Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Gabung BRICS, Peluang Akselerasi Program Transisi Energi

Kesamaan latar belakang sebagai negara berkembang dalam keanggotaan BRICS akan membuat program-program perubahan iklim lebih relevan.
Presiden Rusia Vladimir Putinberbicara melalui tautan video pada hari penutupan KTT Ke-15 BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, Kamis, 24 Agustus 2023./Bloomberg-Leon Sadiki
Presiden Rusia Vladimir Putinberbicara melalui tautan video pada hari penutupan KTT Ke-15 BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, Kamis, 24 Agustus 2023./Bloomberg-Leon Sadiki

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia resmi bergabung dalam BRICS sebagai anggota penuh per 6 Januari 2025. Bergabungnya Indonesia dalam aliansi belahan bumi selatan (Global South) diharapkan memberikan kontribusi positif dalam kerja sama program transisi energi

Kesamaan latar belakang sebagai negara berkembang di dalam keanggotaan BRICS juga akan membuat program-program perubahan iklim lebih relevan dan jauh dari tekanan negara maju. 

Bergabungnya Indonesia, sekaligus menandai kekuatan baru BRICS yang mencakup lebih dari 40 persen populasi dunia dan 27 persen PDB global. Blok ekonomi ini menjadi semakin diperhitungkan dalam kancah perekonomian global.

Ada kekhawatiran, bergabungnya Indonesia akan membuat hubungan dengan barat menjadi rumit. Amerika Serikat, dengan kepemimpinan baru di bawah Donald Trump bakal mengaktifkan tombol proteksi dengan negara-negara yang berlawanan dengannya. 

“Saya punya keyakinan tidak, negara Barat tidak akan meradikalisasi posisi Indonesia. Justru bergabungnya Indonesia ke BRICS bisa menaikkan posisi tawar, karena kita benar-benar membuktikan politik bebas-aktif,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. 

Melihat profil negara-negara anggota BRICS, Indonesia menjadi negara yang relatif punya hubungan yang lebih dekat dengan Barat. Apalagi, saat ini, Indonesia juga sedang mendaftar jadi bagian Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). 

Proses aksesi Indonesia ke OECD sejatinya telah dilakukan lebih awal dibandingkan BRICS. Namun demikian, proses Indonesia menjadi anggota OECD tergolong lamban karena harus menyesuaikan sejumlah kebijakan domestik dengan mayoritas negara-negara OECD yang cenderung berpaham liberal secara ekonomi.

Menurut Fabby, semangat diplomasi bebas aktif juga dapat dijalankan dengan mendorong agenda prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti swasembada pangan dan energi. Setidaknya ada tiga fokus yang dapat mendukung dua agenda tersebut, yakni akses teknologi, pendanaan dan dukungan politik. 

“India dan Brasil teknologi pangannya bisa mendukung program swasembada pangan, sementara China sangat powerful di bidang energi baru terbarukan. Soal pembiayaan, kita lihat bagaimana China sangat ekspansi di proyek EBT,” katanya. 

Dorong Proyek Hijau

Center of Economic and Law Studies (Celios) mendata sejumlah proyek strategis di sektor energi baru terbarukan yang dapat dibawa dalam kerja sama negara-negara BRICS. 

Salah satu sektor yang paling penting adalah investasi di industri komponen energi terbarukan. Mengingat, Presiden Prabowo Subianto ingin mendorong pengembangan pembangkit berbasis EBT sebesar 75 gigawatt (GW).

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan bergabungnya Indonesia ke dalam aliansi BRICS bisa mendorong kerja sama sejumlah proyek EBT yang disiapkan hingga 2040. 

Sejumlah proyek EBT tersebut tersebar ke pengembangan industri berteknologi tinggi misalnya untuk baterai penyimpanan energi atau BESS (battery energy saving storage), komponen panel surya, pembangkit angin dan air. 

Hingga 2040 mendatang, setidaknya dibutuhkan pembangkit panel surya 27 GW, angin 15 GW, dan hidro khususnya mikro-hidro 25 GW. Khusus BESS, setidaknya dibutuhkan 32 GW untuk menampung energi dari pembangkit listrik intermiten. BESS ini sangat dibutuhkan misalnya untuk panel surya dan mikrohidro. 

“Investasi untuk BESS diperkirakan mencapai US$6 miliar setara Rp97,8 triliun dalam 15 tahun kedepan. Kita harus kuasai komponen baterai dalam negeri, bukan hanya berbasis nikel tapi juga alternatif lain seperti LFP,” ujar Bhima.

Selain itu, proyek hijau yang berpotensi untuk didorong dalam kerja sama sesama anggota BRICS adalah pembangunan transmisi grid. Menurut Bhima, pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT membutuhkan transmisi baru atau upgrade transmisi yang sudah ada.

Agenda Iklim BRICS

Komitmen BRICS dalam agenda iklim tidak main-main. Menurut pernyataan bersama dalam KTT BRICS tentang Perubahan Iklim pada 2022, negara-negara BRICS telah memainkan peran aktif dalam proses multilateral tentang perubahan iklim dan memberikan kontribusi besar bagi pembangunan global yang rendah karbon, ramah dengan iklim, dan berkelanjutan.

Selanjutnya dalam pertemuan menteri energi menjelang KTT BRICS di Kazan 2024, BRICS berkomitmen mengusung program-program yang relevan dan mendukung negara anggota. Salah satunya Platform Teknologi Ramah Lingkungan BRICS (BEST). 

Platform ini menjalankan dua inisiatif utama: program BRICS Clean Rivers dan Prakarsa Kemitraan BRICS untuk Keberlanjutan Lingkungan Perkotaan. Mekanisme ini bersifat universal – setiap negara mengidentifikasi topik prioritas sebagai inisiatif untuk Platform, dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial. 

“Dengan begitu, berarti bahwa negara-negara mengajukan inisiatif dan bertindak sebagai ‘penggerak’ dalam implementasinya,” kata Menteri Sumber Daya Alam dan Ekologi Federasi Rusia Alexander Kozlov.

Program dan inisiatif dalam agenda iklim tampak semakin meruncing, terutama dalam pertemuan Forum Agenda Iklim BRICS di Moskow, 29–30 Agustus 2024. Di Forum tersebut, negara-negara BRICS mengadopsi Kerangka Kerja untuk Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan, yang mencakup semua aspek utama aksi iklim – transisi energi yang adil, mitigasi, adaptasi, pasar karbon, keuangan, sains, dan keterlibatan pelaku bisnis.

“Semua negara BRICS memahami bahwa negara-negara maju harus berhenti menggunakan langkah-langkah proteksionisme hijau sepihak. Langkah-langkah tersebut merusak ekonomi dan rantai perdagangan negara-negara berkembang,” tegas Russian Minister of Economic Development Maxim Reshetnikov. 

Kesepakatan lain dalam pertemuan tersebut adalah Nota Kesepahaman tentang Kemitraan Pasar Karbon BRICS. Peluncuran kemitraan ini akan memungkinkan negara-negara BRICS untuk saling mempelajari pengalaman dalam menciptakan pasar karbon dan melaksanakan proyek-proyek iklim bersama, termasuk yang melibatkan penerbitan unit karbon.

Reshetnikov menyerukan, sebagai bagian dari kemitraan Pasar Karbon, BRICS akan membahas seluruh rangkaian isu yang terkait dengan perdagangan unit karbon, infrastruktur, metodologi, validasi, dan prosedur verifikasi.

“Kami sepakat untuk terus mengerjakan nota kesepahaman untuk menandatanganinya dan meluncurkan kemitraan pada KTT BRICS di Kazan,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper