Bisnis.com, JAKARTA — Kemampuan penyerapan karbon dari tanaman sawit dinilai tidak sebanding dengan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari alih fungsi lahan terutama di lahan gambut dan hutan di lahan mineral.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan meski sawit merupakan tanaman yang memilki kemampuan untuk menangkap karbon dioksida, namun pengalihan fungsi lahan untuk membuat perkebunan sawit berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca yang juga lebih besar dibandingkan dengan kemampuan penyerapannya.
“Terjadi ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, atau telah terjadi tekor artinya yang keluar emisi CO2 dibandingkan yang diserap. Simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan, terutama pada hutan di tanah mineral dan gambut,” ujarnya dikutip dari laman Antara, Jumat (10/1/2025).
Berdasarkan data Sawit Watch, tanaman sawit dengan usia 25 tahun mampu menyerap karbon sebesar 39,94 ton per hektare (ha) atau setara dengan 146,58 ton karbon dioksida ekuivalen (CO2-eq). Bagian tanaman yang mampu menyerap karbon paling besar adalah batang sawit yang mencapai 29,13 ton per hektare atau setara dengan 106,91 ton CO2-eq.
Sementara itu, aktivitas perkebunan sawit menghasilkan emisi karbon, baik yang berasal dari operasional perkebunan sawit maupun ketika perubahan simpanan karbon. Dalam penghitungan langsung aktivitas operasional dapat terjadi kehilangan sebesar 4.180 – 6.225 kilogram CO2-eq per hektare per tahun serta perubahan simpanan karbon dapat memicu emisi GRK sebesar 680 – 96.000 kilogram CO2-eq per hektare per tahun.
Tidak hanya itu, maksimum emisi dihasilkan sawit dalam menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum -115 ton CO2-eq. Hasil maksimum emisi dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan minimum -115 ton CO2-eq dan maksimum emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan mineral 835 ton CO2-eq serta minimum 175 ton CO2-eq.
Baca Juga
Nilai terbesar dilihat di lahan gambut dengan hasil maksimum1835 ton CO2-eq dan minimum sebesar 1175 ton C02-eq. Selain itu, dampak alih fungsi lahan tidak hanya emisi gas rumah kaca tetapi juga potensi kehilangan keanekaragaman hayati.
“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” katanya.
Oleh karena itu, Achmad mendorong pertimbangan ulang rencana melakukan alih fungsi lahan dan secara khusus penambahan perkebunan sawit, mengingat berdampak pada deforestasi dan berpengaruh terhadap lingkungan.
Sementara itu, Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto menuturkan upaya ekstensifikasi atau perluasan lahan perkebunan kelapa sawit guna mendukung kemandirian bioenergi dapat memanfaatkan lahan-lahan yang sudah terdegradasi.
Pihaknya mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk kemandirian bioenergi di dalam negeri bahkan hingga sampai B100. Oleh karena itu, perlu dilakukan intensifikasi melalui peremajaan sawit rakyat (PSR) yang disertai dengan riset dan teknologi untuk menghasilkan produktivitas yang maksimal.
“Namun, jika ternyata produksi minyak sawitnya tidak mencukupi, maka bisa dilakukan eksentifikasi dengan memanfaatkan lahan-lahan yang sudah terdegradasi,” ucapnya.
Menurutnya, meskipun tidak sempurna dalam memenuhi fungsi hutan, namun setidaknya mengurangi laju degradasi sekaligus meningkatkan nilai ekonomi dari lahan terdegradasi tersebut.
Selain itu, pemanfaatan lahan terdegradasi tersebut perlu dilakukan mixed plantation agar diperoleh bauran komoditi. Tujuannya agar fungsi hutannya lebih terjaga, misalnya digabungkan dengan tanaman berkayu penghasil pangan.
Dalam kesempatan berbeda, Guru Besar IPB University Budi Mulyanto berpendapat rencana Presiden Prabowo Subianto menambah lahan untuk tanaman kelapa sawit dinilai sudah tepat. Terlebih, ekstensifikasi tersebut tidak akan melakukan deforestasi sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pihak.
Menurutnya, seiring dengan visi Presiden Prabowo adalah ketahanan pangan dan energi sehingga ekstensifikasi harus dilakukan tanpa harus meninggalkan intensifikasi. Namun, jika hanya melakukan intensifikasi dipastikan tidak akan mampu mencukupi kebutuhan produksi biodiesel berbasis sawit.
“Produksi sawit harus sama dengan sawit untuk ekspor, untuk pangan dan sawit untuk energi. Nah dengan B40 itu kondisinya sudah kritis karena sudah menggerogoti kebutuhan sawit untuk pangan dan ekspor,” tuturnya dilansir dari Antara.
Dia menilai intensifikasi selama ini sudah dilakukan melalui Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun program tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan minyak sawit Indonesia untuk ekspor, pangan dan energi jika masuk dalam program mandatori B50.
“Oleh karena itu, mau tidak mau produktivitasnya harus ditingkatkan, yang mana strategi yang harus dicapai adalah ekstensifikasi,” tuturnya.
Dia menuturkan jika harus dilakukan perluasan kebun sawit atau ekstensifikasi, maka Indonesia memiliki kawasan hutan sekitar 31,8 juta hektare (ha) yang sudah tidak berhutan.
Dia menyarankan agar ekstensifikasi kebun sawit itu bisa dilakukan di kawasan hutan yang sudah tidak berhutan sehingga perluasan kebun sawit ini tidak menyebabkan deforestasi.
“Kawasan hutan yang tidak berhutan seluas 31,8 juta ha tersebut, saat ini isinya macam-macam misalnya berupa kebun masyarakat, sawah, pemukiman warga transmigrasi dan yang paling banyak adalah semak belukar. Lahan yang sudah tidak berhutan itu harus diberdayakan. Masa kawasan hutan telantar seperti ini didiamkan saja, itu tidak fair,” terang Budi.
Guru Besar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Budi Setiadi Daryono menolak keras upaya penambahan perkebunan kelapa sawit yang diwacanakan Presiden Prabowo Subianto. Pasalnya, rencana perluasan lahan sawit itu akan memperluas deforestasi dan konflik agraria.
Dia menilai selama ini dampak dari perkebunan sawit yang sangat luas dengan model monokultur rentan meningkatkan konflik satwa liar dengan manusia.
“Banyak riset menyatakan di kawasan perkebunan sawit tidak mampu menjadi habitat satwa liar dan hampir 0% keragaman hayati berkembang di perkebunan sawit,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menuturkan terdapat rencana besar pemerintah memanfaatkan lahan hutan untuk kebutuhan pangan, energi, dan air. Menurutnya, pemerintah sudah mengidentifikasi 20 juta hektare kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.
Dia menilai pemanfaatan hutan seluas 20 juta hektare sebagai kawasan cadangan pangan, energi, dan air merupakan deforestasi. Langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk mendukung swasembada pangan dengan tetap menjaga keberlanjutan dan kelestarian hutan.
“Idenya bukan deforestasi, tetapi justru menjaga hutan, yang secara bersamaan swasembadanya berjalan,” katanya.
Presiden Prabowo Subianto dalam pernyataan pada 30 Desember 2024 juga menyatakan Indonesia dapat menambah lahan perkebunan kelapa sawit, menyebutnya sebagai komoditas strategis.