Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas penambangan nikel di kawasan Raja Ampat disebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Beleid tersebut melarang aktivitas tambang di pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Berdasarkan laporan yang diterima Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), terdapat 4 perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan nikel di kawasan Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut yakni PT Gag Nikel (GN), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
PT Gag Nikel melakukan aktivtias penambangan di Pulau Gag dengan luas 6.030,53 hektare, PT Anugerah Surya Pratama memiliki luas bukaan tambang sekitar 109 hektare di pulau Manuran yang luasnya hanya 743 hektare, PT Kawei Sejahtera Mining telah membuka lahan seluas 89,29 hektare di pulau Kawe yang hanya luasnya 4.561 hektare dan termasuk kawasan hutan produksi, dan PT Mulia Raymond Perkasa membuka 2 kawasan tambang di Pulau Manyaifun seluas 21 hektare dan di Pulau Batang Pele seluas 2.000 hektare.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan kegiatan pertambangan yang berada di pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor Nomor 1 tahun 2014 menjadi perhatian serius Kementerian LH, kata Hanif, yakni terkait dengan kerentangan ekosistem Raja Ampat. Pelarangan kegiatan penambangan juga dikuatkan oleh keputusan Makamah Agung (MA) Nomor 57 tahun 2022 dan keputusan MA Nomor 35 tahun 2023.
"Keputusan MA itu kemudian menganggap bahwa pelaksanaan pelarangan kegiatan pertambangan di pulau kecil ini dilakukan tanpa syarat," ujarnya dalam konferensi pers, Minggu (8/6/2025).
Baca Juga
Namun demikian, PT Gag Nikel termasuk ke dalam 13 Perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di kawasan hutan hingga berakhirnya izin berdasarkan Keppres 41/2004 tetang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan
Merujuk UU nomor 41 tahun 1999, hutan lindung tidak boleh dilakukan penambangan pola terbuka. Namun, terdapat pengecualian 13 perusahaan melalui UU nomer 19 tahun 2004 dan penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2005 yang mengecualikan 13 perusahaan yang seharusnya tidak boleh menambang hutan lindung dengan pola terbuka.
"13 perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya penambangan di kawasan hutan lindung sampai berakhirnya izin. Hal itu diatur dalam Undang-Undang No 19 tahun 2004 tentang Penentepan Perppu No 1 tahun 2004 Intinya Perppu tersebut mengecualikan 13 perusahaan yang seharusnya tidak boleh menambang di hutan lindung secara pola terbuka kecuali 13 perusahaan termasuk Gag Nikel. Dengan demikian maka berjalanlah kegiatan penambangan legal di Pulau Gag ini seluas 6.030 hektare," katanya.
Dia menuturkan PT Gag Nikel secara izin usaha pertambangan (IUP), dokumen perizinan, dan persetujuan lingkungan termasuk pinjam pakai lahan hutan sudah lengkap. Adapun hampir seluruh area di Raja Ampat merupakan kawasan hutan dan lahan yang digunakan oleh GN merupakan kawasan hutan lindung.
"Memang pelaksanaan tambang nikel di Gag ini relatif memenuhi kaidah tentang lingkungan. Tingkat pencemaran yang nampak oleh mata hampir tidak terlalu serius, artinya kalo ada gejala ketidaktaatannya lebih ke minor-minor saja. Ini pandangan mata, perlu kajian mendalam," ucapnya.
Namun demikian, pihaknya tak menampik adanya dampak penambangan nikel yakni terjadinya sedimentasi sehingga menutupi koral. Terlebih, seluruh pulau di kawasan Raja Ampat dikelilingi koral. Koral menjadi suatu habitat harus dijaga keberadaannya karena sangat penting bagi kehidupan laut.
"Yang perlu didalami lagi secara teknis kaidah lingkungan dipersyaratkan dalam penambangan nikel pulau Gag," tuturnya.
Menurutnya, terdapat kerentanan ekosistem di Raja Ampat terkait persetujuan lingkungan yang perlu ditinjau kembali jika teknologi penanganan tak dikuasai dan tidak mampu melalukan rehabilitasi.
"Ini pertimbangan kami mereview kembali persetujuan lingkungan yang telah ada. Tentu menjadi kendala utama persetujuan lingkungan. Kondisi Gag Nikel 6.030 hektare berada di kategori pulau kecil dan kerentanan Raja Ampat atas dampak yang ditimbulkan dan pemulihannya," ujar Hanif.
Dia menegaskan pemulihan lingkungan pada pulau kecil cenderung lebih sulit karena tidak ada lagi bahan material untuk memulihkan.
Selanjutnya, KLH memberikan rekomendadi untuk perusahaan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) untuk meningkatkan penanganan lingkungan karena tidak memiliki manajemen lingkungan. Kondisi lingkungan dan pencemaran di lokasi penambangan ASP sangat tinggi.
Selain itu, perlu adanya evaluasi persetujuan lingkungan atas adanya kegiatan pertambangan di Pulau Manuran. Pasalnya, kegiatan penambangan di Pulau Manuran kurang hati-hati sehingga ada potensi pencemaran lingkungan yang serius di pulau tersebut.
"Pada saat dilakukan pengawasan ditemukan kolam settling pond jebol akibat curah hujan tinggi sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan dan kekeruhan pantai yang cukup tinggi. Lalu ada indikasi bukaan di luar IUP. Ini telah kami segel, untuk kami teliti lebih dalam selama 1 hingga 2 bulan mendatang, setelah itu baru ada tindakan seperti apa. Tapi tak menutup kemungkinan ada penegakkan hukum baik pidana maupun perdata atas dugaan kerusakan lingkungan. Kami juga sedang minta dokumen lingkungan PT ASP karena dikeluarkan oleh Pemkab Raja Ampat dan meminta bupati Raja Ampat untuk meninjau juga dokumen tersebut," terangnya.
Kemudian, PT Kawei Sejahtera Mining (KWM) memiliki IUP berdasarkan Keputusan Bupati Raja Ampat Nomor 210 Tahun 2013 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi tanggal 30 Desember 2013 berlaku hingga 20 tahun dengan luas yang diizinkan 5.922 hektare. KLH menemukan kegiatan KSM yang berada di luar PPKH seluas 5 hektare.
"Ada sedimentasi pada akar mangrove yang diduga berasal dari areal stockpile dan Jetty dan sedimentasi di areal outfall sediment pond Salasih dan Yehbi," katanya.
Kemudian, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) memiliki perizinan berusaha namun tidak mempunyai dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan. Perusahaan mempunyai IUP Operasi Produksi berdasarkan Keputusan Bupati Raja Ampat Nomor 153.A Tahun 2013 seluas 2.193 hektare. Lalu area IUP PT Mulia Raymod Perkasa berada di kawasan hutan lindung berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK 783/Menhut- II/2014 dan perusahaan tidak memiliki persetujuan penggunaan kawasan hutan.
"Secara umum kami akan meminta Pemerintah Kabupaten Papua Barat Daya untuk mereview mencermati kembali untuk tata ruangnya dengan memperhatikan kajian lingkungan hidup strategis," tutur Hanif