Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peluang Energi Bersih China Jadi Sektor Defensif di Tengah Tekanan Tarif Trump

Sektor energi bersih China digadang-gadang menjadi sektor defensif di tengah tekanan tarif Trump, tetapi prospek ini menghadapi sejumlah tantangan
Para pekerja berjalan di salah satu pembangkit listrik tenaga surya di Tongchuan, provinsi Shaanxi, China, 11 Desember 2019./Reuters-Muyu Xu
Para pekerja berjalan di salah satu pembangkit listrik tenaga surya di Tongchuan, provinsi Shaanxi, China, 11 Desember 2019./Reuters-Muyu Xu

Bisnis.com, JAKARTA — Produsen energi bersih di China mulai menarik perhatian sebagai tempat aman bagi investor di tengah gejolak perang dagang. Sektor ini dinilai cukup defensif menghadapi kenaikan tarif signifikan yang diterapkan Presiden Donald Trump terhadap seluruh impor dari China.

Perusahaan pembangkit listrik tenaga angin China Longyuan Power Group Corp., serta operator bendungan China Yangtze Power Co. dan Huaneng Lancang River Hydropower Inc., menjadi tiga dari hanya 20 perusahaan dalam indeks CSI 300 yang sahamnya naik sejak perdagangan dibuka pada Senin (7/4/2025). Sementara itu, indeks tersebut secara keseluruhan telah turun 6,2% dalam dua sesi terakhir pada Selasa (8/2/2025).

Mengutip Bloomberg, investor secara tradisional beralih ke sektor utilitas saat pasar mengalami gejolak karena pendapatannya yang relatif stabil. Produsen energi bersih juga memiliki keunggulan tambahan berupa sumber daya yang bebas tarif dan berbiaya rendah seperti sinar matahari, angin, dan air.

Selain itu, pengembang energi terbarukan di China sebagian besar mengandalkan rantai pasokan domestik untuk membangun pembangkit tenaga surya, angin, dan air.

“Sektor energi di China tetap menjadi salah satu yang paling defensif, dan kami lebih memilih pembangkit listrik tenaga air dibandingkan dengan operator lainnya karena biaya produksi yang paling rendah, valuasi yang mendukung, dan fundamental yang cukup kuat,” tulis analis Jefferies, Alan Lau dan Johnson Wan, dalam catatan riset pada Selasa.

Meski demikian, utilitas listrik China menghadapi sejumlah tantangan. Pertumbuhan permintaan listrik melambat secara signifikan dalam dua bulan pertama tahun ini. Tren ini diperkirakan dapat memburuk jika tarif AS memaksa pabrik-pabrik berorientasi ekspor tutup.

“Hal ini bisa berdampak besar terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara, yang bahan bakarnya relatif lebih mahal meskipun harga batu bara baru-baru ini turun,” menurut Jefferies.

Transisi Energi dalam Ancaman

Sementara itu, analisis dari manajemen kekayaan global UBS Group AG memperkirakan bahwa transisi energi akan mengalami pukulan serius akibat hubungan dagang yang makin renggang antara dua ekonomi terbesar dunia.

“Perang tarif yang makin dalam antara Amerika Serikat dan China memperbesar tantangan bagi perusahaan AS yang mengimpor komponen penting bagi teknologi dekarbonisasi," tulis analis UBS Wealth, termasuk Amantia Muhedini dan Tiffany Agard, dalam sebuah catatan kepada klien tertanggal 4 April 2025.

"Pada akhirnya, tarif kemungkinan akan membuat biaya teknologi energi bersih makin tinggi, padahal biaya di AS sudah jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain,” tambah UBS.

Indeks saham yang mencakup konstituen di sektor energi bersih awalnya masih mampu bertahan dari guncangan setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif pada 2 April 2025. Namun UBS mencatat bahwa hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh keberadaan utilitas AS dalam indeks tersebut. Sektor itu sempat dipandang sebagai aset aman oleh investor.

Namun, tren tersebut kini telah berbalik dan saham energi bersih ikut merosot seiring dengan koreksi pasar yang lebih luas.

Ketika sektor lain sempat diperdagangkan mendekati rekor tertinggi sebelum aksi jual terjadi, saham teknologi bersih telah mengalami tekanan berkepanjangan. Bloomberg mencatat sektor ini dihantam oleh biaya kredit yang tinggi dan serangan politik di AS.

Di sisi lain, emisi gas rumah kaca dan suhu rata-rata global terus meningkat dan menyentuh rekor tertinggi pada 2024.

"Tarif yang ada saat ini menciptakan hambatan tambahan bagi kemajuan global menuju target iklim," tulis analis UBS.

Meski ada anggapan bahwa penurunan aktivitas ekonomi akibat tarif Trump akan mengurangi emisi, UBS berpandangan hal tersebut bukanlah keberhasilan jangka panjang dalam menangkal perubahan iklim.

"Penurunan aktivitas ekonomi memang menurunkan emisi karbon. Namun, hal itu bukanlah pendekatan yang berkelanjutan, seperti yang telah kita pelajari dalam lima tahun terakhir sejak pandemi Covid-19,” lanjut UBS.

Dalam catatan terpisah pada Senin (7/4/2025), analis Barclays Plc yang dipimpin oleh Maggie O’Neal menyatakan bahwa tarif Trump kemungkinan akan berdampak signifikan terhadap sektor teknologi bersih di AS.

Analis Barclays mencatat bahwa impor baterai AS kemungkinan akan sangat terdampak, mengingat peran dominan China sebagai pemasok ke pasar Paman Sam. Sektor panel surya dan kendaraan listrik juga diramal terimbas dampak.

Perkembangan ini secara keseluruhan akan memperlambat penetrasi kendaraan listrik di AS dan mempengaruhi profitabilitas produsen kendaraan listrik (electric vehicles/EV), khususnya di Uni Eropa.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper