,8 derajat celsius.

Adapun anomali suhu udara tahunan merupakan nilai selisih antara suhu udara pada tahun tertentu, terhadap suhu udara rerata tahunan selama 30 tahun periode normal tahun 1991 – 2020.

Sepanjang periode pengamatan tahun 1981 hingga 2024 di Indonesia, tahun 2024 menempati urutan pertama tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat celsius.

Anomali rerata suhu udara per stasiun pada 2024 yang diperoleh dari 113 stasiun pengamatan BMKG di Indonesia menunjukkan hampir seluruhnya bernilai anomali positif. Anomali tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Gusti Syamsir Alam Kabupaten Kotabaru sebesar 1,5  derajat celsius, sedangkan anomali terendah tercatat di Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda Banda Aceh sebesar -0,2 derajat celsius.

“Perbedaan selisih antara suhu udara rerata pada 2024 terhadap tahun 2023 menunjukkan sebagian besar stasiun pengamatan BMKG bernilai positif sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu udara rerata di 2024 relatif lebih panas dibandingkan dari 2023,” katanya.

Perbedaan rerata suhu udara yang terpanas terjadi di Stasiun Meteorologi Frans Sales Lega Ruteng sebesar 1,3 derajat celsius, sedangkan perbedaan suhu udara rerata yang terdingin terjadi di Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda Banda Aceh sebesar -0,5 derajat celsius.

Menurut Fachri, faktor pendorong kenaikan suhu udara di Indonesia yakni suhu global yang terus meningkat dimana salah satu penyebabnya kenaikan emisi gas rumah kaca. Selain itu, terdapat juga faktor fenomena atmosfer lainnya seperti El Nino dan La Nina.

“Perubahan lingkungan bisa menjadi salah satu penyebab pemanasan global,” ucapnya.

Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik berpendapat kenaikan suhu bumi diakibatkan oleh emisi yang terus menerus keluar. Salah satu penyumbang emisi terbesar di Indonesia yakni terjadinya deforestasi hutan.

“Secara global, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Brasil emisi yang berasal dari deforestasi. Indonesia juga menjadi negara kedua di dunia dengan tingkat deforestasi terparah pada 2024 setelah Brasil,” tuturnya kepada Bisnis. 

Menurutnya, yang harus dilakukan Indonesia untuk menurunkan emisi yakni salah satunya dengan menghentikan deforestasi dan menghentikan kebakaran hutan. Kedua hal tersebut penyumbang emisi paling besar di Indonesia.

Selain itu, penurunan emisi juga dapat dilakukan di sektor energi dimana pemerintah diminta mempercepat transisi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara beralih ke pembangkit listrik dengan menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT).

“Seandainya hal tersebut teratasi tentunya Indonesia berkontribusi baik ke nasional maupun secara global untuk penurunan emisi yang berkontribusi pada penurunan suhu bumi,” terang Iqbal. 

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam laporan bertajuk The State of Indonesia's Forests 2024, luas deforestasi Indonesia pada 2022 – 2023 mencapai 121.103,5 hektare (ha). Angka itu naik 16,45% jika dibandingkan dengan periode 2021 – 2022 yang sebesar 104.000 ha.

Jika dilihat berdasarkan area hutan, deforestasi paling banyak terjadi di area hutan produksi tetap (HP) dengan luas 38.302,1 ha. Luas itu setara dengan 31,63% dari luas deforestasi secara nasional.

Hutan produksi terbatas (HPT) menyusul di posisi kedua dengan luas deforestasi sekitar 17.461,6 ha pada periode 2022 – 2023. Posisinya diikuti hutan lindung (HL) dengan deforestasi seluas 6.101,7 ha.

Berikutnya, deforestasi di hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 5.810,7 ha pada periode 2022– 2023. Kemudian, luas deforestasi di hutan konservasi (HK) mencapai 4.488,4 ha.

Sementara itu, menurut KLHK, terdapat deforestasi di area penggunaan lain (APL) seluas 48.939 ha. Luas area tersebut setara dengan 40,41% dari luas deforestasi secara nasional pada periode 2022 – 2023.

Adapun berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat ada 629 kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah daerah di Indonesia sepanjang tahun 2024.

TREN KENAIKAN SUHU UDARA DUNIA

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah mengonfirmasi bahwa 2024 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat berdasarkan enam kumpulan data internasional. Dalam 10 tahun terakhir, suhu udara dunia terus memecahkan rekor menjadi dekade terhangat dalam sejarah.

Adapun suhu permukaan rata-rata global di tahun 2024 mengalami kenaikan sebesar 1,55 derajat celsius dengan margin ketidakpastian kurang lebih 0,13 celsius di atas rerata tahun 1850 – 1900, menurut analisis konsolidasi WMO terhadap enam set data.

Hal ini menunjukkan bahwa dunia baru saja mengalami tahun kalender pertama dengan suhu rerata global lebih dari 1,5 derajat celsius di atas rata-rata tahun 1850 – 1900.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan penilaian dari Organisasi Meteorologi Dunia membuktikan sekali lagi pemanasan global merupakan sebuah fakta.

Menurutnya, kenaikan suhu udara yang melampaui batas 1,5 derajat celsius ini bukan berarti tujuan jangka panjang tidak tercapai. Suhu yang sangat tinggi di tahun 2024, memerlukan tindakan iklim yang sangat besar di tahun 2025.

“Masih ada waktu untuk menghindari bencana iklim terburuk. Para pemimpin harus bertindak sekarang juga,” ujarnya dikutip dari laporan WMO.

Guterres meminta pemerintah negara-negara untuk membuat rencana aksi iklim nasional yang baru pada tahun ini untuk membatasi kenaikan suhu global jangka panjang hingga 1,5 derajat celsius.

Menurutnya, kenaikan suhu selama setahun yang melebih 1,5 derajat celsius tidak berarti bahwa telah gagal mencapai tujuan untuk menahan peningkatan suhu rerata global jauh di bawah 2 derajat celsius di atas tingkat pra industri dan melakukan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra industri.

“Ini bukan berarti kami gagal memenuhi perjanjian Paris. Hal ini karena mengacu pada jangka waktu yang panjang, biasanya berpuluh-puluh tahun atau lebih, meskipun Perjanjian ini sendiri tidak memberikan definisi yang spesifik,” katanya.

Guterres menilai lonjakan suhu jangka pendek dan pemanasan jangka panjang dapat disebabkan oleh fenomena alami seperti El Nino yang berlangsung dari pertengahan tahun 2023 hingga Mei 2024.

Seiring dengan berlanjutnya pemanasan global terdapat kebutuhan mendesak untuk melakukan pelacakan, pemantauan dan komunikasi secara hati-hati sehubungan dengan posisi pemanasan tersebut dibandingkan dengan tujuan suhu jangka panjang Perjanjian Paris. Hal ini untuk membantu para pembuat kebijakan dalam mempertimbangkannya. 

Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo berpendapat sejarah iklim mulai terlihat di depan mata dimana tidak hanya mengalami satu atau dua tahun saja pemecahan rekor kenaikan suhu tetapi juga selama satu dekade terakhir.

Fenomena tersebut juga disertai dengan cuaca buruk dan ekstrem, naiknya permukaan air laut dan mencairnya es yang semuanya disebabkan oleh tingkat gas rumah kaca yang memecahkan rekor akibat aktivitas manusia.

Namun demikian, kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat celsius dalam setahun terakhir ini, bukan berarti dunia gagal memenuhi sasaran suhu jangka panjang Perjanjian Paris yang diukur dalam beberapa dekade bukan hanya satu tahun.

WMO memberikan penilaian suhu berdasarkan berbagai sumber data untuk mendukung pemantauan iklim internasional dan untuk memberikan informasi yang berwenang bagi proses negosiasi Perubahan Iklim PBB. Kumpulan data tersebut berasal dari Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (ECMWF), Badan Meteorologi Jepang, NASA, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), Kantor Meteorologi Inggris bekerja sama dengan Unit Penelitian Iklim di Universitas East Anglia (HadCRUT), dan Berkeley Earth.

“Namun, penting untuk menyadari bahwa setiap derajat pemanasan sangatlah penting baik pada tingkat pemanasan di bawah atau di atas 1,5 derajat celsius, setiap peningkatan pemanasan global akan meningkatkan dampaknya terhadap kehidupan, perekonomian, dan planet kita,” tuturnya.

Dia menilai terdapat batas ketidakpastian dalam semua penilaian suhu. Keenam kumpulan data tersebut menempatkan tahun 2024 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat dan semuanya menyoroti laju pemanasan terkini. Namun tidak semua menunjukkan anomali suhu di atas 1,5 °C karena perbedaan metodologi.

“Waktu perilisan enam set data suhu dikoordinasikan di seluruh lembaga untuk menggarisbawahi kondisi luar biasa yang dialami selama tahun 2024,” ucap Saulo.

Sebuah studi terpisah yang diterbitkan dalam Advances in Atmospheric Sciences menemukan bahwa pemanasan laut pada 2024 memainkan peran penting dalam rekor suhu tinggi. Lautan adalah yang terhangat yang pernah tercatat oleh manusia, tidak hanya di permukaan tetapi juga untuk 2.000 meter bagian atas, menurut studi yang dipimpin oleh Prof. Lijing Cheng dari Institut Fisika Atmosfer di Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok. Studi ini melibatkan tim yang terdiri dari 54 ilmuwan dari tujuh negara dan 31 lembaga.

Adapun sekitar 90% dari kelebihan panas dari pemanasan global tersimpan di lautan, menjadikan kandungan panas laut sebagai indikator penting perubahan iklim. Dari 2023 hingga 2024, peningkatan kandungan panas laut global di lapisan atas 2.000 meter adalah 16 zettajoule (1021 Joule), sekitar 140 kali lipat dari total pembangkitan listrik dunia pada 2023, menurut penelitian tersebut, yang didasarkan pada kumpulan data Institute of Atmospheric Physics.

WMO akan memberikan perincian lengkap tentang indikator perubahan iklim utama, termasuk gas rumah kaca, suhu permukaan, panas laut, kenaikan permukaan laut, penyusutan gletser, dan luas es laut, dalam laporan State of the Global Climate 2024 yang akan diterbitkan pada bulan Maret 2025. Laporan ini juga akan memberikan perincian tentang peristiwa berdampak tinggi.

“Sebuah tim ahli internasional yang dibentuk oleh WMO telah memberikan indikasi awal bahwa pemanasan global jangka panjang seperti yang diperkirakan pada tahun 2024 saat ini adalah sekitar 1,3 derajat celsius dibandingkan dengan angka dasar pada tahun 1850 – 1900,” terang Saulo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper