Bisnis.com, JAKARTA- Tuntutan mengikis emisi karbon dan mengurangi limbah juga menyentuh sektor industri tekstil dengan ujung tombak dunia fesyen. Kini muncul para perancang busana yang memperkenalkan berbagai bahan alami terurai, hingga busana tahan lama.
Dalam laporannya, Program Lingkungan PBB (UNEP), menyebutkan secara global, produksi pakaian telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak periode 2000. Hal ini menyebabkan polusi, memicu perubahan iklim, dan menghabiskan sumber daya alam dan ruang terbuka.
Banyak yang berharap munculnya sekelompok desainer yang peduli lingkungan dapat membantu mendorong sektor ini menjauh dari obsesinya dengan tekstil murah dan sekali pakai. Persoalan tersebut dianggap para pakar jadi akar masalah lingkungan.
Bahkan, pada peringatan Hari Bebas Sampah Internasional pada 30 Maret lalu, terdapat rencana besar untuk menekan jumlah sampah saat ini yang menyentuh volume 2 miliar ton per tahun.
Fokus pengurangan sampah sejak peringatan akhir bulan lalu itu terhadap sektor mode dan tekstil. Alhasil, semua pihak melihat bahaya mode cepat, model bisnis yang mengutamakan produksi pakaian murah dan trendi sangat cepat.
Menyitat UNEP yang menggunakan data dari Yayasan Ellen MacArthur, terdapat 92 juta ton limbah tekstil diproduksi secara global. Volume itu setara dengan satu truk sampah penuh pakaian yang dibakar atau dikirim ke tempat pembuangan sampah setiap detik.
Sebagian besar pakaian yang tidak diinginkan itu berakhir di negara-negara berkembang – sering kali dengan kedok daur ulang – di mana pakaian tersebut perlahan membusuk, mencemari bahan kimia dan mikroplastik ke dalam tanah dan saluran air.
Sementara itu, industri mode sendiri bertanggung jawab atas hingga 8 persen dari semua emisi gas rumah kaca dan merupakan salah satu konsumen air paling rakus di dunia.
Untuk mengurangi jejak lingkungannya, laporan UNEP tahun 2023 menemukan bahwa industri mode harus membuat lebih sedikit pakaian di pasar. Mereka wajib mendesain pakaian yang lebih tahan lama, menghindari penggunaan bahan kimia berbahaya, mencegah pelepasan serat mikro, mengalihkan pakaian dari tempat pembuangan sampah melalui program penggunaan kembali dan daur ulang, dan mencegah konsumsi berlebihan.
FESYEN RAMAH LINGKUNGAN
Batoul Al-Rashdan dan Hazem Kais merupakan dua nama perancang busana yang merintis usaha untuk penggunaan bahan ramah lingkungan. Keduanya adalah perancang fesyen yang kini namanya menjulang, berasal dari Timur Tengah.
Al-Rashdan telah memperkenalkan produk fesyen yang berbahan alami seperti buah zaitun giling dan kulit bawang. Gaun, tas, dan aksesori berbahan dasar tanaman buatannya telah menghiasi rumah mode di seluruh dunia, dan membuahkan banyak penghargaan.
Kreasinya sengaja dirancang agar terurai seiring waktu, tidak seperti tumpukan tekstil sintetis tahan lama yang memenuhi tempat pembuangan sampah di seluruh dunia.
"[Pakaian] ini tidak dimaksudkan untuk bertahan selamanya," kata Al-Rashdan, yang baru-baru ini mengikuti program bimbingan yang diselenggarakan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan mitra Fashion Trust Arabia.
Al-Rashdan merupakan bagian dari gelombang desainer, banyak di antaranya masih muda, yang bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah yang menumpuk dari sektor mode dan tekstil di planet ini.
Hal serupa juga dilakoni Kais. Sebagai pimpinan rumah mode GoodKill, dia telah lama mengkhawatirkan dampak mode terhadap Bumi.
“Semua yang telah kita lakukan kembali menghantui kita,” kata Kais, yang baru-baru ini bekerja sama dengan para ahli UNEP untuk mengurangi jumlah kain pada pakaiannya.
Kais menjalankan operasi kecil yang berfokus pada pakaian tahan lama dan dibuat khusus. Menurutnya, secara inheren lebih berkelanjutan dibandingkan pakaian produksi massal yang mendominasi industri mode.
Dia juga telah menghindari banyak pewarna kimia keras, yang dapat meresap ke lingkungan, mencemari tanah, laut, dan udara. Sebagai gantinya, dia sering mewarnai pakaiannya dengan ekstrak dari berbagai hal seperti sage, kenari, dan delima.
Persoalan kemudian bagi wajah industri tekstil dan fesyen nasional, tren sekaligus inovasi ramah lingkungan yang disulut tuntutan global tersebut bisa jadi adalah beban baru. Ya, beban baru di tengah upaya industri tekstil memikul berat gempuran impor, serta ketiadaan stimulus memadai yang berujung pada PHK massal.