Bisnis.com, JAKARTA — Sah sudah Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL 2025—2034 dirilis oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada Senin 26 Mei yang lalu.
Dokumen tersebut menargetkan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 42,6 GW dalam 10 tahun ke depan dengan porsi energi surya 17,1 GW, tenaga hidro 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW dan nuklir sebesar 0,5 GW
Dibandingkan dengan dokumen RUPTL sebelumnya, target ini naik lebih dari dua kali lipat. Tak heran banyak pihak yang skeptis dan menganggap target ini terlalu ambisius apalagi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 sesuai RUPTL terdahulu, sudah dipastikan akan meleset.
Pertumbuhan energi terbarukan dunia melonjak tajam dalam 25 tahun terakhir dari total 750 GW pada 2000 menjadi 4.450 GW di akhir 2024 (IRENA, 2025). Energi surya mendominasi dengan kapasitas 1.600 GW, disusul tenaga air 1.250 GW dan angin 1.000 GW.
Kapasitas energi terbarukan global melonjak enam kali dalam kurun 25 tahun, menyumbang lebih dari 30% pasokan listrik, dari sebelumnya 18% pada 2000. Rasio energi terbarukan akan terus meningkat sampai 46% dari total energi listrik pada 2030 (IEA, 2024).
Energi terbarukan juga tumbuh di Indonesia meskipun ketinggalan jauh dengan pertumbuhan global, dari 5 GW pada 2000 menjadi 13,5 GW pada akhir 2024 atau naik dua kali lebih dalam periode 25 tahun.
Baca Juga
Bauran energinya meningkat dari 5% menjadi sekitar 13,5% di periode yang sama dan tetap didominasi oleh pembangkit hidro dan panas bumi.
RUPTL 2025—2034 menargetkan total energi terbarukan akan mencapai 57,7 GW pada 2034 atau setara dengan 35% pasokan listrik nasional. RUPTL ini juga masih membuka peluang pembangunan pembangkit fosil sebesar 16,6 GW terdiri atas 10,3 GW pembangkit Listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan 6,3 GW pembangkit berbahan bakar gas.
Pertumbuhan yang gradual dan tertinggal jauh dari rata-rata global dan juga Asean ini mempengaruhi juga pencapaian net zero emission Indonesia yang ditargetkan pada 2060, 10 tahun lebih lambat dari target NZE global pada 2050.
Dominasi Fosil dan Trilema Energi
Akar penyebab terlambatnya pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia adalah masih kuatnya dominasi fosil terutama batu bara dalam bauran energi listrik nasional yang sampai saat ini masih sekitar 81%.
Program pembangunan PLTU 10.000 MW di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan dengan program nasional pembangkit listrik 35.000 MW di era Presiden Joko Widodo yang didominasi oleh PLTU batu bara, membuat ruang masuk untuk energi terbarukan menjadi terbatas.
Apalagi sebagian besar pembangkit berbahan bakar fosil itu milik swasta atau IPP. Dengan skema capacity payment dan klausul take or pay, maka produksi pembangkit batu bara ini mendapat prioritas memasok listrik ke pelanggan-pelanggan PLN.
Dengan periode kontrak 25—30 tahun, maka selama itu pula peluang masuknya energi terbarukan tertunda kecuali jika ada pertumbuhan beban (konsumsi listrik) yang meningkat tajam.
Celakanya pemakaian listrik justru turun bahkan negatif saat Covid-19 merebak pada 2020—2021, menyebabkan over supply pasokan listrik dan PLN terpaksa membayar energi yang tak terpakai dari setiap PLTU batu bara milik swasta tersebut.
Pertumbuhan konsumsi listrik yang lebih rendah dari perkiraan akan membuat kondisi over supply masih akan terus berlangsung.
Pasar ketenagalistrikan yang sesak oleh pasokan listrik dari pembangkit fosil ini tentunya memperkecil penetrasi energi terbarukan dan ini masih akan berlangsung lama, apalagi dengan masih dibukanya peluang pembangunan pembangkit fosil dalam sepuluh tahun ke depan.
Tantangan lainnya adalah masalah klasik penyediaan energi, trilemma energy. Para pemangku kepentingan tidak hanya menyediakan energi yang cukup tetapi juga harus andal (reliable). Produsen energi harus menyalurkan listrik sesuai tingkat mutu layanan tertentu selama 24 jam ke konsumen.
Berikutnya, energi listrik harganya harus terjangkau (affordable). Selain memenuhi aspek keadilan sosial, harga yang terjangkau akan mendorong daya saing industri dan menjaga stabilitas laju inflasi.
Selain harus tersedia cukup, kualitasnya handal dan harganya terjangkau, energi harus berkelanjutan (sustainable). Selain ancaman volatilitas harga bahan bakar yang berdampak kepada biaya produksi listrik, ketergantungan kepada energi fosil juga telah menaikkan emisi karbon. PLTU misalnya adalah penyumbang terbesar emisi karbon dengan sekitar 43% dari total emisi.
Masalahnya tidak semua energi terbarukan bisa menjawab trilemma energy ini. Tenaga surya dan angin misalnya, masih menghadapi kendala kehandalan karena sifatnya yang intermittent dan tidak pasti. Biaya pembangkit energi terbarukan juga masih relatif tinggi dibandingkan dengan pembangkit fosil khususnya PLTU batu bara.
Kondisi oversupply energi pada pasar yang terintegrasi vertikal seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, berdasarkan teori klasik Principal Agent (Michael C. & Willliam H, 1976) menandakan adanya kontrak berlebihan PLTU, RUPTL yang overestimate dan terkendalanya energi terbarukan masuk ke pasar.
Perlu solusi segera untuk mengurangi dominasi fosil dan memberi ruang masuknya energi terbarukan. Perubahan PPA menjadi fleksibel dan risk sharing, memperkuat demand side management, membangun pasar interkoneksi dan tentunya menciptakan kebutuhan pasar (demand).
Program elektrifikasi di sektor transportasi misalnya, perlu didukung penuh untuk menyerap kelebihan pasokan listrik saat ini sekaligus mengurangi impor BBM dan menurunkan emisi di sektor transportasi darat.
Konversi dari LPG ke kompor induksi atau kompor listrik juga berpotensi menaikkan konsumsi listrik signifikan sekaligus akan mengurangi impor dan subsidi LPG yang terus meningkat.
Ekspor listrik ke negara tetangga adalah solusi jitu lainnya. Kesepahaman ekspor listrik melalui agenda Announcement on Cross-Border Electricity Interconnection pada September 2024 perlu segera direalisasikan. Dengan kesepakatan tersebut, Indonesia berpeluang mengekspor energi terbarukan dari energi surya sebesar 3,4 GW ke Singapura.
Pengembangan energi terbarukan juga perlu dukungan kebijakan yang riil dari Pemerintah. Kalau pasar batu bara dalam negeri mendapat “subsidi” Pemerintah lewat mekanisme domestic market obligation (DMO), tentunya insentif serupa pantas diperoleh oleh industri dan pelaku energi terbarukan di Indonesia.