Bisnis.com, JAKARTA — Laporan McKinsey Global Energy Perspective 2023 menyebutkan pangsa pasar energi baru terbarukan (EBT) diproyeksikan meroket hingga 50% pada 2030 dan mencapai 65%—85% pada 2050.
Berdasarkan skenario dalam laporan McKinsey yang diterbitkan pada November 2023, energi terbarukan terutama disumbang oleh energi matahari dan angin.
Laporan McKinsey menyebutkan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan dapat mengakibatkan penurunan emisi dari pembangkit listrik antara 17%—71% pada 2050 dibandingkan dengan tingkat saat ini, meskipun permintaan listrik mengalami peningkatan dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat.
Meski demikian, harus diakui pengembangan energi baru terbarukan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari masalah rantai pasok hingga proses perizinan yang lambat dan dampak pembangunan jaringan listrik.
Penggunaan teknologi nuklir dan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture usage and storage/CCUS) memang dapat mengurangi beban dari pengembangan energi terbarukan, tetapi ini bergantung pada lanskap politik dan perkembangan biaya di masa depan.
Penggunaan batubara (tanpa CCUS) diperkirakan akan dihentikan secara bertahap. Sebaliknya, pembangkit listrik dari pabrik gas yang siap untuk hidrogen—yang mendukung stabilitas jaringan listrik—kemungkinan akan meningkat.
Baca Juga
Adapun, di Indonesia, khususnya di Bursa Efek Indonesia, belum banyak emiten yang fokus pada bisnis EBT. Sebaliknya emiten energi konvensional masih mendominasi.
Sementara itu, di dunia, banyak emiten yang terjun menggarap bisnis EBT. Berdasarkan data Yahoo Finance, Bisnis mencatat ada lima besar perusahaan energi baru terbarukan (EBT).
NextEra Energy Inc tercatat berada pada peringkat pertama emiten EBT di NYSE dengan kapitalisasi pasar mencapai US$119,3 miliar atau setara Rp1,87 kuadriliun (asumsi kurs Rp15.688 per dolar AS).
Pada penutupan perdagangan Jumat (2/2/2024), saham NextEra dengan kode NEE dan memiliki PER 16,15 kali bertengger di level harga US$58,15 atau turun 2,68%.
Pada 2023, emiten yang mengoperasikan pembangkit listrik dengan total kapasitas sedikitnya 58 GW, mencatat pendapatan US$27,4 miliar (trailing twelve months/TTM) dan laba operasi US$9,28 miliar (TTM).
Adapun General Electric dengan kapitalisasi pasar mencapai US$148,6 miliar atau setara Rp2,33 kuadriliun dikecualikan karena bisnis EBT-nya dijalankan oleh anak usaha GE Renewable Energy, yang belum tercatat di lantai bursa.
Berikutnya di peringkat kedua adalah Iberdrola S.A., perusahaan listrik yang bermarkas di Spanyol yang memiliki kapitalisasi pasar US$74,13 miliar atau setara Rp1,16 kuadriliun. Adapun, pendapatan dan laba operasinya pada 2023 tercatat masing-masing 53,23 miliar euro atau setara Rp904,99 triliun (asumsi kurs Rp16.999 per euro) dan 9,6 miliar euro.
Emiten Indonesia Masuk 3 Besar Korporasi EBT Global
Menarik, bahwa ternyata PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) menduduki peringkat ketiga emiten EBT terbesar di dunia dengan kapitalisasi pasar Rp662,24 triliun pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Jumat (2/2/2024).
Emiten yang dimiliki oleh konglomerat Prajogo Pangestu, orang paling kaya ke-35 di dunia dengan kekayaan US$37,5 miliar berdasarkan Forbes, itu membukukan pendapatan sebesar Rp9,21 triliun pada 2023 (disetahunkan), dari capaian Rp6,91 triliun pada kuartal III/2023.
Adapun, laba operasi dan laba bersih BREN, emiten yang melantai pada 9 Oktober 2023, masing-masing Rp4,63 triliun dan Rp1,74 triliun pada 2023 (disetahunkan).
Constellation Energy Corp menduduki peringkat keempat korporasi EBT dunia dengan kapitalisasi pasar US$41,42 miliar atau setara Rp649,79 triliun. Pendapatan dan laba operasi Constellation tercatat masing-masing US$26,45 miliar dan US$1,2 miliar.
Sementara itu, Vestas Wind Systems A/S, produsen turbin angin asal Denmark berada di peringkat kelima dengan kapitalisasi pasar US$28,53 miliar atau senilai Rp447,57 triliun.
Pendapatan dan laba operasi Vestas Wind Systems tercatat masing-masing sebesar 15,39 miliar euro atau setara Rp261,61 triliun dan negatif 752 juta euro atau setara rugi Rp12,78 triliun pada 2023 (TTM).
Pada Agustus 2023, Bloomberg sempat melaporkan bahwa Vestas, bersama dengan pesaing-pesaingnya di industri turbin angin, tengah mengalami kerugian yang besar dalam beberapa tahun terakhir setelah biaya baja dan bahan utama lainnya melonjak dan menghadapi keterlambatan akibat gangguan rantai pasokan.
Sementara itu, jika dilihat berdasarkan kapitalisasi pasar terbesar 10 emiten EBT global, maka selain Barito Renewables Energy ada juga PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) sebagai pemilik konsesi panas bumi terbesar di Indonesia yang berada di peringkat ke-10 dunia.