Bisnis.com, JAKARTA — Alih-alih mengucurkan investasi untuk mendukung penanganan krisis iklim dan menurunkan emisi, industri manajemen aset global justru masih banyak menyalurkan dana ke aktivitas yang memperburuk pemanasan global. Demikian temuan dalam laporan terbaru BloombergNEF (BNEF) yang menganalisis hampir 70.000 dana investasi di seluruh dunia.
Riset itu mengungkap bahwa rata-rata manajer dana masih menempatkan modal pada perusahaan energi yang belanja modalnya lebih condong mendukung kegiatan berbasis karbon tinggi.
“Hasil ini menunjukkan produk investasi dan para investornya masih jauh dari selaras dengan target net zero,” tulis analis BNEF yang dipimpin Ryan Loughead dalam laporan yang dirilis Rabu (11/6/2025).
BNEF menggunakan pendekatan baru untuk memetakan hubungan antara investasi manajer aset pada perusahaan energi dan dampaknya terhadap upaya membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C. Para ilmuwan sendiri memperkirakan bahwa suhu bumi berisiko naik hingga dua kali lipat dari ambang batas tersebut jika pemerintah dan sektor swasta tidak berpartisipasi.
Analisis BNEF menelusuri kepemilikan manajer aset pada perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok energi, mulai dari ekstraksi, transportasi hingga pembangkit listrik. BNEF kemudian menghitung seberapa banyak dari investasi tersebut dipakai untuk belanja modal perusahaan dalam aktivitas dengan bahan bakar fosil, dibandingkan dengan energi rendah karbon.
Hasilnya, setiap US$10 juta belanja modal yang diarahkan ke produksi bahan bakar fosil ternyata hanya diimbangi dengan US$4,8 juta untuk suplai energi rendah karbon. Angka tersebut merefleksikan rasio 0,48 banding 1. BNEF menyebut ukuran ini sebagai energy supply fund-enabled capex ratio (ESFR).
Temuan ini mempertegas sinyal bahwa upaya dekarbonisasi global makin terhambat di tengah kenaikan biaya, penolakan politik, dan kendala teknis. Laporan ini juga menegaskan peran krusial sektor keuangan dalam mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon.
“Jika kita ingin sistem energi nol emisi, investasi di ekonomi rendah karbon harus meningkat jauh lebih besar. Investor punya peran besar sebagai fasilitator modal,” lanjut Loughead.
BlackRock Inc. dan Vanguard Group Inc., dua manajer aset terbesar di AS, mencatat ESFR masing-masing 0,47 dan 0,48 pada Juni 2024. Sebagai pembanding, manajer aset Eropa rata-rata memiliki rasio 0,85, sementara Asia-Pasifik sekitar 0,37, meskipun data kawasan ini lebih terbatas.
Juru bicara BlackRock menyebut perusahaan bertindak sebagai fidusia yang mengelola investasi sesuai mandat klien. Hal inilah yang membuat pengelola aset terbesar di dunia itu tetap menjadi investor besar di energi tradisional dan terbarukan. Sementara itu, Vanguard tidak memberikan tanggapan.
Sebagai konteks, aset kelolaan yang merujuk pada indeks S&P 500 mencatat ESFR sekitar 0,5; STOXX Europe 600 di angka 0,43; dan FTSE 100 hanya 0,26. Indeks-indeks ini mayoritas berisi raksasa minyak dan gas dunia dengan eksposur kecil ke perusahaan energi bersih.
“Alokasi manajer aset ke ekonomi rendah karbon yang tidak memadai ini bisa jadi karena investor belum melihat sektor itu sepenuhnya layak investasi saat ini,” kata Loughead. “Kondisi ini seharusnya menjadi sinyal bagi pembuat kebijakan dan pihak yang ingin mempercepat transisi.”
BNEF telah mengembangkan serangkaian rasio untuk memantau investasi dan pembiayaan energi rendah karbon dibandingkan aset pengemisi tinggi. Peringkat serupa untuk bank yang dipublikasikan Januari lalu juga menunjukkan lembaga keuangan terbesar dunia belum banyak bergerak memperbaiki ketimpangan antara bahan bakar fosil dan energi bersih.
Meski sama-sama diarahkan ke target net zero, bank dan manajer aset memiliki ruang gerak berbeda. Bank dapat mendorong dekarbonisasi lewat kebijakan pinjaman, sedangkan manajer aset seringkali terikat mandat klien dan indeks acuan. Hal ini membuat pencapaian target nol emisi menjadi lebih menantang.
Tantangan Struktural di Indonesia
Sementara itu di Tanah Air, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut masih terdapat berbagai tantangan struktural dalam penyaluran pembiayaan ke proyek-proyek hijau, terutama bagi institusi perbankan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa profil risiko proyek hijau tetap menjadi tantangan utama, meskipun pembiayaan hijau telah tumbuh signifikan dan mencapai Rp1.452 triliun pada 2024 dengan dominasi bank-bank KBMI 3 dan 4.
“Proyek-proyek hijau umumnya memiliki kompleksitas risiko yang lebih tinggi serta jangka waktu pengembalian yang lebih panjang dibandingkan proyek konvensional,” ujar Dian, Sabtu (14/6/2025).
Kendati demikian, dia meyakini kendala tersebut juga dapat menjadi peluang bagi perbankan untuk mengembangkan skema pembiayaan jangka panjang yang inovatif dan berkelanjutan.
Dian juga menyoroti masih terbatasnya ketersediaan proyek hijau yang siap dibiayai. Situasi ini mendorong perbankan untuk terlibat sejak tahap awal pengembangan proyek (early-stage development), guna memperluas pipeline dan mempercepat terbentuknya ekosistem hijau yang lebih terstruktur.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan data dan transparansi informasi terkait proyek-proyek hijau. Menurut Dian, hal ini menjadi momentum penting untuk mempercepat pengembangan kerangka penilaian risiko hijau yang lebih komprehensif serta mendorong adopsi standar pelaporan keberlanjutan yang lebih baik.
Selain faktor internal, perkembangan global turut memengaruhi arah pembiayaan hijau di Indonesia. Ketidakpastian sikap sejumlah pihak di Amerika Serikat terhadap Paris Agreement dan Net-Zero Banking Alliance menegaskan pentingnya komitmen nasional yang kuat.
“Langkah ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam mendorong transisi energi yang adil dan inklusif secara mandiri,” katanya.
Untuk itu, OJK berkomitmen memperkuat kebijakan sektor jasa keuangan yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan terus mendorong sinergi lintas sektor.