Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tantangan Pengelolaan Mineral Kritis Menjawab Kebutuhan Transisi Energi

Transisi energi juga menekankan pergeseran besar dari fuel-intensive menjadi material-intensive.
Smelter Merah Putih milik PT Ceria yang berlokasi di Wolo, Kabupaten Kolaka, untuk pertama kalinya berhasil memproduksi feronikel dengan energi hijau./Istimewa
Smelter Merah Putih milik PT Ceria yang berlokasi di Wolo, Kabupaten Kolaka, untuk pertama kalinya berhasil memproduksi feronikel dengan energi hijau./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Dorongan pengembangan teknologi energi terbarukan membutuhkan pasokan mineral dalam jumlah besar atau diperkirakan meningkat empat kali lipat hingga 2040. 

Transisi energi tidak hanya bicara mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan, tetapi juga pergeseran besar dari sistem energi yang berbasis bahan bakar (fuel-intensive) menjadi sistem yang sangat bergantung pada bahan material (material-intensive). 

Artinya, teknologi energi bersih seperti kendaraan listrik, panel surya, dan turbin angin membutuhkan pasokan mineral dalam jumlah jauh lebih besar dibandingkan teknologi berbasis fosil.

Seiring tingginya kebutuhan produk turunan mineral untuk energi bersih, negara penghasil maupun pengimpor berlomba mengamankan akses terhadap sumber daya ini. 

Kebutuhan teknologi energi terbarukan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap produk turunan mineral. Sebut saja seperti bauksit, kobalt, tembaga, bijih besi, lithium, mangan, nikel, dan seng. Mau tidak mau, dorongan untuk menambang menjadi sebuah keniscayaan.

Merujuk laporan IEA (2023), penggunaan energi bersih terus mengalami peningkatan, termasuk pertumbuhan penggunaan kendaraan listrik (EV). Dengan menggunakan skenario Net Zero Emissions pada 2050 yang membatasi pemanasan global hingga 1,5°C pangsa penjualan mobil listrik akan naik dari 18% pada 2023 menjadi 65% pada 2030. 

Hal ini akan menyebabkan permintaan baterai meningkat tujuh kali lipat, mencapai sekitar 6 TWh (terawatt-jam) pada 2030. Memang EV yang akan menjadi penyumbang terbesar terhadap permintaan baterai, tetapi penggunaan baterai untuk penyimpanan energi di sektor ketenagalistrikan akan bertumbuh lebih cepat.

Diperkirakan kebutuhan mineral kritis seperti tembaga, lithium, nikel, kobalt, grafit, dan unsur tanah jarang untuk proyek transisi energi mencapai US$770 miliar pada 2040 dalam Skenario NZE. 

Sebagai salah satu komponen utama dalam baterai, tembaga memiliki peran sentral dalam transisi global menuju energi terbarukan. Merujuk laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), permintaan tembaga akan melesat hingga 40% pada 2040. 

Namun, peningkatan produksi tembaga menimbulkan kekhawatiran karena bisa berdampak buruk terhadap lingkungan dan hak asasi manusia.

Laporan UNCTAD menyebutkan bahwa 80 tambang tembaga baru dengan investasi $250 miliar diperlukan hingga 2030 untuk memenuhi permintaan dan mencegah kekurangan pasokan yang bisa memperlambat transisi ke energi bersih dan digitalisasi.

Direktur Perdagangan Internasional dan Komoditas UNCTAD, Luz María de la Mora mengatakan tembaga bukan hanya sekadar komoditas tetap aset strategis.

Dirinya menekankan pentingnya meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, memperluas daur ulang, dan menghapus hambatan perdagangan yang merugikan negara berkembang.

“Ini adalah momen di mana semua negara bisa menang – jika perdagangan dimanfaatkan untuk pembangunan,” ujarnya dalam laman resmi UNCTAD, dikutip Jumat (16/5/2025). 

Tata Kelola Nikel Nasional

Khusus Indonesia, pemerintah dihadapkan dengan tata kelola smelter nikel. Saat ini, Indonesia menjadi rumah bagi setengah produksi nikel dunia. 

Merujuk data United States Geological Survey (USGS), produksi nikel dunia pada 2024 diperkirakan mencapai 3,7 juta metrik ton (MT), dengan Indonesia menyumbang sekitar 2,2 juta MT atau 59,46% dari total produksi global. 

Belum lama ini, salah satu kasus yang mencerminkan tantangan pengelolaan industri nikel nasional adalah penurunan produksi PT Gunbuster Nickel Industry (GNI). Smelter ini merupakan salah satu fasilitas pemurnian biji nikel terbesar di Indonesia dengan 21,6 juta ton input bijih nikel per tahun. 

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan berkaca dari fenomena pada PT GNI menjadi pertanda adanya mismatch antara izin smelter yang terlalu mudah diberikan beberapa tahun terakhir, dengan kesiapan tata kelola dari sisi pasokan mineral.  

“Negara produsen mineral kritis seperti Indonesia harus menjalankan moratorium smelter untuk mengendalikan pasokan dan harga di pasar internasional,” ujarnya.

Momentum moratorium, lanjut Bhima, bisa dijadikan sebagai langkah evaluasi menyeluruh seluruh kebijakan di rantai pasok mineral kritis. Situasi ini menunjukkan bagaimana investasi besar tanpa perencanaan berkelanjutan menyebabkan dampak serius bagi ekonomi lokal, kerusakan lingkungan dan resiko tenaga kerja. 

Bhima mengatakan dengan situasi harga nikel misalnya yang terlalu rendah dan industri antara yang tidak dibangun (hollow in the middle), menjadikan negara produsen kehilangan daya tawar di hadapan pembeli baik industri stainless steel dan kendaraan listrik.  

Penjualan EV Melesat

Penjualan mobil listrik secara global terus mencetak rekor dan diproyeksikan akan melampaui 20 juta unit pada 2025, setara dengan lebih dari seperempat dari seluruh mobil yang dijual di dunia.

Bahkan, mengutip laporan IEA tentang Global EV Outlook 2025, dijelaskan bahwa penjualan mobil listrik tetap tumbuh pesat meskipun ada tekanan ekonomi global. 

Pada 2024, penjualan mobil listrik secara global menembus angka 17 juta unit, menjadikan pangsa pasar kendaraan listrik untuk pertama kalinya melampaui 20% dari total penjualan mobil dunia.

“Data kami menunjukkan bahwa, meskipun ada ketidakpastian yang signifikan, mobil listrik tetap berada di jalur pertumbuhan yang kuat secara global,” ujar Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, dalam pernyataan resmi, dikutip Jumat (16/5/2025).

Menurutnya, penjualan terus mencetak rekor baru, dengan dampak besar bagi industri otomotif internasional.

Adapun China tetap mempertahankan dominasinya sebagai pasar mobil listrik terbesar, dengan penjualan mencakup hampir 50% dari seluruh mobil yang terjual pada 2024. Lebih dari 11 juta unit mobil listrik terjual di negara tersebut tahun lalu—angka yang setara dengan total penjualan global pada 2022.

Selain itu, pasar negara berkembang seperti Asia Selatan dan Amerika Latin menunjukkan lonjakan tajam. Penjualan kendaraan listrik di kawasan ini melonjak lebih dari 60% sepanjang 2024, menjadikannya pusat pertumbuhan baru industri EV.

Di sisi lain, secara khusus, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, diperkirakan akan mengalami lonjakan terbesar dalam kapasitas produksi luar negeri produsen mobil listrik asal China.

Hal ini didorong oleh kebijakan yang mendukung produksi kendaraan listrik dalam negeri, kemudahan akses bahan baku, serta eksistensi industri otomotif yang sudah mapan di kawasan.

IEA menjelaskan, negara-negara di kawasan Asean telah menerapkan insentif seperti pembebasan pajak impor dan penghasilan bagi produsen otomotif China yang berkomitmen untuk membangun fasilitas produksi lokal. 

Alhasil, kapasitas produksi gabungan mobil listrik oleh produsen China di Asean diproyeksikan hampir tiga kali lipat pada 2026, mencapai 1,2 juta unit. Jumlah ini setara dengan lebih dari seperempat dari total kapasitas produksi luar negeri mereka.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper